Mohon tunggu...
IrfanPras
IrfanPras Mohon Tunggu... Freelancer - Narablog

Dilarang memuat ulang artikel untuk komersial. Memuat ulang artikel untuk kebutuhan Fair Use diperbolehkan.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Terancam Kudeta, Ada Apa dengan Juventus?

17 Juli 2020   17:57 Diperbarui: 17 Juli 2020   18:00 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cristiano Ronaldo dan Gonzalo Higuain terlihat kecewa ketika menghadapi Sassuolo, kemarin (16/7). | foto: noticiasaominuto.com

Juventus kembali menelan hasil negatif. Pada lanjutan giornata 33 Serie A Italia, Juventus nyaris kalah di kandang Sassuolo. Bermain di Mapei Stadium, gol Alex Sandro memaksa hasil imbang 3-3.

Ini merupakan lanjutan hasil negatif di 2 giornata sebelumnya. Pada pekan 32, Juventus juga hanya meraih hasil imbang 2-2 di kandang kala bersua dengan Atalanta. Ironisnya, Juventus di-bully sebab mereka dua kali menyamakan kedudukan lewat gol penalti Ronaldo.

Dua hasil imbang di 2 giornata terakhir merupakan lanjutan hasil buruk di pekan ke-31. Si Nyonya Tua yang bertandang ke San Siro tumbang dari AC Milan setelah sempat unggul 2-0. Pasukan Maurizio Sarri pulang ke Turin dengan tertunduk malu setelah keunggulan mereka dibalas 4 gol oleh Milan.

Hasil negatif di 3 laga terakhir terjadi setelah mereka meraih 4 kemenangan beruntun di Serie A pascavakum akibat pandemi covid-19. Di 4 laga itu, Juve mencetak 14 gol dan hanya 2 kali kebobolan. Akan tetapi, statistik buruk justru ditunjukkan di 3 laga terakhir.

Si Nyonya Tua hanya meraih 2 poin dari 3 pertandingan. Mereka kalah sekali dan imbang dua kali. Melawan Milan, Atalanta, dan Sassuolo, Le Zebre hanya mencetak 7 gol dan kebobolan 9 gol. Hasil yang jomplang jika dibandingkan dengan 4 laga sebelumnya.

Jadi, ada apa dengan Juventus?

Mengapa mereka tiba-tiba kendor? Apakah habis bensin?

Sebagai pendukung tim rival (baca: milanisti), saya pribadi tak terlalu memahami Juventus. Namun, sebagai pecinta Serie A saya cukup paham apa yang kini dirisaukan oleh para Juventini. Mereka menilai, problem utamanya adalah filosofi "Sarriball" milik Maurizio Sarri yang tak berjalan mulus. Tagar #SarriOut pun sempat menjadi trending topic di twitter.  

Sebelum itu, ada baiknya kita pahami dulu maksud dari filosofi "Sarriball". Tanpa memahami "Sarriball", kita tak akan tahu sebab Juventus kendor di 3 laga terakhirnya. Jadi, apa itu "Sarriball"?

Mengenal "Sarriball", filosofi taktik milik Maurizio Sarri

"Sarriball" merupakan istilah yang disematkan kepada filosofi taktik milik Maurizio Sarri. Istilah ini pertama kali disebut ketika Sarri menangani Napoli. Kala itu, ia menjadikan Napoli sebagai kuda hitam yang memiliki gaya bermain berbeda daripada tim Italia lainnya karena menerapkan permainan menyerang di tengah "catenaccio" klub-klub Serie A.

Filosifinya itu disanjung oleh pelatih legendaris Italia, Arrigo Sacchi sebagai salah satu perkembangan sepak bola Italia paling penting. Akan tetapi, Sarri sendiri mengaku tak paham maksud dari "Sarriball". Istilah itu memang disematkan oleh para jurnalis di Italia dan Inggris.

"My idea of football is simple. I like to play possession based football but possession at a very high speed"- Maurizio Sarri

Begitulah kata Sarri ketika di tanya seorang jurnalis soal gagasan sepak bolanya pada 2018 lalu.

Konsep "Sarriball" atau di Italia juga disebut "Sarrismo" adalah sebuah konsep taktik sepak bola menyerang yang mengandalkan umpan pendek cepat dari kaki ke kaki (one touch pass). Umpan cepat ini bertujuan untuk sesegera mungkin mengalirkan bola kedepan dan menciptakan ruang kosong yang bisa dieksploitasi.

Atas gaya bermain semacam itu, "Sarriball" sering disebut sebagai vertikal tiki taka. Jika tiki taka Pep Guardiola membutuhkan gelandang kreatif seperti Iniesta, David Villa, dan De Bruyne untuk membuka ruang, maka beda halnya dengan "Sarriball".

