"Apa kau menaruh hati pada gadis penjajah ini?" lanjutnya lagi.
Aku terpana dengan pertanyaannya. Di satu sisi aku malu mendengarkan pertanyaan itu. Di saat perjuangan bangsaku mengusir penjajah, aku malah tidak bersikukuh pada cita-cita membalaskan dendam keluargaku. Di sisi lain, aku tak bisa memungkiri bahwa aku memang telah jatuh cinta pada Belinda yang sedang kupangku.
Saat semua pemuda ingin menarik tubuh Belinda dari pangkuanku, beberapa pemuda lain terlihat sedang menyeret seorang wanita tua. Ya, mevrouw mereka seret dari rumah kami yang telah ludes terbakar.
Mevrouw menatapku sedih dan saat melihat Belinda tangisnya pun meledak. Tidak ada yang mengasihani wanita tua itu. Pemimpin gerombolan pemuda malah menyodorkan senapan ke hadapanku.
"Lakukan sekarang, Muchtar! Demi tanah airmu!"Â perintahnya.
Mata mevrouw menatapku lusuh. "Pieter...," suaranya lirih terdengar.
"Cepat atau kutembak keduanya!,"Â bentak pemuda itu.
Terpaksa kurampas senapan dari tangan lelaki yang kuingat bernama Syarif itu. Kubidik jantung mevrouw dan menatap matanya dalam-dalam. Ada perasaan dendam dengan hilangnya kedua orangtuaku. Ada benci menghasut kala mengingat paman dan bibi ditembak di depan mataku. Jariku mulai menarik pelatuk. Namun tiba-tiba perasaan cinta melunakkan hatiku. Tak mungkin kubunuh ibu dari gadis yang kucintai.
Dor...!Â
Suara satu tembakan terdengar. Aku tak merasa menarik pelatuk. Wajah mevrouw pun tak terlihat merasa kesakitan.
Mataku terpaku menatap langit. Dunia seakan tak ada isinya. Keringat dingin mengucur dari sekujur tubuh. Badanku lemas dan terbanting di atas tanah.