Mohon tunggu...
Irfan Fauzi
Irfan Fauzi Mohon Tunggu... wiraswasta -

Warga Bekasi yang cinta nusantara

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Tapal Batas Pertemanan

23 Desember 2017   05:27 Diperbarui: 23 Desember 2017   09:25 901
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada banyak pendapat dari sosiolog & psikolog mengenai apa itu pertemanan.

Pertemanan adalah hubungan dimana dua orang atau lebih menghabiskan waktu bersama, berinteraksi di berbagai situasi, dan juga menyediakan dukungan emosional. (Baron & Bryne, 2006).

Sedangkan Rawlins (dalam Tillman-Healy, 2003) mengatakan teman sebagai seorang sahabat dekat, yaitu seseorang untuk berbicara, untuk bergantung, dan menyandarkan diri untuk mendapatkan pertolongan, dukungan, dan juga suatu kepedulian, hingga bersenang-senang dalam melakukan sesuatu.

Shaffer (2005), menyatakan bahwa pertemanan diartikan sebagai sebuah hubungan yang kuat dan bertahan lama antara dua individu yang dikarakteristikkan dengan kesetiaan, kekariban, dan saling menyayangi.

Sementara Santrock (2002), Pertemanan adalah suatu bentuk hubungan yang dekat yang akan melibatkan suatu kesenangan, percaya, penerimaan, respek, saling membantu, menceritakan sebuah rahasia, pengertian, dan juga spontanitas.

Jadi secara sederhana, pertemanan adalah bentuk komitmen antar manusia, yang ketika berinteraksi akan saling support dan peduli.

Pergaulan Jaman Now

Perkembangan teknologi pasti sudah pada paham, cukup pesat. Terutama yang paling berpengaruh adalah teknologi komunikasi & informasi. Budaya, adab dan etika banyak mengalami pengubahan bentuk dan pola dengan adanya intervensi dari perkembangan teknologi tersebut.

Contoh mendasar adalah semakin tipisnya batas ruang privasi. Hal ini terjadi karena pola pengembangan eksistensi diri yang mendapatkan ruang ekspresi. Berlomba-lomba setiap individu menunjukan eksistensi dirinya. Semakin dalam menembus sekat-sekat privasi yang dulu tabu dipertunjukan. Mulai dari komentar, penyikapan terhadap sesuatu, bergossip, eksplorasi sudut-sudut rumah, foto tubuh, pameran kepemilikan, hingga membuka kotak pandora persoalan-persoalan pribadi.

Semua terfasilitasi oleh dengan banyak beredarnya aplikasi-aplikasi yang mendukung aktivitas tersebut. Whatssapp, Facebook, Twitter, Instagram, Path, dll. Apalagi aplikasi tersebut sudah mengalami perkembangan terbaru dengan memunculkan story board, live video, live maps, calling broadcast, dll.

Kini mudah kita kembali mengaitkan teman-teman lama yang sempat putus komunikasi. Cukup kita "lacak" lewat aplikasi sosmed pertemanan yang populer saat ini. Bila sudah bertemu "tampung" mereka dalam grup chat. Kini banyak pilihan untuk aplikasi messenger chat. Tralaa, kita siap berselancar dengan teman lama atau baru.

Loyalitas & Jatidiri Palsu

Seperti yang sudah dijelaskan diatas, dengan bantuan perkembagan teknologi yang ada, intensitas interaksi pertemanan semakin meningkat. Apalah arti hidup tanpa adanya whatsapp, Instagram atau Facebook. Hidup terasa hambar. Tiap waktu kita tidak akan lepas atau lupa memantau aplikasi-aplikasi tersebut. Tidak ingin rasanya ketinggalan update. Menit ke menit kecepatannya.

Kita kini semakin sibuk dan harus bermain dalam kecepatan garis edar waktu. Kombinasi antara kewajiban dan selalu "hadir" dalam komunitas pertemanan yang terfasilitasi dalam aplikasi sosial media itu, harus berimbang. BAHKAN kewajiban bisa diabaikan bila itu menyangkut EKSISTENSI diri. Itulah yang namanya LOYALITAS pertemanan di era MILENIAL.

Jika dulu berteman adalah kebutuhan SEKUNDER untuk menghilangkan kepenatan dan atau menyeimbangkan diri dari rutinitas. Saat ini berteman adalah kebutuhan PRIMER dalam rangka menjaga kualitas eksistensi diri.

Semua hal yang bagus-bagus di gali untuk ditampilkan. Penampilan harus terbaik, perilaku harus terlihat baik, kepemilikan harus terlihat prestis, aktivitas diri harus terlihat "OKE" dan berkelas, semua berlomba-lomba untuk menampilkan yang terbaik.

Andai bukan hal yang bagus, bisa juga ditampilkan terkait perasaan diri atau penyikapan diri. Curahan hati, keluhan, amarah, protes, kesal, terkait pekerjaan, pasangan, bisnis, tetangga atau apapun bebas bersliweran di ruang publik. Senang rasanya dapat empati dalam bentuk LIKE atau komen mendukung. Tidak lupa wejangan teman yang mungkin silih berganti singgah. Seolah-olah para pemirsa ini lebih PAHAM dibanding orang yang menjalaninya.

