Sesudah menggandakan berkas tersebut. Tibalah waktunya untuk membayar.
S. Â Â : Berapa pak?
KF. Â : Rp. 1.500 pak
S. Â Â : "Ini pak terima kasih", sambil menyondorkan uang.
Selama berjalan kaki menuju Kantor Pelni. Akalku tak berhenti memikirkan harga kopian berkas tadi. Betapa murahnya hanya seharga Rp. 1.500, ketimbang menggunakan jasa sebuah calo.Â
Sesama bangsa Indonesia masih saja 'menghisap'. 'Menghisap' tidak memilih kondisi, apakah sedang paceklik maupun dilanda wabah sekalipun. Dengan dalih mencari sesuap nasi dan seteguk untuk hari ini.
Apakah banyak yang kehilangan pekerjaan disebabkan pandemi? Bukankah pemerintah juga sudah memberikan bantuan berupa uang tunai bernama BLT bagi mereka yang kurang mampu dan profesi terdampak ketika pandemi? Atau kah besaran UMR dan UMK yang masih di bawah rata dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari?.
Terlampau banyak kemungkinan dalam melihat masalah ini.
Kehadiran calo bukan saja, terjadi pada saat kondisi wabah melanda seperti saat ini. Kehadiran mereka sudah ada jauh sebelum itu, beriringan dengan momen tertentu.
Kadang hadir di loket stadion sepak bola, di loket stasiun-stasiun kereta api. Hadirnya ibarat isu komunis, yang menggema di sebuah negeri antah berantah setiap penghujung bulan September.
KM Sinabung (Di atas laut)
Kamis, 15 Oktober 2020
Pukul 14.40 WITA
Irfan Rusli
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H