Mohon tunggu...
Irfan Hamonangan Tarihoran
Irfan Hamonangan Tarihoran Mohon Tunggu... Penulis - Dosen

Menulis karya fiksi dan mengkaji fenomena bahasa memunculkan kenikmatan tersendiri apalagi jika tulisan itu mampu berkontribusi pada peningkatan literasi masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Menyorot Multitafsir Ceramah Ustadz Adi Hidayat dari Sudut Pandang Linguistik

7 Mei 2024   21:23 Diperbarui: 8 Mei 2024   20:42 564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika ada seorang anak yang memukul-mukul bagian tengah dinding rumah dari bata dengan benda tumpul, apakah kosakata yang tepat untuk merepresentasikan makna bekas pukulan di dinding itu? 

Beragam kosakata yang mirip dapat menjadi pilihan. Ada yang mengatakan 'lubang' padahal bekasnya tidak dalam. Ada yang mengatakan 'rompes' tapi pada tepiannya. Memakai kata 'serpih' pun bisa tapi sayangnya dalam bentuk kepingan.

Bisa dibayangkan ratusan atau ribuan tahun yang lalu, kata lubang, rompes dan serpih sudah dipakai untuk merujuk pada objek bekas pukulan di dinding bagian tengah tadi. Karena belum adanya kosakata yang sesuai dengan objek tujuan , kata-kata alternatif itupun dipakai pada saat ini walau dengan cara approximation demi tujuan penyampaian pesan. 

Adanya properti semantik yaitu [+ cacat] dan [+ berbekas]  menjadikan kosakata alternatif tersebut dapat digunakan untuk merujuk pada objek target. Hanya properti semantik [- dalam]lah yang membuat ketiga kosakata itu tidak sama dalam hal sense of meaning.

Dengan kata lain, manis gula itu bergradasi. Ada tingkatan membedakan manis yang satu dengan yang lain. Dalam kaitan makna inilah yang dikatakan dengan sense. Perbedaan properti semantik akan menyebabkan rasa dalam makna itu juga berbeda walaupun mirip.

Baru-baru ini sebagian ulama menganggap bermasalah pernyataan Ustadz Adi Hidayat (UAH) yang menyebutkan kata penyair sama dengan pemusik. UAH mendefinisikan musik merupakan suara yang memiliki irama. 

Konsep yang ingin disampaikan dalam ucapannya adalah bukan pada penghalalan musik. Beliau menjabarkan kontekstual yang terjadi pada zaman dimana musik itu dikreasikan.

Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa kata musik bisa jadi merupakan alternatif kosakata karena tidak ada padanan yang sesuai dengan kosakata bahasa Indonesia sehingga sense of meaningnya bisa berbeda.

Diakuinya juga dalam video klarifikasi bahwa tidak ada kata musik dalam bahasa arab. Terjemahan pada musik mengambil padanan kata bahasa Indonesia. Hal ini mungkin menjadi pemicu multitafsir. 

Jika diterjemahkan objek yang serupa dengan musik di zaman nabi dan sahabat ketika hidup, tidaklah sama dalam  bahasa Indonesia. Definisi musik menurut kosakata Indonesia mungkin berbeda dengan musik yang dikondisikan pada zaman itu. Masyarakat pun bisa keliru menanggapinya.

Tulisan ini bukan untuk melakukan pembelaan terhadap UAH. Ini hanya untuk menyampaikan bahwa tidak ada penerjemahan yang sempurna (Nida, 1964). Jika tidak ada yang sempurna, kemungkinan perbedaan dalam penafsiran itu sah-sah saja. 

Oleh karena itu, tidak perlu saling menghujat dan merendahkan seseorang atau kelompok tertentu hanya untuk menunjukkan bahwa apa yang disampaikan itu sempurna.

Sesuatu objek yang berada dalam pikiran seseorang merupakan referring expression. Bisa jadi apa objek yang sedang dibicarakan oleh orang itu berbeda dengan apa yang didengar, maka referring expressionnya juga berbeda. 

Lain hal dengan referent yaitu objek yang memiliki kosakata dan objek itu ada di dunia. Dalam komunikasi, terjadinya salah paham salah satunya adalah karena posisi referent dan referring expression bertukar. 

Apa objek yang dipikirkan pembicara belum tentu sama dengan pendengar. Untuk memiliki referring expression yang sama tentu harus menyesuaikan siapa target yang diajak bicara. Di samping itu, penegasan definisi juga perlu diperjelas dan dipahami bersama  agar tidak bias. 

Kendalanya adalah jika pendengar tidak ikut hadir dalam kegiatan yang berlangsung. Kemungkinan  referent yang ditangkap adalah musik yang tidak menjadi referring expressionnya pembicara. Apalagi jika video ceramah diedit dan dipotong maka konteks tidak akan sinkron dengan makna literal yang disampaikan.

Makna literal tak bisa dijauhkan dari konteks. Konteks dapat mengubah sense dari makna yang dituju. Sebagai contoh kata 'bereskan' di dunia pendidikan bisa bermakna merapikan apa yang masih berantakan. Tapi dalam konteks dunia militer, makna kata tersebut bisa bertendensi pada penangkapan atau pembasmian.

Dalam video penuh disampaikan bahwa UAH menjabarkan gambaran syair yang diharamkan pada zaman nabi dulu dan menerangkan pendapat sebagian ahli tafsir yang menghalalkan. Walaupun sebagian besar menetapkan bahwa musik itu haram, kata syair berada dalam sense makna tertentu, dimana bercampurnya kegiatan-kegiatan maksiat seperti minuman keras dan perzinahan pada zaman itu.

UAH juga tidak mengatakan bahwa musik itu halal. Jika ada yang menganggap bahwa kesalahan UAH adalah tidak menegaskan pendapat mayoritas ulama condong pada haramnya musik, itu karena konteksnya berbeda dalam video yang dipermasalahkan. 

Pernyataan tersebut berada dalam suatu pengkajian bukan pengajian jadi memang dihadiri oleh para ulama dan cendekiawan bukan orang awam. Masalah muncul bukan pada saat pengkajian melainkan setelah disebar ke media sosial sehingga mendapatkan tanggapan berbeda.

Jika ada konteks maka ada juga namanya makna kontekstual dimana makna ini muncul di luar makna literal. Anggap saja ada seorang anak yang ingin meminum saos dari botol kemudian orang di dekatnya berteriak,"pedas!" Makna pedas itu bukan sekadar deklarasi bahwa botol tersebut berisi cabai. Makna kontekstual yang dimunculkan adalah bentuk pelarangan. 

Studi dalam  Linguistik mempelajari makna kontekstual ini ada dalam Pragmatik yang merupakan salah satu cabang Linguistik. 

Dalam situasi berbicara ada kalanya seseorang menggunakan makna kontekstual untuk menyampaikan pesannya kepada orang lain. Tentunya si pembicara harus menyesuaikan tingkat profisiensi linguistik pendengarnya agar pesan yang disampaikan tidak salah dipahami. Kalau perlu, kata dalam bahasa sumber tetap dipakai jika tidak ada padanan kata yang pas dalam bahasa target. Karena jika dipaksakan, sense akan berubah dan pengaruh beda konteks akan berimbas pula pada intensitas sense makna yg dituju.

Dari kasus ini dapat disimpulkan bahwa kemampuan linguistik itu penting sekali dalam kehidupan sehari-hari. Bisa berbahasa namun belum tentu paham bahasa sehingga diperlukan pengenalan bahasa itu sendiri. 

Karena sifat linguistik itu universal, kemampuan linguistik dapat membantu pemahaman terhadap apa yang disampaikan oleh seseorang dalam suatu kajian atau ceramah walau membahas bahasa Arab sekali pun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun