Bila robeknya ACL diikuti rusaknya beberapa ligamen lutut lain seperti posterior cruciate ligament (PCL), medial collateral ligament (MCL), dan lateral collateral ligament (LCL), maka proses rehabilitasi akan memakan waktu lebih lama serta memungkinkan timbulnya dampak cedera lanjutan.
Jurnalis The Athletic, David Ornstein yang disebut mendapat bocoran analisis sejumlah dokter memperkirakan bahwa cedera ACL yang dialami van Dijk sangat parah dan ia diperkirakan bakal menepi hingga akhir musim. Pernyataan tersebut sebetulnya sangat mendasar, pun dr. Rajpal Brar juga mengatakan demikian.
"Rata-rata pesepak bola kembali menampilkan permainan level tertinggi seperti sebelum cedera dalam 18-24 bulan, termasuk mengatasi mental, kepercayaan diri dan ketakutan dapat cedera lagi," kata dr. Rajpal Brar mengutip dari This Is Anfiled via okezone.com.
Oleh karena itu, sangat jarang seorang pesepak bola yang bisa kembali ke performa terbaiknya seusai cedera ACL. Sebut saja Theo Walcott dan Hector Bellerin yang butuh waktu 240-280 hari untuk sembuh dari cedera, tapi setelah itu kedua pemain tersebut mengalami penurunan performa.
Walau performanya turun, setidaknya Walcott dan Bellerin bisa kembali merumput. Pun sama dengan Marco Reus, walau kini sering dibekap cedera, kapten Borussia Dortmund tersebut masih bisa bermain lagi.
Kinesiophobia, Ketakutan Pasca Cedera
Bila ada hal yang menghambat pesepak bola untuk kembali merumput dan menampilkan permainan terbaiknya, maka bisa jadi si pemain mengalami kinesiophobia. Kinesiophobia didefinisikan sebagai rasa takut berlebih akan gerakan, karena timbulnya rasa takut akan cedera kembali (Lundberg et al., 2006)
Kinesiophobia pertama kali dikenalkan oleh Miller et al. (1990) sebagai salah satu aspek Fear-Avoidance Model. Fear-Avoidance Model mengilustrasikan bahwa ketika peristiwa menyakitkan diyakini memberi ancaman, hal itu dapat menciptakan pemikiran negatif bahwa gerakan dan aktivitas dapat mengakibatkan rasa sakit dan cedera lebih lanjut (Larsson et al., 2016).Â
Ketika ini berlanjut, akan menjadi perilaku penghindaran, menyebabkan kecacatan, dekondisi dan depresi, menciptakan lingkaran setan ketakutan dan rasa sakit yang terus-menerus (Larsson et al., 2016).
Menurut penelitian FIFPro, pesepak bola aktif dan mantan pesepak bola profesional menderita lebih banyak gejala depresi dan kecemasan daripada masyarakat umum.Â
Dari 826 responden dari serikat pemain FIFPro, 38% pesepak bola aktif dan 35% mantan profesional mengatakan mereka menderita masalah kesehatan mental.