Aku tak bisa menggerakkan tangan dan kaki. Kurasakan ada tali yang mengikat. Kepalaku pusing dengan cucuran darah menetes dari dahi. Aku tak ingat sudah berapa lama aku pingsan.
Tiba-tiba kuteringat lagi akan Mak Mijah. "Apakah dia baik-baik saja?" tanyaku dengan hati cemas. "Kemana wanita paroh baya itu?" semakin gusar aku memikirkannya.Â
Seorang pria datang menghampiri dan menepuk bahuku, "Seberapa kenal anda dengan wanita yang bernama Sumirjah?" tanyanya. Namun aku terdiam tak mengerti maksud pertanyaan itu dan seperti biasanya aku tak ingin berbicara dengan siapapun.
"Anda ikut jaringan teroris mana?" hardik salah satu dari mereka.
Aku semakin bingung dengan pertanyaannya. "Teroris apa yang dia bicarakan," gumamku.
"Bawa jenazah atas nama Sumirjah beserta barang bukti ke rumah sakit polisi," perintah salah satu pria kepada khalayak ramai di sekitarku. "Jangan lupa tersangka ini juga ikut," tambahnya.
Kebingunganku semakin terjawab. Mak Mijah adalah panggilan singkat dari Sumirjah. "Benarkah beliau sudah mati? Tapi apakah Mak Mijah terlibat dengan kasus terorisme?" tanyaku dalam hati dengan perasaan tidak percaya.
"Bagaimana bisa wanita paroh baya yang lebih banyak berdiam di rumah itu menjadi pelaku? Ah, berarti Mak Mijah dan aku menjadi korban tembakan dan ledakan tadi,"Kembali aku bingung.
"Ayo naik cepat," hardik salah seorang petugas sambil mendorong badanku yang lemas dengan pucuk senjata laras panjangnya.
Ingin kuberontak karena tak merasa bersalah dan terlibat dengan apapun yang mereka tuduhkan. Saksinya adalah Mak Mijah, namun beliau sudah tewas. Seketika aku teringat wajahnya dan menitikkan air mata. Aku tak punya siapa-siapa lagi.