Senang sekali berada pada zaman yang super canggih dan maju dalam segala bidang. Tidak terlepas dari pemikiran filsafat barat. Memasuki abad ke-21 dimana di abad ini melemparkan skema mengenai kebenaran yang melampaui realitasnya. Ya, Post-Truth. Tapi bukan itu yang akan saya bahas tapi saya akan mengajak anda untuk memahami dan berdiskusi lewat tulisan ini tentang seni.
Seni tidak terlepas dalam kehidupan dan perkembangan peradaban. Masyarakat pada umumnya mengenal estetika hanya pada cermin dari zaman modern dan belum berkaca pada cermin posmodern.
Seni pada zaman posmodern memulai beragam narasinya pada kritik terhadap narasi-narasi besar yang ada dan berterbangan. Mereka aktif mencari celah kekacauan dari kapitalisme, globalisme, dan perilaku-perilaku konsumtif di masyarakat.
Posmodern juga membawa kemunculan pada absurdisme. Kehidupan dunia telah mengawang-ngawang dan tidak jelas arahnya, kesenian hadir untuk menggambarkan realitas ini.Â
Kecenderungan seniman abad ini yang ingin keluar dari konvensi yang telah disepakati bersama adalah pengaruh dari situasi zaman ini yang mungkin mereka telah letih dengan aturan yang terus-menerus membatasi kebebasan berekspresi. Bisa diartikan juga bahwa seni dalam pandangan posmodern juga bisa disebut seni komtemporer. Ini merupakan pandangan dari Danto.
Apa yang kita pahami tentang seni lukis atau lukisan sangat jauh berbeda dengan Alipjon, seniman muda yang juga suka main Skateboard. Begitupun saya, saya dan Anda bisa berbeda memahami lukisan-lukisan Basquiat. Itu karena kita semua membawa pengalaman-pengalaman dalam diri kita sendiri yang kemudian ada tekanan dari emosi yang dibawa sang kreator yang masuk ke kepala sang apresiator lewat jalan yang berbeda-beda.
Tentunya sang apresiator akan menghasilkan narasi-narasi yang berbeda-beda pula, tergantung dari pengalaman-pengalaman. Bisa saya analogikan seperti ini.
Kemudian sesampainnya di kelas mereka diperintahkan oleh gurunya untuk membuat deskripsi perjalanan. Marx menulis lebih sedikit dari pada Kant. Nah, seperti itulah penafsiran-penafsiran yang akan terjadi dalam menafsirkan suatu karya seni pada zaman ini tentu berbeda dan masih banyak kemungkinan yang dihasilkan.
Dalam buku Narasi Simbolik Seni Rupa Kontemporer Indonesia karya Dr. Acep Iwan Saidi memaparkan kajian hermeneutikan seni rupa kontemporer. Dalam buku tersebut menjelaskan unsur-unsur yang harus dimiliki dalam menafsirkan suatu karya seni rupa, yaitu; seni/objek, objektivasi struktur, simbolisasi, seniman & aspek referensial, disiplin ilmu lain yabg relevan, makna.
Perlu Anda ketahui untuk memahami kesenian pada zaman ini butuh literasi-literasi yang terbarukan agar generasi yang akan datang. Mengapa lukisan Basquiat dan Alipjon sulit dimengerti, ya karena kebanyakan masyarakat khususnya di Indonesia tidak bisa move on dari sudut pandang realisme.
Mungkin narasi mengenai estetika telah mati juga merupakan interpretasi dari buruknya tingkat literasi di Indonesia. Indonesia adalah negara yang tingkat literasinya rendah. Banyak peran yang harus menyadarkan pemerintah untuk lebih aktif berpikir untuk mengatasi permasalahan literasi yang rendah. Kesenian hadir dan mengkritisi itu.
Generasi gagal paham akan perkembangan seni rupa juga didoktrin oleh generasi-generasi kolot yang tidak membaca arus perkembangan kesenian dibidang manapun.
Maka pemikiran-pemikiran masyarakat muda Indonesia masih kolot tapi kita seperti merasakan guncangan libertarian di Indonesia dan kebangkitan-kebangkitan semangat untuk bebas berekspresi lebih tendensius lewat jalur seni. Kita tidak lupa tentang gerakan penolakan RUU Permusikan. Gelombang penolakan dan perlawanan lebih jelas lewat kesenian.
Alipjon juga pada wawancara oleh Insight menceritakan bagaimana perasaannya tentang generasi saat ini yang tidak peka terhadap kesenian.
Disamping itu, kesenian bukanlah soal a e s t h e u t i c belaka, namun kesenian pada zaman sekarang lebih dari itu. Membawa gaya baru dalam berkarya seharusnya bisa dipelajari oleh masyarakat saat ini untuk memahami kehidupan keras, buday konsumtif yang berlebih, lautan tanda dan gemerlapnya kapitalisme.
Kesenian juga bersahabat pada dunia komersil karena memang tuntutan kehidupan. Dan tujuan yang paling mulia dari para seniman adalah sadar dari eksploitasi.
Jangan sampai kita malah dieksploitasi pemikirannya untuk menghidupi mereka yang ongkak-ongkak kaki dikursi, sementara kebebasan mereka dalam berekspresi dibelenggu dengan racun kemewahan. Pemberontakan dan perlawanan harus hidup bersamaan dengan seni bukan untuk menghancurkan kapitalisme tapi untuk memperbaiki keserakahan dan kemunduran berpikir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H