Kambing Berpantang untuk Kurban
(Oleh: Irfan HT)
Prayoga sangat suka dengan kambing dari sejak kecil. Saat kedua orang tuanya meninggal karena Covid 19, bocah muda pengidap autis itu dirundung kesedihan mendalam. Tangis dan teriakannya menyentuh hati semua orang yang mendengar. Seorang pria tua perlente datang menghadiahinya seekor anak kambing. Kesedihannya terobati dengan hadirnya hewan imut pemberian pria yang sering dipanggil juragan kambing itu.
Prayoga tinggal bersama pamannya, Daryana, yang membuka warung kecil di dekat rumah. Pamannya sudah lama belum dikaruniai anak. Prayoga yang saat itu masih berumur 5 tahun sangat menghiburnya. Saat menjadi yatim piatu, sang paman langsung membawa dan merawatnya seperti anak sendiri.
Kegembiraan pamannya ternyata tidak selaras dengan hati sang istri. Kondisi fisik yang cacat dan sulit berbicara membuat Prayoga dianggap beban dalam keluarga. Daryana sering berjanji bahwa Prayoga akan diasuh di panti asuhan. Tapi janji itu hanyalah ilusi untuk menenangkan istri. Dia sudah bersumpah pada almarhum abangnya, ayah Prayoga, untuk menjaga anak itu.
Sudah 8 tahun tak terasa Prayoga dirawat di rumah mereka. Istrinya pun sudah malas bertanya mengenai janji ke panti apalagi Prayoga sudah bisa mandiri. Makan, mandi, pergi sekolah dan mengurus kambing juga sudah bisa dilakukan sendiri. Hanya saja sejak sering dibuli oleh teman-teman kelasnya, Prayoga berhenti dari sekolah. Dia sering sakit-sakitan karena tertekan dengan ejekan teman-teman. Kadang kekerasan fisik juga dia terima dari anak-anak yang mengaku manusia tapi berjiwa iblis. Daryana dan istrinya mengalah. Menyekolahkan Prayoga di sekolah luar biasa pun mereka tidak sanggup. Prayoga akhirnya menemukan sisi hidup yang membuatnya lebih bahagia. Dia setiap hari sibuk mengurus kambing satu-satunya.
Sesampai di lapangan, Prayoga mengikatkan kambing kesayangannya di antara ratusan kambing-kambing milik si juragan. Ya, si juragan yang pernah memberinya kambing. Dia diijinkan datang setiap hari untuk bermain dengan kambing-kambing lain. Kambing Prayoga ditambatkan disana bukan untuk dijual. Prayoga tidak pernah mau menjual kambingnya. Kambing besar itu hanya untuk dipamerkan disana. Banyak yang memuji keindahan hewan bertanduk itu. Tanduknya yang besar melingkar, leher tegap dan bulu lebat, menambah gagah kambing berwarna hitam itu.
Sudah banyak yang menawar kambing milik Prayoga. Ada yang ingin menjadikannya sebagai kambing indukan, kurban, kontes, bahkan aduan. Karena susahnya merayu Prayoga untuk melepas kambing kesayangannya, ada orang kaya yang menawarnya seharga motor keluaran terbaru. Tapi sekali lagi, Prayoga kukuh pada pendirian.
Istri Daryana mendengar peluang lakunya kambing Prayoga seharga motor. Tanpa sepengetahuan suami dan anak angkatnya itu, dia menyuruh seorang tukang ojek menjual kambing Prayoga kepada orang yang mau membeli dengan harga tinggi. Saat itu Prayoga dan pamannya sedang menghadiri sebuah acara resepsi pernikahan di kampung sebelah.
Si tukang ojek sudah tahu dimana tempat menjual kambing yang cepat. Ya, si juragan kambing yang terkenal di kampung itu adalah orangnya. Tidak ada yang tahu kalau kambing-kambing hasil curian pun banyak yang dibayar oleh si juragan. Dia menjadikan si ojek menjadi tangan kanannya untuk mencarikan kambing curian yang ingin dijual.
Beberapa pecinta kambing hias dan kambing adu, banyak yang memesan sesuai kriteria yang diinginkan. Mereka berani membayar mahal pada si juragan. Biasanya, tak lama kambing-kambing itu berada di penampungan karena langsung diangkut si pembeli.
Sejumlah uang diterima si ojek dari si juragan. Harga kambing setara motor mengagetkannya. Dia harus segera menyerahkan uang hasil jualan sebelum Daryana dan Prayoga pulang dari acara. Dia pun mendapat bayaran Rp. 500.000,- untuk jasa penjualan kambing itu.
Saat pulang ke rumah, Prayoga berteriak histeris dan marah-marah karena kambing kesayangannya sudah tak ada di tempat. Pamannya panik dan ikut mencari. Bibinya berpura-pura kaget tidak tahu tentang kehilangan kambing itu. Dia juga berakting seolah sudah mencari ke sekeliling kampung.
Sampai menjelang matahari tenggelam, drama hilangnya kambing Prayoga sangat bagus dimainkan oleh bibinya. Setingan kerjasama dengan tukang ojek berjalan dengan lancar.
Prayoga jatuh sakit. Sudah 3 hari dia tidak bernafsu makan. Dia berkurung di dalam kamar dan terus memanggil kambingnya. Walau sudah dibujuk untuk membeli kambing yang baru, Prayoga tetap tidak mau. Pamannya pun pusing memikirkan jalan apa lagi untuk bisa menenangkan anak yatim piatu yang sangat dia sayangi itu.
Seminggu tidak pernah mau makan dan minum membuat kondisi Prayoga semakin parah. Dia pun dirawat di rumah sakit dan mendapatkan jarum infus. Badannya kurus dengan wajah pucat. Air matanya terus menetes di pipi. Kali ini dia tidak memanggil kambingnya lagi seperti biasa.
“Ayah__,Ibu__,” ucap bibirnya yang semakin membiru.
Daryana hanya bisa mengelus rambut bocah laki yang malang itu. Dia merasa kasihan karena Prayoga kecil kehilangan orangtua, tak dianggap oleh bibinya, selalu dibuli di kelas, dan harus kehilangan kambing yang membahagiakannya setiap hari.
“Yoga__, Yoga…, bangun Nak,” teriak pamannya saat Prayoga sudah menutup mata.
Digoyang-goyangkannya badan Prayoga namun anak itu sudah tak bernyawa. Napas terakhirnya memanggil orang tua membuat Daryana merasa terpukul. Janji untuk menjaga Prayoga tidak bisa dia tunaikan pada abangnya. Seakan ada yang merobek jantung dan kantong matanya, air mata pun berurai deras. Dia tak menghiraukan lagi sedang berada di depan keluarga pasien lain dalam ruangan yang sama.
Setelah dimakamkan, seperti biasa, istri Daryana berakting sedih atas meninggalnya Prayoga. Dalam hatinya dia bersyukur anak itu sudah pergi. Momen yang lama dia nantikan akhirnya tiba juga.
Uang hasil penjualan kambing Prayoga habis dibelanjakan untuk membeli HP baru dan perhiasan emas. Hal ini membuat Daryana curiga. Pendapatan mereka berjualan di warung pinggir jalan tidak seimbang dengan kemampuan membeli barang-barang berharga dalam waktu singkat.
Kecurigaan Daryana terbukti. Terungkaplah perilaku jahat istrinya pada Prayoga.
"Itu karena kamu belum bisa membahagiakanku. Aku bosan hidup dengan tidak punya apa-apa," teriak istrinya membela diri.
Daryana merasa terpukul. Dulu istrinya tidak pernah mengungkapkan kata-kata yang menyinggung perasaannya. Dari dulu juga istrinya menerima apa adanya. Tetapi, sekarang wanita itu sudah dibutakan mata dan hatinya.
"Praaak,"suara tamparan Daryana ke pipi istrinya.
Wanita itu tiba-tiba tersadar akan apa yang telah diperbuatnya. Kejahatan yang dia sudah lakukan terbayang saat tamparan keras suaminya itu melayang ke pipi. Air mata pun jatuh bukan karena sakitnya tamparan tapi karena penyesalan. Dia mengakui semua perbuatannya. Dia berlari ke dalam kamar dan mengambil perhiasan yang sudah dikumpulkan dan memberikannya pada Daryana . Namun, suaminya menolak menerima. Sambil berlutut dia memohon ampun. Daryana terpaku tak tahu mau berkata apa lagi. Perasaan benci, kecewa dan sedih karena ingkar janji bercampur dalam satu waktu yang bersamaan.
***
Hari raya kurban tinggal satu hari lagi. Daryana hanya duduk sendiri di rumahnya. Suasana sangat sepi sejak meninggalnya Prayoga 2 bulan yang lalu. Ada sebungkus nasi uduk yang menganga bekas dia makan. Di sampingnya, segelas kopi hasil seduh sendiri sudah tak beruap lagi.
Daryana sering berdiam diri. Hari-harinya disibukkan dengan beternak kambing. Kambing bukan miliknya tapi punya si juragan. Ya, sekarang Daryana menjadi karyawan di peternakan pria perlente itu. Setiap hari dia bertugas membersihkan kandang untuk bisa mendapatkan upah harian. Kambing-kambing sebagian digiringnya ke lapangan untuk dipamerkan pada pembeli. Daryana tidak lagi berjualan di warung setelah dia bercerai dengan istrinya.
Dipakainya sepatu bot sambil meletakkan selembar surat yang pernah dituliskan Prayoga sebelum meninggal. Surat itu ditemukan di dalam laci sehari sebelum Prayoga sakit keras. Tulisannya susah dibaca karena keterbatasan fisik namun dapat dimengerti jika membacanya dengan hati.
“Paman, tahun ini Prayoga pengen kurban. Kambing di kandang sudah besar. Pahalanya untuk Ayah dan Ibu di langit,” tulisnya.
Daryana selalu menangis setiap membaca surat itu setiap hari. Pantas saja Prayoga tidak pernah mau menjual kambingnya. Dia sudah meniatkannya untuk kedua orang tua. Apa daya, kambingnya tertolak untuk kurban. Daryana bingung kenapa Tuhan tidak memudahkan jalan anak yatim piatu itu untuk berkurban. Kenapa harus hilang dan Prayoga tidak mau kambingnya digantikan dengan yang lain, masih tanda tanya baginya.
Daryana bersemangat mengurus kambing-kambing sang juragan. Sayangnya, dia tidak pernah tahu darimana asal usul kambing yang dia urus setiap hari. Semakin hari semakin banyak saja. Hanya mantan istrinya, si tukang ojek dan Tuhanlah yang tahu siapa juragan itu sebenarnya.
Pengunjung yang datang ke lapangan semakin banyak. Mereka terlihat sedang sibuk menawar hewan untuk kurban. Tak ada yang tahu kalau kambing Prayoga sebenarnya ada di antara seribuan kambing-kambing milik sang juragan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H