Mohon tunggu...
moh irfan rizqy
moh irfan rizqy Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

A student actively involved at Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, with a strong passion for organizations and politics, grew up in an environment surrounded by activists. This background has shaped the writer into an organizer capable of both leading and being led, always ready to collaborate effectively in a team. The writer’s organizational experience serves as a strong foundation, enabling them to quickly adapt to new environments and contribute positively.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Carok di Tengah Pilkada: Darah, Dendam dan Harga Diri

27 November 2024   07:00 Diperbarui: 27 November 2024   07:09 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
picture by: Arin_35 (@AriniUmniyati) / X

Malam itu, desa di Sampang, Madura, begitu sunyi. Angin laut berhembus pelan, membawa aroma asin yang tajam. Namun, di balik ketenangan itu, ada ketegangan yang semakin menggelora, seperti api yang hampir tak terlihat, tapi siap membakar kapan saja. 

Pilkada yang sedang berlangsung di daerah itu sudah cukup membuat warga terpecah, masing-masing membela calon mereka dengan segala cara. Politik di Madura bukanlah urusan santai—di sini, harga diri lebih bernilai daripada suara. Dan di desa ini, ada sebuah nama yang tak bisa dibiarkan melintas begitu saja: Idris.

Idris adalah seorang pemuda yang dikenal keras kepala. Ia bukan orang yang mudah dipengaruhi, apalagi dalam urusan harga diri. Dikenal oleh banyak orang sebagai pria yang selalu menjaga martabat keluarga, Idris tumbuh besar dalam tradisi yang mengajarkan bahwa apapun bisa diperdebatkan, namun bukan kehormatan. 

Dan malam itu, dalam pusaran politik yang semakin memanas menjelang hari pemilihan, Idris merasa darahnya mendidih. 

Sejak pagi, dia sudah mendengar bisik-bisik yang mengatakan bahwa Hamid, tetangganya, yang juga calon pendukung salah satu pasangan calon, mulai menyebarkan fitnah tentang dirinya. Katanya, Idris terlibat dalam pengaturan suara di salah satu TPS yang dicurigai curang.

Fitnah. Itulah yang membuat Idris tak bisa tidur. Hamid—sosok yang sering kali berbuat licik—adalah orang yang tak tahu batas. Begitu banyak orang yang sudah tahu caranya memainkan taktik kotor, tetapi Idris tidak pernah menduga bahwa Hamid akan berani menjelek-jelekkan namanya di depan publik. 

Keputusan sudah diambil. Idris tak akan tinggal diam. Jika dia harus membela harga dirinya dengan darah, maka itulah yang akan dia lakukan. Carok—tradisi lama yang tak pernah mati—akan menjadi jalan keluarnya.

Malam itu, Idris berjalan dengan langkah berat menuju rumah Hamid. Desir angin laut terdengar semakin keras, seakan alam pun tahu bahwa malam itu akan terjadi sesuatu yang tak bisa lagi dibalikkan. Di tangan Idris, sebuah celurit berkilau di bawah cahaya bulan. Celurit yang akan membuktikan siapa yang benar dan siapa yang terhina.

Sesampainya di depan rumah Hamid, Idris terdiam sejenak. Suasana sepi. Hanya suara jangkrik yang terdengar. Di dalam rumah, Hamid tampaknya sudah menunggu. Tidak ada kata-kata, hanya tatapan tajam yang saling bertemu di antara keduanya. Idris bisa merasakan ketegangan yang tebal, hampir seperti sebuah pertarungan yang sudah ditakdirkan sejak lama.

"Jangan kira kau bisa mencemari namaku begitu saja, Hamid!" kata Idris, suaranya gemetar tapi penuh tekad. "Malam ini, kita selesaikan semuanya. Tidak ada lagi kata maaf. Hanya ada satu yang akan berdiri, dan itu adalah aku."

Hamid hanya tersenyum sinis. "Kau pikir carok bisa menyelesaikan semuanya? Kalau begitu, buktikan kalau kamu lebih berani."

Tanpa banyak bicara, keduanya melangkah ke tengah lapangan terbuka, tempat yang sudah sering digunakan para lelaki desa untuk menyelesaikan masalah mereka dengan cara yang brutal itu. Suasana semakin mencekam. Warga yang sudah mendengar kabar mulai berkumpul di sekitar mereka, menjadi saksi bisu dari pertarungan yang tak pernah ada habisnya di tanah Madura ini.

Idris dan Hamid berhadap-hadapan. Hanya ada dua celurit yang mengkilap, saling mencerminkan cahaya bulan yang pucat. Waktu seolah melambat. Di balik tatapan tajam mereka, ada kesenjangan yang lebih dalam dari sekadar perselisihan pribadi—ini adalah tentang kehormatan, tentang siapa yang lebih layak dihormati.

Idris menggenggam celurit dengan erat, merasakan getaran tangannya, bukan karena takut, tetapi karena rasa marah yang menggelegak. Dia tahu, malam ini dia tidak hanya akan melawan Hamid, tetapi juga melawan tradisi yang sudah mengakar dalam jiwanya.

Luka pertama tergores. Teriakan kesakitan terdengar, tetapi bukan dari Idris. Hamid terjatuh, darah mengalir dari tubuhnya. Idris berdiri, tatapannya kosong, tak merasa kemenangan itu ada. Hanya ada kehampaan yang mengalir bersama darah yang tertumpah.

Warga yang menyaksikan peristiwa itu hanya bisa terdiam. Sebagian berbisik, sebagian menutup wajah mereka. Tidak ada yang bisa menyangkal, carok telah terjadi. Namun, tidak ada yang merasa kemenangan itu manis. Idris menatap tubuh Hamid yang tergeletak di tanah, darahnya menggenang, menciptakan bayangan yang seolah akan mengikutinya selamanya.

"Kehormatan itu mahal, tapi apakah sebanding dengan nyawa yang hilang?" Idris bergumam, suaranya nyaris tak terdengar. "Apa yang aku buktikan malam ini? Apakah harga diriku lebih penting dari hidup orang lain?"

Ketika Idris kembali ke rumah, kegelapan semakin menebal. Hatinya terasa hampa, seolah ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Meskipun ia berhasil membuktikan bahwa ia lebih kuat, bahwa kehormatan tak bisa diinjak begitu saja, ada perasaan lain yang muncul: rasa takut. Rasa takut akan apa yang telah ia lakukan, dan apa yang akan terjadi pada dirinya setelah ini.

Tradisi carok, yang mungkin dulu terasa seperti sebuah jalan keluar, kini terasa lebih seperti kutukan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Ia memberi jawaban sementara, tetapi meninggalkan luka yang tak bisa sembuh.

Pilkada pun berlalu, dan desa itu kembali bernafas. Namun bagi Idris, tak ada yang bisa menghapus kenangan malam itu. Di tanah Madura, carok mungkin dianggap sebagai jalan akhir dari sebuah konflik, tapi di dalam dirinya, Idris tahu bahwa darah yang tertumpah tidak akan pernah bisa mengembalikan apa yang telah hilang.

Pada akhirnya, hanya ada satu pertanyaan yang menggantung di udara yang berat itu: Apakah harga diri harus selalu dibayar dengan nyawa?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun