Berdiri sebagai institusi regional dengan pengaruh yang signifikan di Asia Tenggara, Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) sudah selayaknya berani mengambil sikap dan solusi yang absolut untuk setiap permasalahan yang terdapat di negara-negara anggota.Â
Sebagai organisasi regional, ASEAN berdiri dengan sangat inklusif dengan tugas dan tujuan yang kompleks, serta ruang lingkup dan jangkauan kerja yang komprehensif, utamanya dalam merespons berbagai permasalahan di kawasan Asia Tenggara.Â
Adapun yang menjadi perbincangan dunia internasional beberapa waktu terakhir adalah mengenai konflik humanisme di Myanmar sebagai akibat dari adanya kudeta militer.Â
Lantas, bagaimanakah peran ASEAN dalam menangani permasalahan tersebut? Apakah langkah yang telah diambil ASEAN sudah membuahkan hasil yang efektif? Dan bilamana belum, bagaimana pula langkah dan logika berpikir yang tepat bagi ASEAN dalam mengatasi problematika ini?Â
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, tentu kita harus memahami bersama akan seluk-beluk singkat terjadinya konflik kudeta militer Myanmar, di mana setelahnya dapat kita hubungkan dengan langkah yang tepat bagi ASEAN dalam mengambil sikap dan solusinya menurut pilar logika dalam filsafat ilmu.
Sebagai gambaran singkatnya, Myanmar tengah mengalami konflik internal yang belum mendapat titik tengah hingga sekarang, di mana pada 1 Februari 2021 yang lalu, junta militer melakukan penahanan terhadap sejumlah aktivis demokrasi, Presiden U Win Myint, politisi Aung San Suu Kyi dan sejumlah menteri kabinet, politikus oposisi, serta rekan jurnalis.Â
Militer Myanmar (Tatmadaw) yang dipimpin oleh Min Aung Hlaing mengambil alih kepemimpinan atas negara tersebut dengan mengumumkannya melalui stasiun televisi yang dikelola oleh pihak militer.Â
Sebagai akar masalahnya, aksi ini terjadi atas adanya tindakan penolakan terhadap hasil pemilu yang dilaksanakan pada 8 November 2020 di mana Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) berhasil memenangkan sejumlah 83 kursi di parlemen.Â
Hasil pemilu tersebut lantas diklaim oleh pihak militer sebagai bentuk kecurangan dan secara eksplisit mengatakan bahwa hasil pemilu yang keluar tidaklah sah serta meminta untuk dilakukannya pemilu ulang. Atas aksi junta militer ini, hampir seluruh masyarakat Myanmar lantas turun ke jalan guna menolak keras aksi kudeta militer tersebut dan menuntut dibebaskannya Aung San Suu Kyi.
Aksi ini lantas berimplikasi pada terbunuhnya ratusan orang dan ribuan lainnya telah ditahan di Myanmar sejak kudeta militer tanggal 1 Februari 2021. Militer Myanmar tetap bergeming dan menutup telinga dari berbagai seruan komunitas internasional dan organisasi masyarakat sipil.Â
Bahkan, Assistance Association of Political Prisoners (AAPP) mengatakan bahwa masalah ini sudah tergolong dalam pelanggaran HAM yang sangat darurat serta membutuhkan tanggapan regional dan global yang cepat dan tegas.Â
Oleh karenanya, berkaca pada permasalahan tersebut, apakah ASEAN hanya tinggal diam dan tidak berbuat apa-apa? Pada dasarnya, ASEAN sebagai organisasi regional telah mengambil sejumlah tindakan, di mana langkah yang paling pertama adalah dengan menggelar pertemuan darurat ASEAN pada 24 April 2021 di Jakarta yang dihadiri oleh tujuh perwakilan dari tiap-tiap negara ASEAN.Â
Adapun tiga negara lainnya yang dalam hal ini Thailand, Filipina, dan Laos mengonfirmasi tidak dapat hadir oleh karena suatu kendala. Dari pertemuan darurat tersebut, dihasilkanlah lima poin kesepakatan atau yang lebih dikenal dengan istilah Five-Point Consensus.
Adapun substansi dari Five-Point Consensus tersebut di antaranya (1) kekerasan di Myanmar harus segera dihentikan dan semua pihak harus menahan diri sepenuhnya; (2) adanya dialog konstruktif di antara semua yang berkepentingan untuk memulai mencari solusi damai demi suara dan perlindungan hak rakyat; (3) utusan ketua ASEAN akan memfasilitasi proses dialog dengan bantuan Sekretaris Jenderal ASEAN; (4) ASEAN akan memberikan bantuan kemanusiaan melalui ASEAN Coordinating Centre for Humanitarian Assistance on Disaster Management; dan (5) utusan khusus serta delegasi akan mengunjungi Myanmar untuk bertemu dengan semua pihak terkait.Â
Akan tetapi, selang dua hari semenjak disepakati bersama, konsensus ini disebut gagal karena junta militer Myanmar malah semakin meningkatkan serangannya kepada warga sipil, alih-alih menghentikannya.Â
Ketidakefektifan implementasi konsensus tersebut tentu menuntut ASEAN untuk memutar otak dan mencari solusi logis lainnya dalam membantu mengatasi konflik humanisme ini. Bila menilik pada pilar logika dalam kerangka filsafat ilmu, peran dan langkah ASEAN dalam menangani kasus ini sejatinya dapat dianalisis berdasarkan konstruksi logika induktif.
Logika induktif sendiri dapat dipahami sebagai suatu ragam logika yang mempelajari asas-asas penalaran yang benar dari sejumlah hal khusus sampai pada kesimpulan umum yang bersifat boleh jadi atau probabiliti (Adib, 2015: 100).Â
Hal-hal khusus di sini dapat diinterpretasikan atau dikorelasikan dengan fenomena dan permasalahan kompleks yang ada di Myanmar antara pemerintahan demokratis, rakyat sipil, dan junta militer.Â
Adapun langkah-langkah strategis yang akan diambil oleh ASEAN untuk ke depannya dapat dianalogikan sebagai kesimpulan umum atau probabilitas. Konsepsi logika induktif dalam filsafat ilmu tersebut sejatinya dapat menjadi pijakan bagi ASEAN untuk berpikir rasional dan merumuskan langkah yang tepat dalam mengatasi konflik HAM di Myanmar ini.Â
Selaras dengan hal tersebut, ada sejumlah strategi yang harus diambil ASEAN guna menyelesaikan konflik ini. Sebagai yang pertama adalah dengan membuat prinsip non-interferensi menjadi lebih fleksibel lagi, utamanya dalam hal konsensus dan kedaulatan nasional, sehingga ASEAN diharapkan dapat mengambil sikap yang lebih berani dalam mengambil sikap pada isu junta militer Myanmar.
Kedua, ASEAN diharapkan dapat mengajukan inisiatif diplomatik dengan pendekatan dialogis dan komunikasi komprehensif bersama junta militer guna mencari titik tengah dengan menjunjung tinggi prinsip dan etika demokrasi, dan bukan untuk mencampuri secara utuh dan menyeluruh akan permasalahan internal yang ada.Â
Selaras dengan langkah logis sebelumnya, untuk yang ketiga ASEAN juga harus mampu membangun dan mengonstruksikan dialog dengan masyarakat sipil di Myanmar, serta negara anggota ASEAN lainnya dalam ranah yang lebih intim, namun tetap terbuka.Â
Dialog tersebut dapat dilakukan dengan bantuan teknologi digital ataupun dengan membangun pusat komunikasi dan konsultasi langsung di Myanmar.Â
Adapun yang keempat, ASEAN harus terus mengawal akan janji dari pemimpin junta militer Myanmar untuk kembali menyelenggarakan pemilu jika yang sebelumnya diindikasikan ada bentuk kecurangan, daripada melakukan kekerasan yang tak berorientasi pada HAM ini.Â
Dan sebagai strategi yang terakhir, ASEAN selaku organisasi internasional harus mampu menjembatani Myanmar dengan pihak eksternal sebagai upaya untuk meyakinkan mitra dialog ASEAN serta masyarakat internasional guna mengembalikan demokratisasi di Myanmar yang cinta damai.
Dengan proyeksi strategi berbasis logika induktif di atas, ASEAN diharapkan mampu menghentikan masalah internal ini yang sampai detik ini pun masih saja menjadi momok menakutkan bagi warga Myanmar.Â
Myanmar seakan tak pernah terhindarkan dari sorotan pelanggaran HAM, semenjak sebelumnya juga telah dihebohkan dengan kejahatan genosida oleh pemerintah Myanmar yang ditujukan kepada etnis Rohingya di Negara Bagian Rakhine Utara sebagai kelompok minoritas.Â
Hal tersebut lantas menyebabkan ribuan etnis Rohingya terbunuh, hingga melakukan pengungsian ilegal secara masif ke negara tetangga, tak terkecuali Indonesia. Kendati begitu, masalah-masalah internal yang terjadi di Myanmar ini sudah sepatutnya dibantu dan diakomodasi oleh ASEAN secara universal guna menemui titik terang dan memberantas segala bentuk pelanggaran HAM yang sudah sekian waktu melanda masyarakat Myanmar.Â
Ini juga sebagai konsekuensi Myanmar menjadi salah satu anggota resmi ASEAN, sehingga mau tidak mau ASEAN harus bisa mengambil sikap pada segala bentuk permasalahan yang ada di negara anggotanya.Â
Sebagai penutup, dapat kita simpulkan bersama bahwa pendekatan logis dan bentuk kreativitas lain harus mulai dicari oleh ASEAN sebagai langkah nyata dalam menemukan titik terang dalam isu humanisme Myanmar ini, yang dalam hal ini juga dapat dianalisis melalui kajian logika dalam kerangka filsafat ilmu.
Referensi
Adib, Mohammad. (2015). Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Cabinet Secretariat of the Republic of Indonesia. (Januari 2023). Indonesia Pushes for Implementation of ASEAN's Five-Point Consensus. https://setkab.go.id/en/indonesia-pushes-for-implementation-of-aseans-five-point-consensus/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H