Bahasa bukan hanya sebuah sistem tata bahasa yang kompleks; dalam berbicara, kita menghasilkan urutan-urutan bunyi, menggunakan sistem vokal sebagai ruang bunyi, dan dalam berbicara, kita menggunakan makna-makna. Dalam strukturalisma, menurut Claude Levi-Strauss, tata bunyi telah digunakan sebagai model konseptual guna memahami budaya, presepsi, dan sifat pikiran manusia (Roger M. Keesing, 1992).
Berdasarkan informasi tentang jumlah bahasa di Indonesia oleh Sumber Institute of Linguistics (SIL) Internasional Cabang Indonesia, bahasa-bahsa di tanah Papua, baik di Provinsi Papua maupun Papua Barat berjumlah 265 bahasa. Dari jumlah tersebut, 263 bahasa yang hidup dan dua bahasa tidak berfungsi sebagai bahasa ibu. Jumlah tersebut mungkin saja tergeser dalam 10 tahun terakhir. Informasi terakhir tentang bahasa-bahasa di Papua masih dibuat oleh Pusat Bahasa, Kementrian Pendidikan Nasional dalam penelitian pemetaan bahasa-bahasa di Indonesia tahun 2006-2010. Hasilnya masih direfisi namun diperkirakan berjumlah 272 ahasa.
Bahasa Moi pada masa lampau selama ratusan tahun telah menempatkan diri menjadi bahasa lingua franca (bahasa pengantar) di seluruh jazirah Kepala Burung . bahasa Moi juga mampu bertahan sampai sekarang sebagai bahasa yang masih hidup di tengah pengaruh Bahasa Indonesia atau Bahasa Melayu, serta bahasa-bahasa Austronasia selama ratusan tahun, karena interaksi dengan dunia luar seperti suku-suku dari bagian barat Pualau Papua dan suku-suku di pesisir utara Pulau Papua.
Bahasa sebagai alat komunikasi merupakan identitas pokok yang sangat identik dengan masyarakat tertentu. Bahasa menunjukkan bangsa atau suku bangsa tertentu. Bangsa yang besar akan selalu memiliki dan berusaha untuk mempertahankan berbagai aspek budayanya akan berusaha untuk melestarikan budaya melalui pencatatan dan penelitian, dibukukan agar bahasa tersebut tidak punah.
Bahasa Moi sendiri (H,K Cowan) yang termaksud dalamrumpun bahasa barat laut Kepala Burung memiliki variasi kemiripan secara leksikal dengan Bahasa Karon, Madik, Kalabra, Moraid, dan Ayamaru. Rupanya yang dimaksud adalah Bahasa Ayamaru memiliki perbedaan dan bukan rumpun Bahasa Maybrat.
Bahasa Ayamaru memiliki kemiripan paling sedikit dengan bahasa-bahasa tersebut, tetapi memiliki beberapa kesamaan yang lebih menonjol dengan Bahasa Karon dan Madik karena merupakan bahasa di daerah pedalaman Kepala Burung. Bahasa Karon memiliki hubungan yang lebih dekat dengan Bahasa Madik karena merupakan satu rumpun yang memiliki perbedaan dialek antara dialek utara, selatan, dan pedalaman. Bahasa Kalabra lebih dekat dengan Bahasa Moraid. Sedangkan Bahasa Moi berada pada posisi diantara dua pasang bahasa tersebut yang merupakan campuran yang saling memperkaya kosakata, ditambah dengan penduduk asli Makbon dan Asbaken (Kesultanan Tidore), namun lebih dekat dengan Kalabra dan Maroid, daripada asli Makbon dan Moraid yang disebut Bahasa Salmak.
Kesamaan bahasa-bajasa tersbut antara lain didapatkan dari keamanan/kemiripan kata-kata yang memiliki akar yang sama (lihat tabel).
Indonesia
Moi
Kalabra
Moraid
Karon
Kepala
Rambut
Telinga
Kaki
Tangan
Tulang
Daging
Air
Saya
Kamu
Satu
Tiga
Tiga
Kamu
Saya
Kepala
Baru
Sagusu
Sadjin
Toutba
Elik
Wenin
Korus
Wegem
Kla/Kala
Tit/Tiku
Nin
Mele
Tolu
Nin
Tit
Sagusu
Nelibi
Safas
Sadin
Tefit
Tefit
Vening
Kodus
Waken
Kala
Tit
Mejanin
Mere
tuluk
Sawang
Ere
Vening
Kedog
Pege
Kela
Tit
Mereh
Teluk
Dili
Nan
Dji
Su
Be
Nan
Be
Berdasarkan telaah interaksi antara bahasa-bahasa tersebut di atas maka tampak sekali hubungan genetik antara bahasa Moi, Karon, dan Moraid (Cowan). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh hubungan perkawinan antara suku-suku di wilayah mereka tinggal.
Bahasa Moi merupakan salah satu dari lima phylum mayor terkecil bahasa Papua (yakni phylum Papua Barat) di mana didalamnya terdapat 24 bahasa.
Berry & Berry, (1987), menyebutkan bahwa Bahasa Moi asli, bahasa induk, dipakai oleh sekitar 4.600 penutur di wilayah Sorong. Bahasa Moi memiliki banyak dialek dan masing-masing dialek memiliki perbedaan yang tidak terlalu besar. Berry & Berrymengklasifikasikan menjadi tiga: Amber ( dari pegunungan), Klasa (dari hulu sungai), dan Kelim (pedalaman).
Bahasa Moi merupakan bahasa yang berbeda dengan Bahasa Moraid, namun masih satu keluarga bahasa Kepala Burung bagian Barat Daya.
Bahasa Moi, menurut Berry & Berry, dikelompokkan dalam 3 dialek besar yakni:
1. Moi Amber/Asli/Besar meliputi penutur bahasa Moi di wilayah Makbon, Malaumkarta, Batulubang, Asbakin, Malanu, Klasaman, Aimas, dan Klamono dengan jumlah penutur diperkirakan sebanyak 3.000orang pada tahun 1987.
2. Klasanyang meliputi penutur bahasa Moi di wilayah Megan dan Dela dengan penutur 800 orang
3. Kelim yang meliputi penutur bahasa Moi di wilayah, Maladofok, dan Klayili sebanyak 4.600orang.
Dengan demikian, pada saat itu Bahasa Moi masih digunakansecara luas oleh lebih dari 60% penduduk di daerah Moi Asli dan 70% di Klasan, serta 25% di Kelim.
Nama : Irfan Nursyam
TTL : Sorong, 30 Agustus 1990
Hobby : Bermain Bulu Tangkis & Futsal
Email : irfan.nursyam1990@gmail.com
Saat ini saya adalah Mahasiswa UMS (Universitas Muhammadiyah Sorong).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H