Kisah lain saya dapat dari kawan saya yang merupakan pekerja swasta di salah satu perusahaan. Dia juga panik saat mendengar ada yang positif Covid-19 di lingkungan tempat tinggalnya.
Alasan kekhawatirannya ternyata bukan perkara risiko tertular apa tidak, melainkan "lockdown". Ya mirip dengan kasus pedagang pasar yang kesal tempat dagangnya ditutup pemkot.
Dengan terkena lockdown, artinya dia tidak bisa masuk kerja. Di tempat perusahaannya bekerja, tidak masuk kerja ganjarannya pemotongan gaji sesuai dengan jumlah hari dia absen.
Logikanya sama dengan kawan saya yang berwirausaha. Ketakutannya bukan perkara tertular apa tidak, melainkan wilayah tempatnya berwirausaha bakal ikut terdampak "lockdown" apa tidak. Â Â
Tempat usahanya selama ini di datangi berbagai macam orang setiap harinya. Ada tamu yang menjunjung tinggi protokol kesehatan, ada pula yang biasa saja. Ya sekadar nyari aman biar gak kena razia masker di jalan raya.
Bila tempat usahanya ikut kena kebijakan "lockdown" otomatis dia tidak bisa menerima tamu. Tidak menerima tamu artinya tidak ada orderan masuk. Tidak ada orderan masuk artinya tidak ada pemasukan.
Kisah dari pedagang pasar, pekerja swasta, dan wirausaha yang saya ketahui semua bermuara ke perkara dapur. Kalau asap dapur tak mengepul, hajat hidup tak terpenuhi, mereka tak bisa bertahan hidup di tengah pandemi ini.
Kondisi pandemi ini memang serba dilematis, terutama bagi mereka yang tidak punya gaji tetap, pekerja serabutan, dan para pedagang serta UMKM yang sangat bergantung dengan customer. Pilihan bagi mereka hanya dua, bekerja demi sesuap nasi atau berdiam diri menunggu mati kelaparan.
Saya pribadi ketika dihadapkan dengan situasi demikian, jujur saja, tak sanggup. Saya pernah mencoba, setiap saran usaha hingga pesan semangat sulit mencapai hati mereka yang terdampak secara finansial oleh pandemi Covid-19 ini.
Jalan satu-satunya ya kerja, kerja, kerja. Maka sekarang saya tak heran bila berjumpa dengan masyarakat dengan kelas sosial seperti itu. Saya paham betul, dibalik sikap tak acuh mereka terhadap kebenaran virus corona, ada ketakutan dan putus asa dibaliknya.
Pada akhirnya saya ingin bertanya, "Di mana letak nalar dan hatimu wahai Bapak Menteri Sosial, Juliari Batubara? Kau tega korupsi dana bansos Covid-19 demi urusan perutmu sendiri?".
Saya tak habis pikir dengan kelakuan menteri satu ini beserta pihak-pihak yang terlibat suap-menyuap tak bermoral itu. Sungguh serendah-rendahnya manusia adalah mereka yang tega mengambil hak orang dan menindasnya saat mereka lemah.