Mohon tunggu...
Irfan Fauzi
Irfan Fauzi Mohon Tunggu... Guru - Berbagi tanpa harus mencaci

seorang pembelajar dan murid bagi banyak guru

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Menjemput Restu di Rangkasbitung

18 Mei 2016   20:47 Diperbarui: 18 Mei 2016   20:54 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya adalah tipikal orang yang mudah termotivasi dengan kesuksesan seseorang. Mungkin lebih tepatnya terpancing untuk melakukan hal sama yang sudah dilakukan orang-orang berhasil, termasuk berhasil melangkah ke jenjang pernikahan. Seminggu sebelumnya, saya banyak ‘didoktrin’, ‘diintervensi’, atau ‘diceramahi’ tentang pernikahan oleh teman dan senior yang sudah atau akan segera menikah. Maka pada Hari Minggu, 24 Juli 2016, setelah saya disibukkan dengan menjaga posko banjir Bekasi, saya meluncur menuju Provinsi Banten. Tepatnya di daerah Rangkasbitung. Tanpa ada rencana matang, dan persiapan yang seadanya, saya beranikan diri untuk berangkat ke Rangkasbitung, tempat dimana restu akan naungan masa depan berlabuh.

Malam minggu, saya sudah sampai di kediaman seorang kawan karib, di daerah Klender Jakarta Timur. Jika ditempuh dari Klender perjalanan menuju Rangkasbitung akan lebih cepat dibandingkan dengan perjalanan dari Bekasi. Pagi-pagi sekali saya berangkat menggunakan Commuter line dengan jurusan Klender - Tanah Abang, transit sekali di Stasiun Manggarai. Jasa transportasi Commuter line ini saya rasa cukup efektif di tengah padatnya arus lalu lintas Ibukota yang superpadat dan boros waktu.

Klender – Tanah Abang akhirnya saya tempuh dalam waktu kurang lebih 35 menit sudah termasuk menunggu kedatangan Commuter line. Kurang lebih pukul 08.05 saya sudah tiba distasiun yang cukup padat ini. Tanah Abang memang menjadi incaran bagi para pengulak atau reseller segala jenis produk fashion karena harganya yang cukup miring dibandingkan dengan pasar lainnya.

Ada dua pilihan rute transportasi kereta dari Tanah Abang menuju Rangkasbitung. Pertama kita bisa gunakan kereta ekspress meski tidak se-ekspress proyek kereta cepat yang dicanangkan Jokowi. Nama keretanya Rangkasjaya, dengan waktu tempuh sekitar 1,5 jam dan tiket seharga nasi goreng, hanya 15 ribu rupiah saja. Kedua, kita bisa gunakan Commuterline terlebih dahulu hingga stasiun Palmerah, atau parung panjang. Selanjutnya perjalanan dilanjutkan menggunakan kereta api lokal, dengan waktu tempuh yang lebih lama, bisa 2,5 – 3,5 jam lebih, dengan harga tiket 2 ribu untuk Commuterline dan 5 ribu untuk Kereta api lokal. Sayangnya, pagi itu saya terlambat 5 menit setelah kereta ekspress Rangkasjaya meluncur. Tidak ada pilihan lain selain “ngeteng” menggunakan Commuterline dan dilanjutkan Kereta api lokal.

Walhasil saya baru sampai di stasiun Rangkasbitung kurang lebih pukul 13.00 WIB. Sebelumnya, saya sempat tertahan di Parungpanjang lebih dari setengah jam, juga harus lama menunggu kereta api lokal di Stasiun Maja yang merupakan stasiun terakhir Commuterline.

Sesampainya di stasiun Rangkasbitung, saya segera mengirim pesan kepada beliau. Tak dinyana, sesaat setelah keluar gerbang stasiun, sebuah mobil mungil terparkir sembari keluar dua orang tua yang menjadi tujuanku datang ke Rangkas. Dengan senyum gembira ku salami satu persatu calon mertuaku (Camer). Ada rasa grogi, cemas, dan canggung saat saya duduk dikursi depan disamping Bapak Camer sambil berkeliling kota Rangkas. Dengan semangat, Bapak menceritakan tentang kondisi Rangkasbitung yang tenang, dan masih termasuk daerah berkembang. Sesekali beliau bernostalgia saat pertama kali merantau ke Banten.

Siang itu saya tak langsung pergi ke rumah Camer. Saya dibawa ke sebuah rumah makan Padang, dan praktis saya ditraktir oleh Camer untuk pertama kalinya. Sungguh hangat penerimaan yang dilakukan oleh Camerku itu. Selama makan, kami membincangkan banyak hal mulai dari permasalahan sekolah, kurikulum, sarana sekolah, profesi masyarakat Rangkas, bahkan hingga urusan ormas keislaman. Sesekali membincangkan background keluarga. Saya terus saja menanyakan banyak hal, agar suasana canggung bisa segera mencair.

Saat awan hitam di langit Rangkasbitung sudah menggelayut di sudut-sudut langit, kami segera bergegas menuju rumah. Sepertinya, curahan hujan akan segera membasahi kota sepi ini. Benar saja, setelah kami tuntas makan siang, hujan segera mengguyur rumah-rumah dan beberapa ruas jalan di sekitar kota Rangkas. Untungnya kami sudah berada di dalam mobil dan menuju rumah Camer. Suasana sejuk khas pedesaan mulai terasa.

Selama di rumah Camer, yang cukup bersih dan tenang, saya tak henti hentinya bertanya kepada kedua Camer, lagi-lagi membincangkan masalah pendidikan, ataupun background keluarga. Rasanya tidak ada habisnya topik yang kami bahas, karena jujur saja saya tidak ingin terlihat canggung dan grogi didepan mereka. Sesekali suasana hening. Cemilan, kue kering, serta dua gelas Teh manis hangat disuguhkan oleh Ibu.

Dengan ramah Ibu menawarkan suguhan itu,

“Ayo Nak, silahkan di makan kuenya”,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun