Oleh : Irfan MInd
Beberapa aturan peraturan perundang-undang di Indonesia yang mengatur tentang Perlindungan Hukum bagi konsumen yang menggunakan metode cast on delevery (COD) saat belanja online tapi menerima Produk tidak lengkap/barang hilang atau Produk Rusak/Cacat/Salah atau Produk palsu, berikut aturannya:
1. Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Kegiatan yang dilakukan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik akan menimbulkan perbuatan hukum "Transaksi Elektronik" yang diatur dalam Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Informasi dan Transaksi Elektronik. Sesuai dengan hukum acara Indonesia yang diatur dalam aturan yang ditentukan dalam Undang-Undang ini, informasi elektronik, dokumen elektronik, dan/atau cetakannya secara khusus dijelaskan sebagai "alat bukti yang sah" dan "perpanjangan alat bukti yang sah" dalam Pasal 5 ayat 1 sampai dengan 3. Menurut undang-undang, surat dan kertas harus ditulis sebagai akta notaris atau akta yang dibuat oleh pejabat yang membuat akta. Menurut ayat (4), ada dua keadaan di mana informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik tidak berlaku: (a) surat yang harus dibuat secara tertulis sesuai dengan undang-undang; dan (b) surat dan dokumen dari padanya.
Lebih jelasnya, dalam Pasal 9 Undang-Undang ITE menjelaskan bahwa, "Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui sistem elektronik wajib memberikan informasi yang lengkap dan benar terkait syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan,"
 Isi pasal di atas menegaskan bahwa terdapat kewajiban pelaku usaha terhadap konsumen, hal tersebut berguna untuk meminimalisir terjadinya cacat perjanjian antara pelaku usaha dan konsumen, sehingga pelaku usaha berkewajiban untuk mencantumkan informasi yang detail dan akurat tentang toko Online mereka serta deskripsi barang dan jasa yang di jual serta keterangan tentang ketentuan standar.
 Perbuatan yang dilakukan dengan bertransaksi secara elektronik secara hukum dapat di tindak lanjut dengan Pasal 28 ayat (1) yang menegaskan bahwa setiap orang yang dengan sengaja menyebarkan informasi yang tidak benar tanpa izin menyebabkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik. Adapun menurut Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang ITE, pelanggaran yang tercantum dalam Pasal 28 ayat (1) undang-undang tersebut diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda Rp 1 miliar.
2. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Dalam Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menjelaskan tentang hak-hak konsumen, konsumen mempunyai hak-hak sebagai berikut:
- hak untuk memilih barang dan/atau jasa dan memperolehnya sesuai dengan nilai tukar, syarat-syarat, dan jaminan yang dijanjikan;
- hak atas informasi yang akurat, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
- dan hak atas kompensasi, kompensasi, dan/atau penggantian, di antara hak-hak lainnya.
Sedangkan untuk pelaku usaha diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Adapun kewajiban pelaku usaha adalah sebagai berikut:Â
- memberikan informasi yang akurat, jelas, dan jujur mengenai negara dan jaminan barang dan/atau jasa;
- menjelaskan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan;
- dan memberikan kompensasi, kompensasi, dan/atau penggantian jika barang dan/atau jasa yang diterima atau digunakan tidak sesuai dengan perjanjian, dll.
- Adapun menurut Pasal 8 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa ilegal bagi pelaku usaha  atau penjual untuk menjual produk barang atau jasa yang tidak sesuai dengan spesifikasi atau keterangan dalam kemasannya atau pada deskripsi produk atau bahkan dalam promosinya. Oleh karena itu, berdasarkan Pasal 4 huruf h Undang-Undang Perlindungan Konsumen memberikan hak kepada konsumen untuk meminta kompensasi dan/atau ganti rugi berdasarkan apabila produk barang atau jasa yang diterima oleh konsumen berbeda dengan keterangan pada produk. Bahkan berdasarkan Pasal 62 UUPK Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa pelaku usaha berkewajiban untuk memberikan kompensasi dan/atau penggantian apabila produk barang dan/atau jasa yang diterima oleh konsumen tidak sesuai dengan perjanjian awal maka pelaku usaha dapat dituntut pidana.
3. Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggara Transaksi Sistem Transaksi Elektronik
Menurut Pasal 45 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggara Transaksi Sistem Transaksi Elektronik menjelaskan bahwa Itikad baik, prinsip kehati-hatian, keterbukaan, akuntabilitas, dan kewajaran harus menjadi pertimbangan para pihak dalam melakukan transaksi elektronik.
Walaupun suatu aktivitas transaksi dilakukan melalui sistem online, tapi tetap bisa dipertanggungjawabkan dengan Undang-Undang ITE dan PP Penyelenggara Transaksi Sistem Transaksi Elektronik. Dalam ketentuan yang berlaku, konsumen dianggap sudah menyepakati transaksi elektronik pada mereka menekan tombol persetujuan sebab sudah dianggap menyetujui isi perjanjian antar penjual dan pembeli. Hal tersebut didasari bahwa konsumen sebelum menekan tombol persetujuan, telebih dahulu membaca dan menerima persyaratan yang ditetapkan oleh pelaku usaha. Berdasarkan Pasal 46 Ayat (2) PP PSTE, suatu kontrak elektronik terjadi dan sudah sah jika terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
- para pihak memiliki perjanjian tertulis;
- subjek hukum memenuhi persyaratan atau diwakili oleh orang yang berwenang sesuai dengan hukum yang berlaku;
- keberadaan sesuatu dan tujuan suatu transaksi tidak boleh melanggar hukum, kesusilaan, atau ketertiban umum.
