Mohon tunggu...
Irfan Suparman
Irfan Suparman Mohon Tunggu... Penulis - Fresh Graduate of International Law

Seorang lulusan Hukum yang hobi membaca dan menulis. Topik yang biasa ditulis biasanya tentang Hukum, Politik, Ekonomi, Sains, Filsafat, Seni dan Sastra.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Supremasi Estetika dalam Memahami Seni kontemporer

11 Juni 2019   15:56 Diperbarui: 12 Juni 2019   08:23 984
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lukisan Basquiat | theartstack.com

Mungkin narasi mengenai estetika telah mati juga merupakan interpretasi dari buruknya tingkat literasi di Indonesia. Indonesia adalah negara yang tingkat literasinya rendah. Banyak peran yang harus menyadarkan pemerintah untuk lebih aktif berpikir untuk mengatasi permasalahan literasi yang rendah. Kesenian hadir dan mengkritisi itu.

Generasi gagal paham akan perkembangan seni rupa juga didoktrin oleh generasi-generasi kolot yang tidak membaca arus perkembangan kesenian dibidang manapun.

Maka pemikiran-pemikiran masyarakat muda Indonesia masih kolot tapi kita seperti merasakan guncangan libertarian di Indonesia dan kebangkitan-kebangkitan semangat untuk bebas berekspresi lebih tendensius lewat jalur seni. Kita tidak lupa tentang gerakan penolakan RUU Permusikan. Gelombang penolakan dan perlawanan lebih jelas lewat kesenian.

Alipjon juga pada wawancara oleh Insight menceritakan bagaimana perasaannya tentang generasi saat ini yang tidak peka terhadap kesenian.

Disamping itu, kesenian bukanlah soal a e s t h e u t i c belaka, namun kesenian pada zaman sekarang lebih dari itu. Membawa gaya baru dalam berkarya seharusnya bisa dipelajari oleh masyarakat saat ini untuk memahami kehidupan keras, buday konsumtif yang berlebih, lautan tanda dan gemerlapnya kapitalisme.

Kesenian juga bersahabat pada dunia komersil karena memang tuntutan kehidupan. Dan tujuan yang paling mulia dari para seniman adalah sadar dari eksploitasi.

Jangan sampai kita malah dieksploitasi pemikirannya untuk menghidupi mereka yang ongkak-ongkak kaki dikursi, sementara kebebasan mereka dalam berekspresi dibelenggu dengan racun kemewahan. Pemberontakan dan perlawanan harus hidup bersamaan dengan seni bukan untuk menghancurkan kapitalisme tapi untuk memperbaiki keserakahan dan kemunduran berpikir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun