Bahkan, Assistance Association of Political Prisoners (AAPP) mengatakan bahwa masalah ini sudah tergolong dalam pelanggaran HAM yang sangat darurat serta membutuhkan tanggapan regional dan global yang cepat dan tegas.Â
Oleh karenanya, berkaca pada permasalahan tersebut, apakah ASEAN hanya tinggal diam dan tidak berbuat apa-apa? Pada dasarnya, ASEAN sebagai organisasi regional telah mengambil sejumlah tindakan, di mana langkah yang paling pertama adalah dengan menggelar pertemuan darurat ASEAN pada 24 April 2021 di Jakarta yang dihadiri oleh tujuh perwakilan dari tiap-tiap negara ASEAN.Â
Adapun tiga negara lainnya yang dalam hal ini Thailand, Filipina, dan Laos mengonfirmasi tidak dapat hadir oleh karena suatu kendala. Dari pertemuan darurat tersebut, dihasilkanlah lima poin kesepakatan atau yang lebih dikenal dengan istilah Five-Point Consensus.
Adapun substansi dari Five-Point Consensus tersebut di antaranya (1) kekerasan di Myanmar harus segera dihentikan dan semua pihak harus menahan diri sepenuhnya; (2) adanya dialog konstruktif di antara semua yang berkepentingan untuk memulai mencari solusi damai demi suara dan perlindungan hak rakyat; (3) utusan ketua ASEAN akan memfasilitasi proses dialog dengan bantuan Sekretaris Jenderal ASEAN; (4) ASEAN akan memberikan bantuan kemanusiaan melalui ASEAN Coordinating Centre for Humanitarian Assistance on Disaster Management; dan (5) utusan khusus serta delegasi akan mengunjungi Myanmar untuk bertemu dengan semua pihak terkait.Â
Akan tetapi, selang dua hari semenjak disepakati bersama, konsensus ini disebut gagal karena junta militer Myanmar malah semakin meningkatkan serangannya kepada warga sipil, alih-alih menghentikannya.Â
Ketidakefektifan implementasi konsensus tersebut tentu menuntut ASEAN untuk memutar otak dan mencari solusi logis lainnya dalam membantu mengatasi konflik humanisme ini. Bila menilik pada pilar logika dalam kerangka filsafat ilmu, peran dan langkah ASEAN dalam menangani kasus ini sejatinya dapat dianalisis berdasarkan konstruksi logika induktif.
Logika induktif sendiri dapat dipahami sebagai suatu ragam logika yang mempelajari asas-asas penalaran yang benar dari sejumlah hal khusus sampai pada kesimpulan umum yang bersifat boleh jadi atau probabiliti (Adib, 2015: 100).Â
Hal-hal khusus di sini dapat diinterpretasikan atau dikorelasikan dengan fenomena dan permasalahan kompleks yang ada di Myanmar antara pemerintahan demokratis, rakyat sipil, dan junta militer.Â
Adapun langkah-langkah strategis yang akan diambil oleh ASEAN untuk ke depannya dapat dianalogikan sebagai kesimpulan umum atau probabilitas. Konsepsi logika induktif dalam filsafat ilmu tersebut sejatinya dapat menjadi pijakan bagi ASEAN untuk berpikir rasional dan merumuskan langkah yang tepat dalam mengatasi konflik HAM di Myanmar ini.Â
Selaras dengan hal tersebut, ada sejumlah strategi yang harus diambil ASEAN guna menyelesaikan konflik ini. Sebagai yang pertama adalah dengan membuat prinsip non-interferensi menjadi lebih fleksibel lagi, utamanya dalam hal konsensus dan kedaulatan nasional, sehingga ASEAN diharapkan dapat mengambil sikap yang lebih berani dalam mengambil sikap pada isu junta militer Myanmar.
Kedua, ASEAN diharapkan dapat mengajukan inisiatif diplomatik dengan pendekatan dialogis dan komunikasi komprehensif bersama junta militer guna mencari titik tengah dengan menjunjung tinggi prinsip dan etika demokrasi, dan bukan untuk mencampuri secara utuh dan menyeluruh akan permasalahan internal yang ada.Â