Pada titik inilah harusnya kita menyadari. Jatidiri kita sebagai individu sudah MENCAIR. Hilang terganti oleh KEPRIBADIAN PALSU.

Bisa jadi secara tidak sadar, gaya kita berbahasa dan bicara diubah demi grup pertemanan saat on air atau off air. Biar terlihat gaul, asik, lucu, sweet, dan humble. Kalimat : aduh ketawa sampai pegal, saking lucunya sampai ga konsen masak, ingin rasanya marah, blablablas lainnya. Padahal secara sinikal aslinya tidak seperti itu.

Atau bisa juga kita mematut diri secara khusus ketika tampil di publik pertemanan. Harus terlihat cantik, ganteng, dan all out performance. Itu dilakukan baik yang single atau sudah berpasangan. Semua ditampilkan untuk saling tarik menarik pengaruh atau perhatian. Padahal secara tidak sadar kita sudah melupakan sesuatu atau mengecewakan oranglain karena tindakan kita tersebut.

Resah rasanya kalau kita tidak "bermanja" di depan publik pertemanan sosmed. Galau rasanya jika kita tidak menunjukan rasa-rasa yang berkecamuk dalam pikir dan hati. Dan SEDIH rasanya jika kita "minim" pemirsa atau tanggapan saat eksis. Sepi dan kehilangan daya hidup rasanya, andai tidak ada hiruk pikuk eksis di pertemanan.

Bahaya dan Tapal Batas

Tidak ada yang salah jika berteman. Atau aktif bersosial media untuk menjaga pertemanan. Asal kita memahami batasannya. Tidak mesti ruang-ruang privasi kita di buka selebar-lebarnya. Atau tindakan-tindakan kita keluar kontrol dari etika sosial yang ada karena ada dukungan pertemanan yang salah. Semua teman bisa masuk, berpendapat, mengarahkan, menganjurkan, meminta, memutuskan dan memerintah tanpa ada tapal batas ruang pribadi. Seolah-olah diri adalah milik publik pertemanan. Yang tidak dapat mandiri atau mendapat ruang privasi dalam kehidupan. Bayangkan jika itu terjadi dalam kehidupan berpasangan??

Belum lagi godaan-godaan terkait perasaan. Ada aroma pengkhianatan, iri, dengki, perselingkuhan, dan atau fitnah. Karena ada satu dua pihak yang mempunyai kepentingan sama, mereka memprovokasi yang lain untuk membenarkan tindakan mereka. Sudah sering terjadi hal seperti itu. Apalagi diperkuat saat kopi darat. Makin sempurna rencana tersebut berjalan. Yang salah jadi benar dan yang benar jadi salah.

Ujungnya banyak hal baik dikorbankan. Banyak pasangan berakhir karena kejadian seperi ini. Banyak pekerjaan terbengkalai karena hal seperti ini. Banyak rencana gagal karena kehilangan fokus oleh hal seperti ini. Padahal hal baik itu sudah susah payah diperjuangkan, dijaga dan dipertahankan. Rusak atau hilang karena atas nama pertemanan yang tidak sehat.

Teman, alangkah baiknya kita mulai menelaah kembali konsep pertemanan kita. Hal-hal konvensional dalam pertemanan masih dapat dipertahankan. Adab dan perilaku jadul bisa kita contoh, bahwa berteman hanya sekedar mengisi waktu dan sarana menghilangkan kepenatan. Bukan sebagai prioritas utama dalam perjalanan kehidupan. Apalagi ditambah kekonyolan seperti melakukan sumpah setia atau sejenisnya, untuk sehidup semati tujuh turunan untuk selalu berteman. Padahal aktivitas pertemanan yang dilakukan hanya mengedepankan hal-hal biasa atau remeh, tanpa tujuan yang bermakna atau berkualitas untuk kepentingan orang banyak.

Prioritas hidup dapat menjadi tapal batas terbaik. Kita akan dapat memahami mana yang mesti didahulukan atau diutamakan. Karena itu bisa dijadikan sebagai tapal batas pertemanan. Paling mudah adalah dengan membuat komposisi porsentase. Minimal ketika kita masuk etape hidup "bertanggungjawab", pertemanan masuk dalam kebutuhan sekunder. 

Artinya hanya mendapat porsentase 10 s/d 20% dari fokus hidup kita. Bukan berarti porsentase yang tidak signifikan itu membuat kita menjadi individualis. Porsentase tersebut cukup menyimbangkan hidup kita. Karena sisanya 80% dari fokus hidup kita dapat dipakai untuk prioritas dari tujuan-tujuan utama hidup, orang-orang tercinta dan target-target hidup kita.

Mari berteman SEHAT, bukan SESAT. Karena hidup begitu berharga, ketika kita memfokuskan diri untuk hal-hal atau orang-orang yang layak dan wajib kita perjuangkan.

Selamat Menikmati #SubuhMeresap

--------------------------

Sudut Bekasi, 271117-0324

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun