Politics exist in everything we do rasanya menjadi adagium yang cocok untuk mengawali tulisan kali ini. Politik senantiasa hadir dalam sendi kehidupan realitas sosial manusia, meminjam dari apa yang dikatakan Aristoteles kita ini adalah Zoon Politicon maka tidak heran bila kita secara natural kerap bersinggungan dengan politik. Salah satu contoh kecil dari banyaknya kaitan antara politik dengan kehidupan sosial manusia adalah budaya dan musik.
Budaya sendiri bila kita simplifikasi dan jabarkan secara ringkas adalah sebuah sharing value yang dijadikan nilai dalam kehidupan suatu masyarakat yang menganutnya. Merujuk pada pengertian yang lebih komprehensif kultur adalah sesuatu yang kompleks meliputi banyak aspek kebiasaan individu dalam bermasyarakat seperti pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, dan adat istiadat (E.B. Tylor, 1871).
Dari berbagai aspek yang dijabarkan oleh Tylor pada kesempatan kali ini kita akan berfokus kepada kesenian musik sebagai salah satu produk budaya yang ternyata bila kita kaitkan dengan konteks perubahan politik keduanya memiliki hubungan yang menarik.
Penulis mengambil kasus kontrol terhadap musik populer yang terjadi di era orde lama dan orde baru sebagai komparasi bagaimana dinamika atau perubahan kedua rezim ini dalam melakukan upaya kontrol budaya musik populer.
Pelarangan Budaya Musik Pop Barat 1950-1967 yang Dinilai Kontra Revolusi dengan Semangat Revolusi Orde Lama
Indonesia di sekitaran tahun 1950 tepatnya ketika masa post kolonialisme, Soekarno yang saat itu menjadi orang yang memiliki kekuasaan besar sebagai founding father Indonesia, sedang gencar-gencarnya mengupayakan semangat revolusioner bangsa Indonesia untuk bisa lepas dari kolonialisme dan imperialisme bangsa barat.
Propaganda-propaganda dan sikap politik anti liberalisme menjadi pemandangan yang biasa dalam dinamika politik era itu. Bukan hanya secara politik, dalam ekonomi dan budaya pun Indonesia menutup rapat-rapat terhadap hal-hal yang berbau barat, tak terkecuali musik.
Perkembangan musik di era orde lama sangat selektif khususnya budaya musik yang datang dari barat seperti genre rock, yang Soekarno sebut sebagai musik ngak ngik ngok, dengan alasan politis khawatir budaya rock ini bisa jadi penyebab terdegradasinya rasa kepribadian bangsa para pemuda (Soyomukti, 2010, 197).
Pelarangan ini tentunya sangat berkaitan dengan ambisi kemandirian bangsa Indonesia di masa orde lama yang ingin membebaskan diri dari pengaruh imperialisme barat karena budaya musik pop ini sebagian besar dari negara Amerika dan Inggris yang telah kita ketahui kedua negara tersebut memiliki basis pemikiran liberal.
Barang tentu ada kekhawatiran dari Soekarno apabila budaya musik barat ini memberi pengaruh kontra revolusioner pada golongan pemuda. Kegusaran Soekarno terhadap budaya musik pop barat ini dapat kita lihat dalam pidatonya pada 17 Agustus 1959 tentang manipol usdek, di pidatonya Soekarno secara terang-terangan menyebutkan musik ngak ngik ngok (rock, mambo, rock n roll) merusak moral bangsa, disampaikan perlunya membangun kepribadian bangsa yang bersih dari imperialisme, kolonialisme, dan neokolonialisme.
Pelarangan budaya musik barat pun tidak berhenti di pengecaman pidatonya saja, rupanya Soekarno benar-benar serius untuk menolak budaya barat dengan ditetapkannya peraturan manifesto politik di tahun 1959 dan pembatasan lagu-lagu barat di RRI per bulan Oktober setelah aturan Manipol USDEK diterapkan.
Musisi-musisi yang mengadopsi gaya musik band populer barat seperti The Beatles terancam dipidana apabila menyanyikannya secara terang-terangan. Koleksi piringan hitam musik-musik barat pun disita dan dimusnahkan.
Sebagai gantinya lagu-lagu nasional yang bersifat revolusioner pun mulai digalakan sebagai counter dari musik barat yang dianggap kontra revolusi. Muncul lagu-lagu yang bertujuan membangkitkan semangat revolusioner Indonesia seperti Nasakom Bersatu, Dekon, Ganyang Inggris Amerika, Resopim, Anthem Ganefo dan lain-lain.
Di era orde lama ini musik memang dikontrol oleh rezim, musik-musik bernuansakan barat dilarang dan diganti dengan musik nasional yang revolusioner dan politis karena di era orde lama ini kondisinya sedang dalam proses penguatan kemandirian bangsa pasca masa post kolonialisme.
Setelah kekuasaan Soekarno runtuh, kondisinya berbalik 180 derajat di era orde baru. Musik barat mulai diterima akan tetapi ada proses depolitisasi dari rezim orde baru dalam penerimaannya untuk mempertahankan status quo dengan menciptakan situasi massa mengambang . Selengkapnya akan dibahas di sub bab selanjutnya.
Terlahir Kembalinya Budaya Musik Populer Barat Di Era Orba Lewat Upaya Stabilitas Ekonomi dan Politik
Jatuhnya kekuasaan Soekarno menandai berakhirnya sepak terjang rezim orde lama dalam tampuk kekuasaan pemerintahan. Soeharto sebagai suksesor kekuasaan orde lama memiliki sejumlah permasalahan yang diwariskan oleh pemangku kekuasaan sebelumnya yaitu krisis hiperinflasi di era 60an.
Inflasi ini tidak lepas dari ambisi orde lama dalam kebijakan pengambilan langkah politik mercusuarnya yang menitik beratkan politik di atas kepentingan ekonomi sebagaimana yang disampaikan Thee Kian Wie “Tujuan kepentingan ekonomi kerap kali dibersamai tujuan politis kebudayaan” (Wie, 2016). Maka dari itu Soeharto mempunyai tugas untuk menstabilkan kembali kondisi sosial baik itu ekonomi dan stabilitas politik Indonesia.
Langkah yang diambil oleh Soeharto pada saat itu adalah mencari pinjaman atau investasi dari barat lewat disahkannya UU PMA 1967 yang nantinya undang-undang ini juga menjadi salah satu faktor pendorong “terlahir kembalinya” budaya musik populer barat. Di era awal kepemimpinan Soeharto seiring terbukanya kerja sama dengan asing, budaya barat pun mulai masuk kembali khususnya musik populer seperti rock dan sejenisnya.
Musisi-musisi yang mengadopsi musik barat seperti Elvis dan The Beatles kini bebas untuk berkreasi tanpa takut adanya ancaman pidana karena tidak ada aturan khusus yang melarang musik barat ketika itu.
Band-band seperti The Rollies mulai mewarnai skena musik di era orde baru. Perilisan musik di era orde baru dapat dikatakan sedikit lebih bebas dibandingkan orde lama yang penuh kontrol karena khawatir musik tersebut memberi pengaruh kontra revolusioner.
Bebasnya musik barat ini juga tak lepas dari upaya Soeharto untuk menarik hubungan dengan negara barat yang liberal lewat citra Indonesia yang mulai terbuka dalam budaya dan melemahnya pengaruh komunis yang dibawa orde lama. Akan tetapi, sebenarnya budaya musik di era ini tidaklah sepenuhnya bebas ada sebuah filterisasi, pencekalan, penyensoran melalui depolitisasi lagu. Hal ini berbanding terbalik dengan budaya musik orde lama yang kebanyakan malah bersifat politis.
Depolitisasi Musik Era Orde Baru dan Massa Mengambang
Satu hal menarik dibalik dari bebasnya budaya musik pop barat di orde baru yaitu terdapat upaya depolitisasi pada musik yang beredar di masyarakat. Bisa kita lihat sepanjang era orde baru terdapat beberapa pencekalan terhadap musik-musik yang politis dan kritis karena dianggap mengancam kestabilan politik.
Salah satu contoh yang paling populer adalah pencekalan lagu Genjer-genjer pasca tragedi G 30S. Lagu ini dicekal dengan alasan yang bisa kita lihat sangat politis, sebagaimana yang kita tahu lagu ini ditafsirkan dan selalu dikaitkan oleh orde baru sebagai propaganda komunis.
Yang mana kita ketahui di era orde baru pemerintah sedang melakukan pelemahan besar besaran terhadap paham komunisme.
