Hari ini ulang tahunku. Tiga puluh tahun sudah aku mengabdi sebagai hamba Tuhan di dunia ini. Aku tak punya siapa-siapa. Keluargaku sudah tiada. Aku hanya punya raga dan napas. Itu pun sudah kusyukuri. Teman-teman yang biasa duduk menemani setiap malam sudah tak pernah kutemui lagi.Â
Ada yang bilang mereka sakit, lalu mati di pinggir jalan. Ada yang dititipkan di dinas sosial untuk dibina. Entah sampai kapan pembinaan itu selesai. Batang hidung mereka pun sudah tak pernah kulihat lagi. Bagiku, mereka sudah mati. Setidaknya, tak bebas seperti jiwaku.
Kuseruput sedikit kopi yang kuterima dari kedai samping kandangku. Kopi pahit buatan Mak Mijah yang hampir setiap hari gratis kudapat.
"Man, mau gorengan, ya?" tanya Mak Mijah dari bilik bambu tempat tidurku.
Aku tak menyahut. Teriakan beliau lebih keras dari sebelumnya, "Man, Mak taro di depan pintu ya?"
Kuraba-raba sekeliling tempatku bersandar. Aku menghadap tiap-tiap lobang dimana cahaya lampu jalan raya menembus kandangku. Aku sebut kandang karena memang layak disebut demikian.Â
Alas tidurku dari tanah liat. Kalau hujan, aku duduk ditemani oleh cacing tanah yang bergeliat. Kecoa-kecoa mungil juga hilir mudik menambah ramainya suasana hati.
Mak Mijah, perempuan tua yang tinggal di samping kandangku adalah salah satu orang yang tak pernah menganggapku gila. Wanita paroh baya itu ditinggalkan suaminya 30 tahun yang lalu karena bekerja menjadi tenaga kerja ilegal di Malaysia. Beliau selalu mengajakku bicara. Walaupun aku diam, wanita yang sepantasnya kupanggil nenek itu selalu bercerita tentang suaminya yang entah masih hidup atau sudah mati.Â
Beliau tak peduli dengan diamku. Mungkin akan lebih nyaman bercerita sepanjang malam tentang masa lalunya jika aku hanya menunduk dan mengangguk. Hanya orang-orang usil yang lewat mengganggu. Mereka sering berteriak  dan melempari kandangku dengan botol kosong air mineral.
"Man, Mak sudah ngantuk, mau balik dulu. Jangan lupa gorengannya dihabiskan," ucap Mak Mijah setelah panjang lebar bercerita. Pintu kandangku tak ditutupnya karena seperti biasa angin kencang membanting kembali pintu yang terbuat dari kayu palet bekas yang lapuk dimakan rayap.