Sedangkan pasal 47 ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggara Transaksi Sistem Transaksi Elektronik menjelaskan bahwa pelaku usaha wajib memberikan informasi sebagai berikut: nama para pihak, objek dan spesifikasi, persyaratan transaksi elektronik, harga dan biaya, prosedur yang harus ditempuh dalam hal salah satu pihak memutuskan untuk membatalkan perjanjian, ketentuan yang memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk mengembalikan barang dan/atau meminta penggantian jika terdapat cacat yang tersembunyi, dan pilihan hukum untuk penyelesaian transaksi elektronik. Oleh demikian, instrumen Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggara Transaksi Sistem Transaksi Elektronik bisa dipakai dalam kondisi di mana transaksi elektronik dilakukan agar memberikan landasan hukum untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi tersebut.Â
4. Peraturan Pemerintah No. 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik
Semenjak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik, pelaku usaha yang menjual produk melalui online terikat dengan hukum dan konsumen sudah terlindungi secara peraturan perundang-undangan. walaupun sudah diatur terkait dengan kewajiban Pelaku Usaha yang diperjualbelikan melalui Online dengan kewajiban mencantumkan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai barang atau jasa, konsumen tetap perlu berhati-hati dalam melakukan pembelian melalui transaksi elektronik, hal tersebut dikarenakan masih adanya pelaku bisnis yang melakukan praktik bisnis tidak jujur.[5]
Dalam Peraturan Pemerintah tersebut menyebutkan bahwa pelaku usaha harus menyampaikan penawaran yang jujur dan data dan/atau informasi yang detail pada saat bertransaksi produk barang dan jasa dengan sistem elektronik. Ketentuan tersebut tidak efektif dalam menanggulangi perbuatan penipuan atau wanprestasi dalam transaksi e-commerce. Pelaku usaha berkewajiban untuk memperhatikan hak-hak konsumen sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.
Adapun dalam Pasal 13 ayat 13 Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 menegaskan tentang tata niaga dengan menggunakan sistem elektronik sebagai berikut:
- Identitas subjek hukum harus diungkapkan, bersama dengan informasi terkait lainnya.
- Didukung oleh fakta atau bukti yang dapat dipercaya.
- Memberikan informasi yang akurat dan benar mengenai kondisi dan jaminan produk dan/atau layanan yang dialihkan, serta sistem elektronik itu sendiri, dengan memanfaatkan fungsi dan peran sistem elektronik dalam transaksi.
- Mematuhi hukum negara dan standar etika periklanan.
Kemudian Pasal 72 Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik juga menegaskan bahwa Berbagai pihak dapat menyelesaikan perselisihan melalui penggunaan sistem elektronik, pengadilan, atau sarana lainnya. Berdasarkan masalah pemanfaatan media untuk mengatasi masalah lain, dimungkinkan untuk menggunakan berbagai metode, termasuk litigasi dan nonlitigasi, untuk mengatasi masalah yang muncul selama transaksi perdagangan elektronik.Â
Dari peraturan perundang-undangan di atas maka dapat di simpulkan bahwa metode pembayaran COD (Cash On Delivery) sekarang ini sangat sering di pakai masyarakat di Indonesia dalam melakukan transaksi elektronik, namun dalam praktiknya terdapat banyak persoalan disebabkan pelaku atau konsumen tidak memahami prosedur. Dalam upaya melindungi hak-hak para pihak, terkhusus konsumen yang rentan menjadi pihak yang terpojokkan jika terdapat masalah saat menggunakan metode pembayaran COD, maka pemerintah dalam regulasinya sudah memberikan payung hukum terkait dengan transaksi elektronik dengan memakai metode pembayaran COD, ketentuan 4 dan 5 tentang hak dan kewajiban konsumen itu sendiri merupakan dua ketentuan yang paling penting dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik lebih lanjut mengatur bahwa perusahaan yang memasok barangnya melalui sistem elektronik harus melakukannya dengan informasi yang akurat dan komprehensif.
Dalam hal konsumen mendapatkan barang atau jasa yang di pesan secara elektronik dengan memakai metode COD (Cash On Delivery) baik itu Produk tidak lengkap/barang hilang, Produk Rusak/Cacat/Salah maupun Produk palsu maka Konsumen berhak mengembalikan barang dan pelaku usaha berkewajiban memberikan ganti rugi.
Lalu sebagaimana diatur dalam Pasal 72 Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik juga menegaskan bahwa Berbagai pihak dapat menyelesaikan perselisihan melalui penggunaan sistem elektronik, pengadilan, atau sarana lainnya. Berdasarkan masalah pemanfaatan media untuk mengatasi masalah lain, dimungkinkan untuk menggunakan berbagai metode, termasuk litigasi dan nonlitigasi, untuk mengatasi masalah yang muncul selama transaksi perdagangan elektronik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H