Selain Genjer-genjer yang dicekal karena penciptanya adalah orang lekra dan dianggap lekat dengan propaganda komunis, lagu bernada satir dan kritis pun tak luput dari pencekalan. Iwan Fals, D’Lloyd, dan Rhoma Irama menjadi contoh kecil dari praktek depolitisasi budaya musik di rezim orde baru. Iwan Fals diinterogasi dan mendapat teror setelah membawakan lagu Demokrasi Nasi dan Mbak Tini yang dianggap menyindir Soeharto beserta keluarga.
D’Lloyd terpaksa mengubah lirik “Apalagi penjara di Tangerang” menjadi “Apalagi penjara zaman perang” dalam lagu berjudul “Hidup di Bui” karena dianggap mengupas boroknya perlakuan rezim ketika itu di penjara Tangerang yang merupakan tempat dijebloskannya orang-orang yang tertuduh PKI.
Begitupula dengan pencekalan Rhoma Irama beserta grupnya Soneta untuk tampil dalam stasiun TV karena lagu-lagunya kerap menyindir pemerintah belum lagi sentimen perbedaan politik Rhoma Irama sebagai juru kampanye PPP. Lagu “Judi” dan “Hak Asasi Manusia” ciptaan Rhoma Irama jelas membuat gusar rezim orde baru karena seperti yang kita ketahui pada saat itu banyak pelanggaraan HAM yang terjadi dan pelegalan judi melalui pembentukan porkas. Sudah barang tentu kedua lagu Rhoma Irama ini dinilai bersebrangan dan melawan sikap politik rezim orde baru.
Praktek depolitisasi ini tentunya bertujuan untuk memuluskan Soeharto dalam mempertahankan status quo dan merealisasikan cetak biru kekuasaannya, di samping itu upaya tersebut memang bertujuan menjaga stabilitas politik karena bagaimanapun musik adalah sebuah medium komunikasi dapat dijadikan sebagai media ekspresif penyampaian kritik sehingga ada kekhawatiran bagi rezim orde baru apabila jenis lagu politis ini meruah.
Soeharto ingin menciptakan sebuah kondisi yang disebut sebagai massa mengambang. Massa yang mengekor, tidak punya proyeksi politik, tidak memiliki pegangan arah politik, dan hal ini bisa menjaga status quo Soeharto.
Tidak heran di zaman tersebut banyak dibentuk organisasi atau lembaga yang dibuat untuk mewadahi bidang kehidupan sosial tetapi sejatinya organisasi itu dibentuk oleh rezim dengan maksud memudahkan kontrol dan pengawasan. Begitupun dengan depolitisasi dan pencekalan musik bermuatan politis era orde baru pada akhirnya bermanifestasi pada pengkondisian massa mengambang.
Maka dari itu rezim orde baru lebih mengarahkan budaya musik ini untuk menjadi industri hiburan saja yang mana ini akan membentuk sebuah budaya yang oleh Theodor Adorno disebut sebagai cultural industry yang nantinya membentuk budaya kapitalis dan musik sebagai komoditinya. Hal ini tentu sangat bertolak belakang dengan cita-cita Indonesia di era orde lama yang justru ingin terbebas dari budaya kapitalis.
Kesimpulan
Dari apa yang telah kita bahas di atas dapat kita tarik sedikit kesimpulan bahwa dampak yang disebabkan perubahan politik tidak hanya berefek pada bergantinya pemegang kekuasaan. Dinamika yang terjadi tidak berhenti begitu saja ketika sirkulasi kekuasaan sudah tercapai lewat pemilu secara prosedural. Lebih dari itu, perubahan politik juga bisa menentukan bagaimana aspek-aspek kehidupan sosial akan berjalan dalam masyarakat tersebut.
Seperti yang terjadi pada bagaimana kontrol budaya musik di dua periode rezim yang berbeda. Ada sebuah perbedaan yang kontras ketika kita komparasikan bagaimana langkah yang diambil oleh orde baru dan orde lama. Soekarno dengan semangat kemandirian dan anti imperialismenya mendorong masyarakat untuk menjauhi segala bentuk budaya dari barat dan menggantinya melalui lagu politis yang revolusioner.
Soeharto dengan bebasnya budaya musik barat dan depolitisasi musik untuk menciptakan massa mengambang. Akan tetapi, kita juga akan menemui persamaan pola kedua rezim dalam melakukan kontrol budaya musik tersebut.
Keduanya sama-sama melakukan filterisasi untuk menjaga status quo rezimnya tetapi keduanya memiliki perbedaan yang saling bertolak belakang, orde lama tidak menginginkan masuknya budaya musik barat dan lebih menekankan pada musik yang politis sedangkan orde baru sebaliknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H