Vertical tiki taka "Sarriball" memberi perintah kepada pemainnya untuk melakukan umpan cepat dengan membentuk pola segitiga kecil. Keberhasilan pola ini mengandalkan peran sosok deep lying playmaker/regista yang memiliki kemampuan mengalirkan bola dari lini belakang kedepan dengan cepat dan akurat. Konsep ini membuat tim yang dilatih Sarri jarang membuat percobaan dribble dan lebih sering menusuk langsung ke depan gawang lawan dengan umpan mendatar.

Ya, "Sarriball" sangat jarang menggunakan umpan lambung untuk membangun serangan. Konsep dari "Sarriball" sebisa mungkin membuat bola tetap mengalir di atas rumput lapangan dengan umpan cepat dari kaki ke kaki.

Untuk memuluskan taktik menyerang ini, Sarri juga menginstruksikan pemainnya untuk menerapkan high pressing kepada lawannya. Sehingga counter cepat bisa segera dilakukan ketika bola berhasil direbut. "Sarriball" sendiri mempunyai pakem formasi yang menjadikan gaya bermainnya menjadi atraktif dan sedap dipandang.

Sejak di Napoli, Sarri selalu memakai pakem formasi 4-3-3. Untuk menciptakan high pressing ketika bertahan, formasi ini akan berubah menjadi 4-5-1 atau 4-4-2. Dan di Juventus musim ini, formasi itu masih Sarri terapkan.

Masalah "Sarriball" di Juventus

Di Juventus, Sarri tetap menerapkan formasi 4-3-3. Formasi ini sering terlihat berganti menjadi 4-3-1-2 atau 4-3-2-1 namun, intinya tetap menggunakan 3 penyerang di depan. Ketika bertahan, Juve sering merubah formasinya menjadi 4-4-2 menyisakan 2 penyerang dan menambah 1 gelandang untuk memutus aliran bola lawan.

Trio penyerang Juve sering dihiasi Gonzalo Higuain, Cristiano Ronaldo, dan Paulo Dybala. Di lini tengah, Bentancur dan Pjanic sering berperan sebagai regista. Sementara di lini belakang Sarri punya stok bek yang melimpah. Sarri sendiri sering memasang 4 bek yang dihuni oleh de Ligt, Bonucci, Alex Sandro, dan Cuadrado.

Formasi dan susuan pemain Juventus kala bersua Milan (7/7). | tangkapan layar footyroom.co
Formasi dan susuan pemain Juventus kala bersua Milan (7/7). | tangkapan layar footyroom.co
Akan tetapi, nyatanya dengan stok pemain yang begitu melimpah dan berkualitas, banyak pihak berpendapat bahwa taktik Sarri tak berjalan di Juventus. Menurut saya, ada 2 faktor utama yang menjadi sebab. "Sarriball" punya 2 inti penopang permainan, yaitu seorang regista dan seorang ball playing defender.

"Sarriball" membangun serangannya dari lini belakang dan menarik pemain lawan masuk ke area mereka demi menciptakan ruang kosong untuk melancarkan serangan. Taktik ini bergantung pada kemampuan bek yang punya kemampuan olah bola yang baik. Mereka juga butuh regista, seorang geladang bertahan yang punya umpan akurat dan tak mudah kehilangan bola.

Semasa di Napoli dan Chelsea, Sarri punya Jorginho di posisi regista. Jorginho punya umpan akurat serta ia begitu memahami taktik Sarri yang ingin cepat-cepat mengalirkan bola kedepan. Di Juventus, peran regista ini terbilang gagal diterapkan oleh Pjanic ataupun Bentancur.

Di posisi bek, yang punya kemampuan ball playing defender mumpuni hanya de Ligt dan Demiral. Sebenarnya Bonucci punya kemampuan itu, namun ia rasanya tak cocok dengan formasi 4 bek dan lebih baik ketika bermain dengan formasi 3 bek seperti formasinya Conte.

Selain problem tersebut, "Sarriball" memang punya kelemahan mendasar. Sarri dikenal sebagai seorang pelatih yang keras kepala. Semua pemain yang turun harus mengikuti polanya, maka kreatifitas pemain jarang kita lihat. Selain itu, Ia tak akan mengubah formasi dan taktiknya apapun yang terjadi.

Ya, "Sarriball" tak punya plan B ketika buntu. Kapan mengalami kebuntuan? Yaitu, ketika anak asuh Sarri bertemu tim yang menerapkan taktik "parkir bus" atau punya pertahanan solid. Hal ini sangat terlihat ketika Juve kalah dari Milan di giornata 31.

