Mohon tunggu...
Ahmad Irfaanudin
Ahmad Irfaanudin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

membaca

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Orientasi Ushul Fiqh sebagai Jendela Memahami Hadits

13 Juni 2022   20:35 Diperbarui: 13 Juni 2022   20:46 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Wafatnya Rasulullah menggoreskan catatan baru dalam penetapan hukum. Munculnya sahabat besar pasca wafatnya nabi melahirkan banyak permasalahan yang belum terselesaikan pada masa nabi terkait dengan penetapan hukum. Rasulullah sebagai utusan yang membawa ajaran paripurna telah menyempurnakan semua ajaran ilahi yang diturunkan kepadanya, sementara problematika hukum tidak pernah berhenti sampai hari ini. Hal ini menuntut para sahabat untuk bisa menyelesaikan masalah hukum yang tidak terdapat dalam  Al-Qur'an dan Hadits.

Fiqih sebagai produk ijtihad telah muncul sejak zaman para sahabat. Dalam melakukan ijtihad, secara praktis mereka banyak menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh, meskipun secara formal ilmu ushul fiqh tersebut belum terkodifikasi menjadi suatu disiplin ilmu. 

Kemahiran mereka dalam berijtihad, selain karena pengaruh tuntunan dari Rasullullah, juga karena mereka menguasai bahasa Arab dengan baik. Mereka adalah orang-orang yang dekat dengan Rasul yang selalu menemani dan menyaksikan praktik ijtihad Nabi, sehingga mereka sangat paham bagaimana cara memahami ayat tersebut dan memahami maksud dari pembentukan hukum dari ayat tersebut.

Imam Khudari Bek memberikan tangapan positif terhadap praktik ijtihad para sahabat “setelah Rasul wafat mereka menghadapi perkembangan sosial yang memerlukan solusi hukum yang tidak terdapat dalam al-qur’an dan hadist dengan cara melakukan ijtihad, meskipun alat untuk berijtihad ketika itu belum dirumuskan secara tertulis”. 

Metode yang digunakan para sahabat dalam ijtihad sebagaimana dijelaskan oleh Abd Wahhab Abu Sulaiman, Guru Besar Ushul Fiqh Universitas Ummul Qura Mekkah sebagaimana dikutip oleh Satria Effendi, langkah awal yang mereka lakukan adalah mempelajari teks Al-Qur'an, sunnah nabi kemudian menginterpretasinya. 

Jika tidak ditemukan dalam kedua sumber hukum tersebut, maka mereka melakukan ijtihad baik secara sendiri-sendiri maupun dengan mengumpulkan para sahabat untuk bermusyawarah. Hasil kesepakatan mereka disebut Ijma' sahabat. Selain menggunakan qiyas, mereka juga menggunakan istislah yang didasarkan pada maslahah mursalah, seperti dalam hal mengumpulkan Al-Quran menjadi satu mushaf.[1]   

Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa para sahabat telah menggunakan ijma', qiyas, dan istislah jika suatu hukum tidak ditemukan dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Maka ijtihad yang dilakukan oleh para sahabat setelah wafatnya Nabi mampu menjawab problematika yang terjadi pada saat itu. Menurut Abu Zahra, ijtihad para sahabat kemudian mewariskan metodologi yang dijadikan dasar perumusan ilmu ushul fiqh.      

Sebelum memasuki perbincangan hadis dalam diskursus (regulasi) Islam kontemporer, penting untuk menggambarkan definisi, sifat, dan cakupan Sunnah dalam literatur Islam klasik. Menurut para ahli hadits (Muhadditsun), hadist yang shahih adalah kumpulan riwayat yang mencakup tindakan (fi'l), perkataan (qawl), dan praktik yang disepakati (taqrir) dalam semua hadits yang dipandang shahih oleh standar ulama’ Ulumul Hadits. 

Evaluasi terhadap sebuah hadis yang berhubungan dengan dua sumber normatif Islam, khususnya Al-Qur'an dan As-Sunnah, pada masa Islam selama periode Islam klasik (pasca Imam Syafii), sering dilakukan dengan tiga pendekatan. 

Pendekatan pertama dilakukan oleh para ahli Ulumul Hadits, atau yang sering disebut Muhadditsun dalam bidang analisis, sanad, pengumpulan, dan pengelompokan hadis itu sendiri. Dalam metodologi ini, pembahasan utama adalah mengikuti keabsahan (validitas) hadis berdasarkan riwayat silsilah sanad yang lebih credible. Dalam metodologi ini, sorotan utama adalah mengikuti legitimasi (kredibilitas) dalam sanad Hadis untuk mengetahui otentitas para perawi yang meriwayatkan hadist. Dalam arti yang lebih kecil, orang-orang yang menggunakan pendekatan ini juga sering melihat teks atau isi hadis yang sebenarnya. 

Dengan metodologi ini, keabsahan hadis menjadi debateble, sehingga muncul pengelompokan dari berbagai golongan berdasrkan tingkat perawi hadist, mulai dari hadits yang diterima sebagai hadis shohih, shahih li ghairih hingga yang da'if. Problem  utama dengan pendekatan ini tidak hanya terletak pada kerangka pemikiran bukti material dari ide Islam abad pertama, hingga saat ini masih menuai banyak diskusi di antara para sarjana Muslim dan non-Muslim yang secara positif berpengaruh terhadap realitas yang dapat di verifikasi dari sanad untuk menilai kredibilitas hadits, tetapi juga dari subjektifitas dan kriteria yang digunakan dalam penilaian hadits itu sendiri serta lemah nya standarisasi termenologis ulumul hadits klasik.[2]

Lahirnya ilmu ushul fiqh merupakan sebuah pemikiran kritis atas kelangkaan teks al-Qur'an dan hadits untuk menangani problem-problem yang tidak pernah terjadi di masa nabi. Ketika para sahabat bersama nabi, orang-orang yang memiliki persoalan tentang masalah hukum dengan cepat bertanya kepada nabi, namun hal ini tidak dapat terjadi ketika nabi meninggal. Ushul fiqh adalah bidang ilmu yang lahir untuk menggali hukum Islam yang belum muncul dari teks al qur’an dan hadist. 

Secara etimologis, ushul fiqh terdiri dari dua kata, ushul dan fiqh. Usul memiliki pemahaman tentang akar / pondasi, Sedangkan Fiqh sendiri secara bahasa adalah paham, sementara secara istilah adalah mengetahui terhadap hukum-hukum syariat yang di peroleh dari dengan jalan ijtihad. Dalam pengertian fiqh ini, dapat di pahami bahwa cakupan dari fiqh ini terdapat dua pembagian yaitu :

  • Pengetahuan tentang hukum syara' tentang perbuatan manusia secara praktis. Adapun ketika membahas mengenai masalah maka tidak masuk dalam kajian fiqh. Misalnya, kajian mengenai tentang akhir, ruh, akhirat, dll di karenakan tidak terkait dengan perbuatan manusia (mukallaf).
  • Pengetahuan tentang dalil-dalil yang terperinci dalam setiap persoalan. Dengan demikian, fiqh mengkaji dalil-dalil terperinci yang mendasari aktivitas mukallaf.

Dari kedua hal di atas, sangat dapat dimaklumi bahwa Ushul Fiqh adalah cara atau metode untuk menggali atau mengetahui hukum yang mendasari terhadap perbuatan mukallaf. Prof. Abu Zahra memaknai bahwa Usul Fiqh adalah ilmu yang mempelajari penelusuran kaidah-kaidah untuk menemukan istinbath hukum.

Sementara itu, Abdul Wahab Khallaf mendefinsikan Ushul Fiqh sebagai ilmu pengetahuan tentang kaidah-kaidah dan metode penggalian hukum syara’ mengenai perbuatan dari dalil dalil secara terperinci.

 Objek penelitian Fiqh tidak sama dengan objek penelitian Ushul Fiqh. Obyek kajian fiqh hanya membahas tentang hukum Islam serta dalilnya. Sementara itu, objek kajian Ushul Fiqh lebih luas untuk menganalisis dalil tersebut. Ushul fiqh dan fiqh sama-sama mengkaji dalil – dalil secara terperinci. Jika dalil fikih digunakan untuk memperkuat hukum, sedangkan jika ushul fikih berbicara tentang dalil itu ber implikasi terhadap apa, teknik penetapan hukum, klasifikasi argumentasi serta situasi dan kondisi yang melatar belakangi terhadap dalil-dalil tersebut.

Dalam buku Ushul Fiqh kutipan dari karya Dr. Mardani menyebutkan bahwa objek kajian ushul fiqh terdiri dari empat pengelompokan menurut Abu Hamid Al-Ghazali yang memisahkan objek kajian ushul fiqh ke dalam empat karakterisasi (1) pembahasan tentang hukum syara' dan yang terkait dengan nya seperti : hakim, mahkum alaih, dan mahkum fih (2) Pembicaraan tentang sumber dalil dalil hukum yang di sepakati dan di perselisihkan, (3) Pembicaraan tentang cara meng istinbath hukum dari dalil tersebut (4) Pembicaraan tentang ijtihad.[3]

Dari uraian di atas dapat di ketahui jika di ibaratkan dalam proses produksi, bahwa kaidah dan cara penerapannya di ibaratkan mesin produksi, semantara manusia atau mukallaf adalah orang yang menjalankan mesin tersebut, dan fiqh sebagai produk yang di hasilkan dari mesin tersebut.

Tidak dapat di bayangkan saat ini, hadirnya fiqh yang merupakan koordinasi antara kajian Ushul dengan dalil-dalil syar'i al-Qur'an dan Hadits tanpa adanya kodifikasi ilmu ushul fiqh sebagai alat untuk mengolah dalil tersebut. Maka adanya rumusan ushul fiqh merupakan jalan atau solusi untuk menangani berbagai macam persoalan yang tengah di hadapi pasca wafatnya nabi, sementara syariat yang di bawa oleh beliau sudah sempurna di sampaikan. Sebagaimana tertuang dalam  Al-Qur'an surah Al Maidah ayat 3:

 الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ  [المائدة: 3]                                                                                           

 Artinya: Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

 Dengan demikian, untuk memahami syariat secara utuh, diperlukan pemahaman ushul fiqh yang memadai, agar menjauhkan dari taqlid buta dan kecerobohan yang menyesatkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun