Depolitisasi Musik Era Orde Baru dan Massa Mengambang
Satu hal menarik dibalik dari bebasnya budaya musik pop barat di orde baru yaitu terdapat upaya depolitisasi pada musik yang beredar di masyarakat. Bisa kita lihat sepanjang era orde baru terdapat beberapa pencekalan terhadap musik-musik yang politis dan kritis karena dianggap mengancam kestabilan politik.
Salah satu contoh yang paling populer adalah pencekalan lagu Genjer-genjer pasca tragedi G 30S. Lagu ini dicekal dengan alasan yang bisa kita lihat sangat politis, sebagaimana yang kita tahu lagu ini ditafsirkan dan selalu dikaitkan oleh orde baru sebagai propaganda komunis.
Yang mana kita ketahui di era orde baru pemerintah sedang melakukan pelemahan besar besaran terhadap paham komunisme.
Selain Genjer-genjer yang dicekal karena penciptanya adalah orang lekra dan dianggap lekat dengan propaganda komunis, lagu bernada satir dan kritis pun tak luput dari pencekalan. Iwan Fals, D’Lloyd, dan Rhoma Irama menjadi contoh kecil dari praktek depolitisasi budaya musik di rezim orde baru. Iwan Fals diinterogasi dan mendapat teror setelah membawakan lagu Demokrasi Nasi dan Mbak Tini yang dianggap menyindir Soeharto beserta keluarga.
D’Lloyd terpaksa mengubah lirik “Apalagi penjara di Tangerang” menjadi “Apalagi penjara zaman perang” dalam lagu berjudul “Hidup di Bui” karena dianggap mengupas boroknya perlakuan rezim ketika itu di penjara Tangerang yang merupakan tempat dijebloskannya orang-orang yang tertuduh PKI.
Begitupula dengan pencekalan Rhoma Irama beserta grupnya Soneta untuk tampil dalam stasiun TV karena lagu-lagunya kerap menyindir pemerintah belum lagi sentimen perbedaan politik Rhoma Irama sebagai juru kampanye PPP. Lagu “Judi” dan “Hak Asasi Manusia” ciptaan Rhoma Irama jelas membuat gusar rezim orde baru karena seperti yang kita ketahui pada saat itu banyak pelanggaraan HAM yang terjadi dan pelegalan judi melalui pembentukan porkas. Sudah barang tentu kedua lagu Rhoma Irama ini dinilai bersebrangan dan melawan sikap politik rezim orde baru.
Praktek depolitisasi ini tentunya bertujuan untuk memuluskan Soeharto dalam mempertahankan status quo dan merealisasikan cetak biru kekuasaannya, di samping itu upaya tersebut memang bertujuan menjaga stabilitas politik karena bagaimanapun musik adalah sebuah medium komunikasi dapat dijadikan sebagai media ekspresif penyampaian kritik sehingga ada kekhawatiran bagi rezim orde baru apabila jenis lagu politis ini meruah.
Soeharto ingin menciptakan sebuah kondisi yang disebut sebagai massa mengambang. Massa yang mengekor, tidak punya proyeksi politik, tidak memiliki pegangan arah politik, dan hal ini bisa menjaga status quo Soeharto.
Tidak heran di zaman tersebut banyak dibentuk organisasi atau lembaga yang dibuat untuk mewadahi bidang kehidupan sosial tetapi sejatinya organisasi itu dibentuk oleh rezim dengan maksud memudahkan kontrol dan pengawasan. Begitupun dengan depolitisasi dan pencekalan musik bermuatan politis era orde baru pada akhirnya bermanifestasi pada pengkondisian massa mengambang.
Maka dari itu rezim orde baru lebih mengarahkan budaya musik ini untuk menjadi industri hiburan saja yang mana ini akan membentuk sebuah budaya yang oleh Theodor Adorno disebut sebagai cultural industry yang nantinya membentuk budaya kapitalis dan musik sebagai komoditinya. Hal ini tentu sangat bertolak belakang dengan cita-cita Indonesia di era orde lama yang justru ingin terbebas dari budaya kapitalis.