Si bungsu yang sejak masuk rumah sudah menangis pun ikut kesal karena papanya masih kelihatan baik-baik saja. Sorot matanya juga sinis padaku.
Salah satu wartawan datang menghampiri suamiku dan mewawancarai beliau.
"Jadi, apakah Bapak tahu kalo Fredi sudah lama menjadi buronan polisi?"
"Ya," jawab beliau dengan tegas.
Semua mata tertuju pada Pak Rusik dan  merasa tak percaya dengan apa yang barusan dikatakannya. Tidak terkecuali aku sendiri.
"Dengar semuanya. Fredi memang penjahat. Dia seorang hacker. Rekening-rekening pengusaha dan pejabat yang korup berhasil dibobolnya. Uangnya dia transfer sebagian untuk donasi bantuan Palestina."
"Kurang ajar kamu membuat malu keluarga," bentak si sulung sambil menodongkan tongkat komandonya ke hadapan adiknya itu.
"Diam," sahut suamiku.
"Ya, memang dia kurang ajar sudah membuat malu kita semua, Pa," kilah dua saudaranya yang lain.
"Diam kalian semuanya. Kalian tidak tahu kalau Papa berhutang ke bank sampai saat ini  dengan dana terpotong besar karena apa? Karena sekolah tinggi dan cita-cita kalian! Bahkan sampai pensiun!" bentak papanya.
"Kalian hanya sibuk memikirkan diri dan keluarga kalian masing-masing. Apa kalian tahu siapa yang bayar tagihan listrik, air, kontrakan dan pengobatanku setiap bulan? Apa pernah kalian mengirim sepeserpun setelah kalian sukses? Fredi yang kalian hina pengangguran itulah yang berada di balik layar!"