Tanpa banyak bicara, keduanya melangkah ke tengah lapangan terbuka, tempat yang sudah sering digunakan para lelaki desa untuk menyelesaikan masalah mereka dengan cara yang brutal itu. Suasana semakin mencekam. Warga yang sudah mendengar kabar mulai berkumpul di sekitar mereka, menjadi saksi bisu dari pertarungan yang tak pernah ada habisnya di tanah Madura ini.
Idris dan Hamid berhadap-hadapan. Hanya ada dua celurit yang mengkilap, saling mencerminkan cahaya bulan yang pucat. Waktu seolah melambat. Di balik tatapan tajam mereka, ada kesenjangan yang lebih dalam dari sekadar perselisihan pribadi—ini adalah tentang kehormatan, tentang siapa yang lebih layak dihormati.
Idris menggenggam celurit dengan erat, merasakan getaran tangannya, bukan karena takut, tetapi karena rasa marah yang menggelegak. Dia tahu, malam ini dia tidak hanya akan melawan Hamid, tetapi juga melawan tradisi yang sudah mengakar dalam jiwanya.
Luka pertama tergores. Teriakan kesakitan terdengar, tetapi bukan dari Idris. Hamid terjatuh, darah mengalir dari tubuhnya. Idris berdiri, tatapannya kosong, tak merasa kemenangan itu ada. Hanya ada kehampaan yang mengalir bersama darah yang tertumpah.
Warga yang menyaksikan peristiwa itu hanya bisa terdiam. Sebagian berbisik, sebagian menutup wajah mereka. Tidak ada yang bisa menyangkal, carok telah terjadi. Namun, tidak ada yang merasa kemenangan itu manis. Idris menatap tubuh Hamid yang tergeletak di tanah, darahnya menggenang, menciptakan bayangan yang seolah akan mengikutinya selamanya.
"Kehormatan itu mahal, tapi apakah sebanding dengan nyawa yang hilang?" Idris bergumam, suaranya nyaris tak terdengar. "Apa yang aku buktikan malam ini? Apakah harga diriku lebih penting dari hidup orang lain?"
Ketika Idris kembali ke rumah, kegelapan semakin menebal. Hatinya terasa hampa, seolah ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Meskipun ia berhasil membuktikan bahwa ia lebih kuat, bahwa kehormatan tak bisa diinjak begitu saja, ada perasaan lain yang muncul: rasa takut. Rasa takut akan apa yang telah ia lakukan, dan apa yang akan terjadi pada dirinya setelah ini.
Tradisi carok, yang mungkin dulu terasa seperti sebuah jalan keluar, kini terasa lebih seperti kutukan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Ia memberi jawaban sementara, tetapi meninggalkan luka yang tak bisa sembuh.
Pilkada pun berlalu, dan desa itu kembali bernafas. Namun bagi Idris, tak ada yang bisa menghapus kenangan malam itu. Di tanah Madura, carok mungkin dianggap sebagai jalan akhir dari sebuah konflik, tapi di dalam dirinya, Idris tahu bahwa darah yang tertumpah tidak akan pernah bisa mengembalikan apa yang telah hilang.
Pada akhirnya, hanya ada satu pertanyaan yang menggantung di udara yang berat itu: Apakah harga diri harus selalu dibayar dengan nyawa?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H