Tahukah Anda, Mundo Deportivo mengabarkan bahwa klub Premier League mundur setelah ditawarkan sejumlah uang oleh UEFA. Kabar dari media Spanyol itu menguat setelah dalam pengumuman resminya, ESL bilang kalau klub Premier League mundur karena adanya tekanan dari luar.
Perlu diketahui pula, pasca ESL digaungkan, UEFA juga mengumumkan format baru Liga Champions yang akan resmi dipakai di musim 2024/2025. Pengumuman ini keluar lebih cepat dari yang direncanakan. Bahkan sejatinya, klub-klub Eropa belum paham dengan format baru tersebut.
Sekilas yang saya tahu, dalam format baru tersebut jumlah peserta ditambah. Format grup juga diubah dan menjamin peserta lebih banyak memainkan laga. Ujungnya, Liga Champions berjalan lebih lama, yang artinya banyak laga terjadi, banyak slot untuk sponsor, dan tujuan akhirnya sama dengan ESL, menambah keuntungan finansial.Â
ESL memang menjanjikan keuntungan besar kepada para pesertanya. Modal awal yang diinvestasikan JP Morgan kepada ESL saja 6 miliar dollar AS. Pasca kabar ini mencuat, apa yang dilakukan UEFA? UEFA sedang berdiskusi dengan Centricus Asset Management soal paket pembiayaan 6 miliar euro (7,2 miliar dollar AS) untuk merombak Liga Champions demi menyaingi ESL. Hal ini menunjukkan bahwa apapun akhirnya, konklusinya ya soal bagi-bagi kue yang makin besar.
Inilah yang saya maksud dengan pengulangan sejarah. Pasalnya, ide sejenis bukan kali ini saja. Serie A dan Premier League lahir dari ide yang sama, yakni ketidakpuasan klub-klub kuat terhadap liga yang dikelola federasi. Hal tersebut jelas tak akan saya bahas di sini, sebab bakal panjang ulasannya.
Yang terpenting, sekarang kita tahu bahwa perlu kepada dingin untuk menyikapi peristiwa panas semacam ESL. Sebab, ide-ide semacam Liga Super ini tak hanya terjadi di 5 liga top eropa. Di luar penguasa itu, klub kasta kedua Eropa juga punya rencana yang sama. Asia juga, sempat ada wacana liga super, bahkan ASEAN juga punya ide serupa.
ESL juga telah menunjukkan kepada kita wajah sepak bola modern. Yang terjadi bukan adu prestasi, melainkan adu kompromi antar pemilik klub dengan federasi sepak bola agar semua pihak merasa sama-sama untung dari sepak bola.Â
Apa yang ditunjukkan fans di eropa sana juga patut dijadikan pembelajaran untuk kita bahwa klub tak boleh dibiarkan dijalankan oleh orang-orang serakah yang tak menghormati hukum, sejarah, dan nilai kultural sebuah tim.
Akhirnya, kini kita sama-sama tahu kan konklusi dari ESL dan kompetisi Liga Champions UEFA? Mau pro atau kontra, ujungnya sama, duit! Cukup sekian, nanti kita cerita lagi tentang European Super League ini. Sebab, kisah drama ESL ini masih mungkin berlanjut hingga berjilid-jilid.
@IrfanPras