Dua gol Juve bisa dibilang hasil kesalahan bek Milan. Memang, Ronaldo bisa mencetak gol lewat situasi umpan lambung cepat yang menembus pertahanan Milan, sesuatu yang jarang terjadi di permainan Sarri. Namun, setelah mencetak 2 gol, Juve selalu membentur dinding pertahanan solid dari Milan.

2 gol Milan saja tercipta akibat kegagalan pemain Juve menerapkan "Sarriball" yang berbuah serangan balik. High pressing yang diterapkan justru menjadi bumerang bagi Juventus. Di 3 laga terakhirnya, Juventus pasti kebobolan dan salah satu penyebabnya adalah kesalahan bek yang entah dilakukan Bonucci, Danilo, atau Alex Sandro.

Selain kesalahan bek, Juventus juga makin sering mengalami kebuntuan. Karena Sarri tak punya plan B dan sepanjang laga "Sarriball" terus dimainkan tak peduli bagaimana situasi riilnya, maka hanya tinggal menunggu waktu sampai tim lain hafal dengan pola serangan Juventus.

Terancam kudeta, bisakah Juventus tetap menjadi juara

Dengan Serie A yang masih menyisakan 5 pertandingan, apakah Juventus masih berpeluang menjadi juara? Jawabannya, masih. Walaupun "Sarriball" sudah mulai dianalisis lawan dan bek Juventus makin sering blunder, tetapi nyatanya Juve tak terdepak dari capolista walau hanya mendapat 2 poin di 3 laga terakhirnya.

Penyebabnya hanya satu. Walau Juve tengah inkonsisten, namun saingannya lebih inkonsisten. Seusai imbang dengan Sassuolo, Sarri tak menampik problem terbesar timnya adalah inkonsistensi dan menurunnya fisik serta mental pemainnya.

Akan tetapi, Lazio dan Inter yang menjadi pesaing utamanya musim ini malah gagal memanfaatkan situasi dengan bermain angin-anginan. Kalau sudah begini, maka Serie A tak ada bedanya dengan Bundesliga, semua akan Juventus pada waktunya.

Di sisa 5 pertandingan, Juve akan melawan Lazio (H), Udinese (A), Sampdoria (H), Cagliari  (A), dan Roma (H). Lawan terberat bisa dikatakan datang dari tim ibukota, Lazio dan AS Roma. Juventus akan melawan Lazio 20 Juli nanti. Jika Juve kalah, jarak mereka dengan peringkat kedua bisa hanya 3-4 poin saja.

Saat ini, Juve unggul 6 poin dari Inter di peringkat kedua, 7 poin dari Atalanta, dan 8 poin dari Lazio di peringkat 4. Keempat tim tersebut masih punya peluang menjadi juara. Akan tetapi, bila menilik dari performa di 3 pekan terakhir, maka sebetulnya kuncinya bukan ada pada Juventus, namun kepada para pesaingnya.

Nyatanya, Juve terpeleset 3 kali tapi masih saja di puncak klasemen. Tetapi, Juventus tak boleh lengah, hasil di 3 laga terakhir membuktikan bahwa taktik mereka sudah mulai terbaca. "Sarriball" yang diterpkan sudah terlihat tak efektif. Juventus memang masih bisa memenangi liga, namun bila permainan Juve terus seperti itu, hanya tinggal menunggu waktu runtuhnya dominasi Juve di Italia.

Hanya ada dua cara memperbaiki situasi ini. Pertama, beli pemain yang tepat dan sesuai dengan keinginan Sarri. Dalam hal ini, Juve telah menukar Arthur dengan Pjanic. Arthur mungkin saja diproyeksikan menjadi regista menggantikan Pjanic yang dinilai gagal.

Atau, Juventus bisa memilih opsi kedua, yaitu mendepak Sarri. Menurut pengamatan saya, opsi kedua ini banyak diamini juventini. Ada yang menyerukan agar Allegri kembali menjadi pelatih. Akan tetapi, menurut Mike McGrath, jurnalis The Telegraph, nama Mauricio Pochettino menjadi kandidat pelatih pengganti Sarri yang tengah dipertimbangkan dipecat di akhir musim.

Pilihan jelas ada di tangan manajemen Juventus. Yang jelas, posisi mereka saat ini sangat rawan dikudeta. Gelar Coppa sudah melayang, tentu Juve tak ingin scudetto juga lepas. Tapi mereka harus ingat, jika tak konsisten bukan tak mungkin Juve akan mengkahiri liga di bawah Lazio, Inter, atau Atalanta.

Jawabannya akan sama-sama kita ketahui di akhir musim nanti.

Sekian. Ciao!

@IrfanPras

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun