Madura, begitu sunyi. Angin laut berhembus pelan, membawa aroma asin yang tajam. Namun, di balik ketenangan itu, ada ketegangan yang semakin menggelora, seperti api yang hampir tak terlihat, tapi siap membakar kapan saja.Â
Malam itu, desa di Sampang,Pilkada yang sedang berlangsung di daerah itu sudah cukup membuat warga terpecah, masing-masing membela calon mereka dengan segala cara. Politik di Madura bukanlah urusan santai—di sini, harga diri lebih bernilai daripada suara. Dan di desa ini, ada sebuah nama yang tak bisa dibiarkan melintas begitu saja: Idris.
Idris adalah seorang pemuda yang dikenal keras kepala. Ia bukan orang yang mudah dipengaruhi, apalagi dalam urusan harga diri. Dikenal oleh banyak orang sebagai pria yang selalu menjaga martabat keluarga, Idris tumbuh besar dalam tradisi yang mengajarkan bahwa apapun bisa diperdebatkan, namun bukan kehormatan.Â
Dan malam itu, dalam pusaran politik yang semakin memanas menjelang hari pemilihan, Idris merasa darahnya mendidih.Â
Sejak pagi, dia sudah mendengar bisik-bisik yang mengatakan bahwa Hamid, tetangganya, yang juga calon pendukung salah satu pasangan calon, mulai menyebarkan fitnah tentang dirinya. Katanya, Idris terlibat dalam pengaturan suara di salah satu TPS yang dicurigai curang.
Fitnah. Itulah yang membuat Idris tak bisa tidur. Hamid—sosok yang sering kali berbuat licik—adalah orang yang tak tahu batas. Begitu banyak orang yang sudah tahu caranya memainkan taktik kotor, tetapi Idris tidak pernah menduga bahwa Hamid akan berani menjelek-jelekkan namanya di depan publik.Â
Keputusan sudah diambil. Idris tak akan tinggal diam. Jika dia harus membela harga dirinya dengan darah, maka itulah yang akan dia lakukan. Carok—tradisi lama yang tak pernah mati—akan menjadi jalan keluarnya.
Malam itu, Idris berjalan dengan langkah berat menuju rumah Hamid. Desir angin laut terdengar semakin keras, seakan alam pun tahu bahwa malam itu akan terjadi sesuatu yang tak bisa lagi dibalikkan. Di tangan Idris, sebuah celurit berkilau di bawah cahaya bulan. Celurit yang akan membuktikan siapa yang benar dan siapa yang terhina.
Sesampainya di depan rumah Hamid, Idris terdiam sejenak. Suasana sepi. Hanya suara jangkrik yang terdengar. Di dalam rumah, Hamid tampaknya sudah menunggu. Tidak ada kata-kata, hanya tatapan tajam yang saling bertemu di antara keduanya. Idris bisa merasakan ketegangan yang tebal, hampir seperti sebuah pertarungan yang sudah ditakdirkan sejak lama.
"Jangan kira kau bisa mencemari namaku begitu saja, Hamid!" kata Idris, suaranya gemetar tapi penuh tekad. "Malam ini, kita selesaikan semuanya. Tidak ada lagi kata maaf. Hanya ada satu yang akan berdiri, dan itu adalah aku."
Hamid hanya tersenyum sinis. "Kau pikir carok bisa menyelesaikan semuanya? Kalau begitu, buktikan kalau kamu lebih berani."