Kabar buruk menimpa Liverpool. Bek andalan dan tulang punggung pertahanan The Reds, Virgil van Dijk diperkirakan bakal absen lama setelah divonis mengalami cedera ACL pada saat laga derby Merseyside.
Van Dijk dinyatakan cedera ACL akibat ditekel kiper Everton, Jordan Pickford. Kepastian panjangnya absen Van Dijk didukung oleh dicoretnya kapten timnas Belanda itu dari daftar pemain Liverpool musim ini.
Keputusan menyakitkan dari Jurgen Klopp itu punya dasar alasan kuat. Setelah melakukan serangkaian pemeriksaan, bek berusia 29 tahun itu dinyatakan terkena cedera ACL tingkat 3 yang merupakan tingkat terparah.
Apa itu cedera ACL tingkat 3? Kenapa disebut terparah dan berapa lama sebetulnya waktu pemulihannya?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, mari kita sedikit berkenalan dengan cedera ACL yang telah bertahun-tahun lamanya menyandang status sebagai cedera terhoror bagi seorang olahragawan, terutama pesepak bola.
Mengenal Cedera ACL
![Anatomi ligamen pada lutut kaki manusia. | Foto: pthealth.ca](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/10/25/knee-ligaments-5f94c958d541df3651556002.jpg?t=o&v=770)
Berdasarkan jenis jaringan ikat atau organnya, cedera ACL masuk dalam jenis cedera sendi. Cedera ACL sendiri bisa timbul akibat beberapa sebab. Untuk kasus Virgil van Dijk, cedera ACL terjadi akibat terjangan Jordan Pickford pada lutut kanan van Dijk ketika kiper Everton itu berusaha menghalau bola.
Pada kasus Nicolo Zaniolo, lututnya berbenturan dengan bek Juventus, Merih Demiral yang membuat keduanya sama-sama cedera ACL. Sementara untuk kasus Ronaldo Nazario, cedera ACL-nya terjadi akibat giringan memutarnya yang kadang berhenti secara mendadak.
Berdasarkan jurnal I Wayan Artanayasa dan Adnyana Putra dari Universitas Pendidikan Ganesha Bali yang berujudul "Cedera Pada Pemain Sepak bola", diketahui bahwa cedera ACL dibagi menjadi 3 tingkatan berdasarkan tingkat keparahannya.
![Tingkatan cedera ACL. | foto: Dokumen Pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/10/25/tingkatan-cedera-acl-5f94ca10d541df5f7762cd42.png?t=o&v=770)
![Rekontruksi atau operasi cedera ACL pada lutut. | Foto: local-physio.co.uk via thisisanfield.com](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/10/25/acl-reconstruction-600x340-5f94ca2c8ede484bc2304ca2.jpg?t=o&v=770)
Bila robeknya ACL diikuti rusaknya beberapa ligamen lutut lain seperti posterior cruciate ligament (PCL), medial collateral ligament (MCL), dan lateral collateral ligament (LCL), maka proses rehabilitasi akan memakan waktu lebih lama serta memungkinkan timbulnya dampak cedera lanjutan.
Jurnalis The Athletic, David Ornstein yang disebut mendapat bocoran analisis sejumlah dokter memperkirakan bahwa cedera ACL yang dialami van Dijk sangat parah dan ia diperkirakan bakal menepi hingga akhir musim. Pernyataan tersebut sebetulnya sangat mendasar, pun dr. Rajpal Brar juga mengatakan demikian.
"Rata-rata pesepak bola kembali menampilkan permainan level tertinggi seperti sebelum cedera dalam 18-24 bulan, termasuk mengatasi mental, kepercayaan diri dan ketakutan dapat cedera lagi," kata dr. Rajpal Brar mengutip dari This Is Anfiled via okezone.com.
Oleh karena itu, sangat jarang seorang pesepak bola yang bisa kembali ke performa terbaiknya seusai cedera ACL. Sebut saja Theo Walcott dan Hector Bellerin yang butuh waktu 240-280 hari untuk sembuh dari cedera, tapi setelah itu kedua pemain tersebut mengalami penurunan performa.
