Mohon tunggu...
Irfan Hamonangan Tarihoran
Irfan Hamonangan Tarihoran Mohon Tunggu... Penulis - Dosen

Menulis karya fiksi dan mengkaji fenomena bahasa memunculkan kenikmatan tersendiri apalagi jika tulisan itu mampu berkontribusi pada peningkatan literasi masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Catatan Si Gila di Negeri (Katanya) Waras - Bagian 3 (Terakhir)

16 April 2024   02:00 Diperbarui: 16 April 2024   02:17 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mereka terpanggil jiwa dan raganya untuk membantu anak-anak muda untuk berkarya. Mereka membantu pengamen jalanan dan anak-anak di kolong jembatan untuk menjauh dari penggunaan obat-obat terlarang. Hanya saja mereka  belum memiliki gedung besar dan kokoh yang layak dikatakan sebagai sekolah. Apalagi nama." Semua terdiam.

"Bukankah para koruptor itu lulusan sarjana? Atau malah pasca sarjana. Tentunya mereka wajib pintar untuk bisa menyelewengkan dana yang bukan hak mereka. Apa yang tidak ada? Adab. Padahal mereka bersekolah. Apakah orang-orang itu gila? 

Bagiku ya, karena hanya manusia waras yang memiliki adab," kulanjutkan lagi. Semua pernyataan itu kukutip dari pak Leo saat beliau pernah menyampaikan kuliahnya.

"Braak," suara bantingan pintu sel membuyarkan lamunanku. Tak terasa interview sudah selesai dan aku kembali dimasukkan dalam sel.

Sudah berbulan-bulan aku mendekam di sel itu. Seperti biasa aku hanya tiduran sambil menunggu makan yang disediakan oleh petugas jaga. Kata mereka besok pagi aku akan dipindahkan ke rumah sakit jiwa.

Terdengar azan subuh berkumandang, suara pintu kerangkeng besi berderit. Dua orang petugas menyambar tanganku tanpa bersuara. Segera mereka memasukkanku ke dalam mobil kemudian melaju dengan cepat.

Setibanya di suatu tempat, kedua petugas itu menyerahkanku ke petugas berseragam lain. "Ini sepertinya rumah sakit jiwa yang mereka maksud," ungkapku penasaran.

Suara-suara tertawa cekikikan, teriakan, serta tangisan, bercampur aduk di beberapa lokasi. Sepertinya mereka menyambut kedatanganku. Ada yang bersorak gembira, terharu tapi tiba-tiba menangis. Aku sepertinya calon presiden yang mereka tunggu-tunggu selama ini. Orang-orang ini adalah pendukung setiaku.

Kulihat ada pria kurus yang menyeringai ke arahku di pojok bangsal. "Bukankah itu Surip? Temanku yang dulu ditangkap dan dibawa ke dinas sosial?" ucapku kaget bercampur senang.

Tidak kurasakan kepura-puraan di tempat ini. Semua tangisan murni dari hati. Suara teriakan juga lepas menunjukkan mereka adalah manusia bebas. Ungkapan senang mereka juga bukan topeng seperti yang dipakai orang-orang munafik.

Di dalam ruang perawatan, aku rebahan dan tak sadar bahwa aku ternyata punya teman sekamar. "Man,..bagaimana kabarmu?" suara muncul dari samping kananku dan suara ini terdengar familiar. Suara serak itu jelas sangat kukenal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun