Lahirnya ilmu ushul fiqh merupakan sebuah pemikiran kritis atas kelangkaan teks al-Qur'an dan hadits untuk menangani problem-problem yang tidak pernah terjadi di masa nabi. Ketika para sahabat bersama nabi, orang-orang yang memiliki persoalan tentang masalah hukum dengan cepat bertanya kepada nabi, namun hal ini tidak dapat terjadi ketika nabi meninggal. Ushul fiqh adalah bidang ilmu yang lahir untuk menggali hukum Islam yang belum muncul dari teks al qur’an dan hadist.
Secara etimologis, ushul fiqh terdiri dari dua kata, ushul dan fiqh. Usul memiliki pemahaman tentang akar / pondasi, Sedangkan Fiqh sendiri secara bahasa adalah paham, sementara secara istilah adalah mengetahui terhadap hukum-hukum syariat yang di peroleh dari dengan jalan ijtihad. Dalam pengertian fiqh ini, dapat di pahami bahwa cakupan dari fiqh ini terdapat dua pembagian yaitu :
- Pengetahuan tentang hukum syara' tentang perbuatan manusia secara praktis. Adapun ketika membahas mengenai masalah maka tidak masuk dalam kajian fiqh. Misalnya, kajian mengenai tentang akhir, ruh, akhirat, dll di karenakan tidak terkait dengan perbuatan manusia (mukallaf).
- Pengetahuan tentang dalil-dalil yang terperinci dalam setiap persoalan. Dengan demikian, fiqh mengkaji dalil-dalil terperinci yang mendasari aktivitas mukallaf.
Dari kedua hal di atas, sangat dapat dimaklumi bahwa Ushul Fiqh adalah cara atau metode untuk menggali atau mengetahui hukum yang mendasari terhadap perbuatan mukallaf. Prof. Abu Zahra memaknai bahwa Usul Fiqh adalah ilmu yang mempelajari penelusuran kaidah-kaidah untuk menemukan istinbath hukum.
Sementara itu, Abdul Wahab Khallaf mendefinsikan Ushul Fiqh sebagai ilmu pengetahuan tentang kaidah-kaidah dan metode penggalian hukum syara’ mengenai perbuatan dari dalil dalil secara terperinci.
Objek penelitian Fiqh tidak sama dengan objek penelitian Ushul Fiqh. Obyek kajian fiqh hanya membahas tentang hukum Islam serta dalilnya. Sementara itu, objek kajian Ushul Fiqh lebih luas untuk menganalisis dalil tersebut. Ushul fiqh dan fiqh sama-sama mengkaji dalil – dalil secara terperinci. Jika dalil fikih digunakan untuk memperkuat hukum, sedangkan jika ushul fikih berbicara tentang dalil itu ber implikasi terhadap apa, teknik penetapan hukum, klasifikasi argumentasi serta situasi dan kondisi yang melatar belakangi terhadap dalil-dalil tersebut.
Dalam buku Ushul Fiqh kutipan dari karya Dr. Mardani menyebutkan bahwa objek kajian ushul fiqh terdiri dari empat pengelompokan menurut Abu Hamid Al-Ghazali yang memisahkan objek kajian ushul fiqh ke dalam empat karakterisasi (1) pembahasan tentang hukum syara' dan yang terkait dengan nya seperti : hakim, mahkum alaih, dan mahkum fih (2) Pembicaraan tentang sumber dalil dalil hukum yang di sepakati dan di perselisihkan, (3) Pembicaraan tentang cara meng istinbath hukum dari dalil tersebut (4) Pembicaraan tentang ijtihad.[3]
Dari uraian di atas dapat di ketahui jika di ibaratkan dalam proses produksi, bahwa kaidah dan cara penerapannya di ibaratkan mesin produksi, semantara manusia atau mukallaf adalah orang yang menjalankan mesin tersebut, dan fiqh sebagai produk yang di hasilkan dari mesin tersebut.
Tidak dapat di bayangkan saat ini, hadirnya fiqh yang merupakan koordinasi antara kajian Ushul dengan dalil-dalil syar'i al-Qur'an dan Hadits tanpa adanya kodifikasi ilmu ushul fiqh sebagai alat untuk mengolah dalil tersebut. Maka adanya rumusan ushul fiqh merupakan jalan atau solusi untuk menangani berbagai macam persoalan yang tengah di hadapi pasca wafatnya nabi, sementara syariat yang di bawa oleh beliau sudah sempurna di sampaikan. Sebagaimana tertuang dalam Al-Qur'an surah Al Maidah ayat 3:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ [المائدة: 3]
Artinya: Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dengan demikian, untuk memahami syariat secara utuh, diperlukan pemahaman ushul fiqh yang memadai, agar menjauhkan dari taqlid buta dan kecerobohan yang menyesatkan.