Walau performanya turun, setidaknya Walcott dan Bellerin bisa kembali merumput. Pun sama dengan Marco Reus, walau kini sering dibekap cedera, kapten Borussia Dortmund tersebut masih bisa bermain lagi.
Kinesiophobia, Ketakutan Pasca Cedera
Bila ada hal yang menghambat pesepak bola untuk kembali merumput dan menampilkan permainan terbaiknya, maka bisa jadi si pemain mengalami kinesiophobia. Kinesiophobia didefinisikan sebagai rasa takut berlebih akan gerakan, karena timbulnya rasa takut akan cedera kembali (Lundberg et al., 2006)
Kinesiophobia pertama kali dikenalkan oleh Miller et al. (1990) sebagai salah satu aspek Fear-Avoidance Model. Fear-Avoidance Model mengilustrasikan bahwa ketika peristiwa menyakitkan diyakini memberi ancaman, hal itu dapat menciptakan pemikiran negatif bahwa gerakan dan aktivitas dapat mengakibatkan rasa sakit dan cedera lebih lanjut (Larsson et al., 2016).Â
Ketika ini berlanjut, akan menjadi perilaku penghindaran, menyebabkan kecacatan, dekondisi dan depresi, menciptakan lingkaran setan ketakutan dan rasa sakit yang terus-menerus (Larsson et al., 2016).
![Fear-avoidance model. | Foto: raynersmale.com](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/10/25/fear-avoidance-5f94cc18d541df4ec54c1022.png?t=o&v=770)
Menurut penelitian FIFPro, pesepak bola aktif dan mantan pesepak bola profesional menderita lebih banyak gejala depresi dan kecemasan daripada masyarakat umum.Â
Dari 826 responden dari serikat pemain FIFPro, 38% pesepak bola aktif dan 35% mantan profesional mengatakan mereka menderita masalah kesehatan mental.
Sebuah studi FIFPro terpisah juga menemukan fakta bahwa pesepak bola aktif juga lebih rentan mengalami masalah kesehatan mental di kemudian hari setelah menderita cedera jangka panjang.
"Pemain yang absen lebih dari 28 hari karena cedera, 2-7 kali lebih mungkin mengalami gejala gangguan mental umum dalam 12 bulan berikutnya dibandingkan rekan yang tidak mengalami cedera," kata FIFPro dikutip dari insidethegames.biz
Kebetulan, salah satu cedera yang memakan waktu rehabilitasi jangka panjang adalah cedera ACL. Jika kembali menyoal kinesiophobia yang mengerikan itu, contoh pemain masa kini yang dikhawatirkan dapat mengalaminya adalah Nicolo Zaniolo.
Ancaman Depresi pada Nicolo Zaniolo Akibat Cedera ACL
Beberapa waktu lalu (8/9/2020), kenyataan pahit harus diterima Zaniolo yang divonis cedera ACL pada lutut kirinya saat membela timnas Italia melawan Belanda di ajang UEFA Nations League.Â
Walau telah menjalani berbagai pemeriksaan dan didiagnosis mengalami cedera ACL, Zaniolo tidak langsung naik meja operasi. Bisa dibilang operasinya ditunda.
Penyebab utamanya adalah kondisi psikis Zanilo. Gelandang AS Roma dan timnas Italia itu diketahui terguncang oleh kenyataan pahit tersebut. Bagaimana tidak, ini adalah cedera ACL keduanya di tahun 2020 dan Ia telah mengalami pukulan telak itu di usianya yang baru 21 tahun.
Sebelumnya, idola Romanisti itu mengalami robek ACL lutut kanan pada Januari 2020 dan dinyatakan sembuh pada Juli lalu. Baru juga merumput 2 bulan, ACL pada lutut kiri pesepak bola 21 tahun itu ikut robek.
"Dia merasa sedikit lebih baik sekarang, tapi ketika dia pertama kali bertemu kami, dia menangis, dia marah, bahkan takut kalau dia kena kutukan. Tapi sekarang dia sudah tenang. Kata-kata pertamanya adalah: Saya harus berhenti bermain sepak bola. Saya rasa saya dikutuk." ungkap ibu Zaniolo, Francesca Costa kepada La Gazzetta dello Sport, dikutip dari detik.com
Akibat psikis yang terguncang, Zaniolo disebut sempat ditangani psikolog terlebih dahulu sebelum diputuskan akan menjalani operasi. Bahkan operasinya yang telah sukses dilakukan pada 13 September lalu, dipindah dari tempat operasi pertamanya di Villa Stuart, Roma ke Innsbruck, Austria untuk menghindarkannya dari situasi trauma. Â
![Foto Nicolo Zaniolo seusai sukses menjalani operasi cedera ACL di Austria pada 13 September lalu. | foto: Twitter @TransfersCalcio](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/10/25/zaniolo-surgery-success-twitter-transfercalcio-5f94cd148ede4801473cf8a2.jpg?t=o&v=770)
Setidaknya, ada awan positif yang menyelimuti Van Dijk dan Zaniolo. Mari kita berharap saja nasib mereka tak seperti Martin Bengtsson dan Sebastian Deisler, mantan wonderkid Swedia dan Jerman.
Martin Bengtsson, mantan pemain akademi Inter juga mengiyakan hasil survei FIFpro akan risiko gangguan mental pada pesepak bola. Dulu, ketika usia Bengtsson baru 19 tahun, ia mengalami cedera lutut parah dan harus menepi selama 10 bulan. Di masa isolasi itulah, Ia mencoba bunuh diri dan akhirnya memilih pensiun.
Serupa tapi tak sama. Deisler belum lama bergabung dengan Hertha Berlin dari Borussia Moenchengladbach pada 1999, namun ia sudah harus mengalami robek ACL di usianya yang baru 19 tahun. Walau begitu, Ia masih melanjutkan kariernya hingga membela Bayern Munich dan timnas Jerman.
Akan tetapi, ternyata cederanya kambuhan hingga membuatnya absen di ajang Piala Dunia 2006 dan hanya membuatnya membela Bayern 62 kali selama empat setengah musim. Pada Januari 2007, Deisler mengumumkan pensiun dari dunia sepak bola di usinya yang baru menginjak 27 tahun.
Saat itu, Deisler mengaku sudah tak percaya lagi pada lututnya. Baginya, serangkaian cederanya adalah siksaan baginya sehingga membuatnya tak bisa menikmati bermain sepak bola lagi.
Bila menyimak berbagai penjelasan di atas, sebetulnya bisa ditarik kesimpulan bahwa sekali terkena cedera ACL, bakal membuat kondisi lutut pesepak bola tak akan kembali seperti sedia kala. Inilah yang menjadi risiko timbulnya rasa takut hingga gangguan kesehatan mental seperti depresi.
***
Bagi pesepak bola, sepak bola bukan hanya sekadar hobi, tapi juga profesi untuk menghidupi. Bagi pesepak bola, kaki tidak hanya modal, tapi aset bahkan alat untuk bekerja.
Bayangkan saja bila mereka menerima kenyataan kalau kakinya cedera atau bahkan divonis cedera parah yang membuatnya bakal absen lama. Tidak hanya akan berhenti bekerja untuk sementara waktu, tapi mereka mesti rela hobinya tak tersalurkan untuk sementara waktu. Â
Men sana in corpore sano. Untuk bisa kembali sembuh, pesepak bola yang mengalami cedera harus punya kondisi psikis yang sehat dan kuat. Oleh karenanya, sebagai fans yang bijak, sudah selayaknya kita mendoakan dan mendukung pesepak bola yang kini tengah berjuang untuk sembuh dari cederanya, apalagi sembuh dari cedera ACL.
Suntikan moral punya kekuatan besar untuk membantu mereka yang cedera agar punya dorongan semangat lebih untuk bisa kembali merumput di lapangan hijau. Tak hanya kembali bermain, tapi juga menikmati sepak bola dan menuai prestasi.
Sekian.
@IrfanPras Â
***
Larsson, C., Ekvall Hansson, E., Sundquist, K., & Jakobsson, U. (2016). Kinesiophobia and its relation to pain characteristics and cognitive affective variables in older adults with chronic pain. BMC Geriatr, 16, 128.
Lundberg, M., Larsson, M., Ostlund, H., & Styf, J. (2006). Kinesiophobia among patients with musculoskeletal pain in primary healthcare. J Rehabil Med, 38(1), 37-43.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI