Tulisan ini akan dibagi ke dalam dua bagian dengan fokus pembahasan yang berbeda namun saling beririsan.
"Truth is impossible there can only be perspective and interpretation, driven by a person's interests or 'will to power" (Nietzsche, 1844--1900)Â
Artikel ini ditulis untuk menjawab sebuah pertanyaan mengenai apakah manusia modern bisa menemukan kebenaran melalui kekuatan daya nalar rasionya di tengah pengaruh kapitalisme yang hampir menjalar dalam setap nadi kehidupan sosial? Untuk menjawab pertanyaan tersebut ada baiknya kita telaah ke belakang sejarah pencarian kebenaran oleh manusia. Di tulisan ini mari kita menjelajah waktu melalui literatur yang menggambarkan bagaimana pemikiran manusia sesuai konteks zamannya diawali dengan fase intelektual yang dijabarkan oleh Auguste Comte, optimisme aufklrung, pendekatan rasio Rene Descartes, rasio manusia modern hingga pada akhirnya pembahasan tersebut akan mengerucut pada opini penulis dengan teori kritis Max Horkheimer & Adorno serta kapitalisme sebagai rujukan dalam sebuah penarkan kesimpulan yang diharapkan dapat menjawab pertanyaan yang diajukan di awal.
Sejarah Pencarian Kebenaran Manusia dan Teori Kebenaran
Berbicara mengenai kebenaran, manusia dalam sejarah perkembangan peradabannya tak pernah berhenti untuk mencari sebuah kebenaran. Berbagai cara ditempuh baik itu dengan filsafat, teologi, metafisika, dan ilmu pengetahuan digunakan oleh manusia sebagai upaya yang tiada lain untuk menemukan kebenaran yang selama ini dicari-cari. Upaya pencarian kebenaran melalui macam-macam epistemologi seperti empirisme, rasionalisme, realisme, materialisme, pragmatisme dan idealisme hingga hari ini metode epistemologi tersebut belum menemukan kebenaran final yang universal. Â Ada baiknya, sebelum masuk lebih jauh pada sejarah pencarian kebenaran dalam peradaban manusia, perlu diketahui dulu apa maksud dan konsep dari kebenaran itu sendiri agar lebih mudah mencerna pada apa yang akan dibahas selanjutnya. Mengutip pada jurnal Teori Kebenaran Perspektif Filsafat Ilmu (Atabik, 2014) berdasarkan teori yang berkembang dalam filsafat mengenai kebenaran setidaknya ada tiga konsep teori kebenaran yang kerap dijadikan rujukan.
Pertama, teori kebenaran korespondensi yaitu konsepsi kebenaran yang dilandaskan pada keterikatan sebuah pernyataan terhadap fakta yang ditemukan atau diketahui dalam suatu objek (Sumantri, 2000, 57) yang berarti sebuah kebenaran itu baru valid apabila ada kesesuaian dengan fakta yang merujuk pada objek yang dimaksud. Teori kebenaran korespondensi ini bila kita cermati dengan baik sangat erat kaitannya dengan pengetahuan empirisme yang menitikberatkan kebenaran pada kesesuaian apa yang kita amati dengan objek, maka dari itu teori ini kerap dikaitkan dengan teori-teori empiris (Sumantri, 2000, 54). Adanya keterkaitan antara pernyataan dan fakta menunjukan bahwa teori korespondensi ini bertujuan untuk menciptakan kebenaran yang dapat diterima oleh semua orang karena apa yang dinyatakan sesuai dengan fakta yang ada (Atabik, 2014).
Kedua, teori kebenaran pragmatisme yaitu sebuah konsep yang menilai sesuatu dikatakan benar apabila memiliki daya manfaat praksis. Filsafat kebenaran pragmatis ini berkembang di Amerika dengan John Dewey, C S Peirce , dan William James sebagai tokoh yang berpengaruh di aliran pragmatisme. Berbeda dengan kebenaran korespondensi yang menekankan adanya pernyataan dengan kenyataan faktual objek, kebenaran pragmatis terkadang tidak memperhatikan hal itu karena yang paling penting adalah pernyataan tersebut memiliki manfaat pada kehidupan praksis. Selama pernyataan tersebut memiliki manfaat dalam praksis maka pernyataan tersebut adalah kebenaran. Kebenaran pragmatis ini juga bisa bersinggungan dengan hal hal yang metafisik karena tak perlu fakta objektif secara empiris dalam pembuktiannya.
Ketiga, kebenaran koheren sesuai dengan namanya kebenaran ini didasarkan pada koherensi sebuah pernyataan dengan pernyataan lainnya yang benar. Seperti halnya kebenaran korespondensi yang mengaitkan sebuah kebenaran pernyataan dengan fakta, pada konsep kebenaran koherensi dilihat pula antara kaitan tersebut dengan memperhatikan bentuk hubungan atas pernyataan yang benar sebelumnya (Bakhtiar, 2012). Sebagai contohnya ada sebuah pernyataan "tumbuhan memerlukan air untuk hidup" dimana sebelumnya ada pernyataan "makhluk hidup memerlukan air untuk hidup", maka dari itu pernyataan "tumbuhan memerlukan air untuk hidup" benar secara koheren karena memiliki kaitan dengan pernyataan benar sebelumnya yaitu "makhluk hidup memerlukan air untuk hidup".
Kebenaran koherensi ini juga mempertimbangkan konsistensi dari kebenaran sebuah pernyataan. Sebuah pernyataan harus memiliki konsistensi kebenaran pada pernyataan sebelumnya yang pernah ada (Sumantri, 2000). Artinya kebenaran ini melengkapi dari apa yang tidak ada di dalam kebenaran korespondensi yaitu konsistensi kebenaran dari sebuah pernyataan yang telah ada dan dinyatakan benar sebelumnya yang didapatkan melalui pemahaman logis koheren.
Hukum Tiga Tahap Intelektual Manusia August Comte dalam Mencari KebenaranÂ
Setelah menjabarkan mengenai teori-teori kebenaran yang berkembang mari kita kembali fokus pada pembahasan sejarah peradaban manusia dalam mencari kebenaran, berdasarkan teori tiga tahap yang dijabarkan oleh August Comte manusia dalam perkembangan peradaban setidaknya mengalami tiga tahapan perkembangan yaitu teologis, metafisika, dan positivis. Untuk menyambung pembahasan dari sejarah pencarian kebenaran manusia, setidaknya kita perlu memahami fase tiga tahap yang dikonsepsikan August Comte ini sebagai gambaran historis bagaimana manusia mencoba merasionalkan fenomena alam untuk dicari kebenarannya.
Teori August Comte ini dilatarbelakangi oleh pengalaman empiriknya pada saat masa revolusi Perancis yang pada saat itu dia tidak percaya pada apa yang dibawa oleh kelompok konservatif dalam menjaga keteraturan sosial dan pemikirannya yang rasional futuristik melihat bahwa ada perubahan sosial  yang terjadi di masyarakat Perancis lalu kejadian itu menjadi pondasi awal Comte membangun teori tiga tahapan intelektual manusia (Saebani & Beni, 2016).
Dari sini dapat kita lihat bagaimana August Comte merumuskan tahapan intelektual manusia dari loncatan historis pola pikir peradaban manusia dalam memandang pengetahuan dan kebenaran. Perubahan sosial masyarakat yang terjadi menandakan adanya suatu proses tahapan intelektual manusia berdasarkan perubahan yang didorong oleh kondisi yang terjadi di peradaban tersebut mulai dari masa teologis, metafisika, dan positivisme sebagai tahap intelektual akhir.
Fase teologis
Pada fase intelektual pertama yaitu teologis menurut August Comte manusia di fase tersebut dipenuhi dengan fetisisme serta kepercayaan terhadap politheisme dan monotheisme.Di tahap ini intelektual manusia mencoba merasionalisasi gejala yang ada pada alam dengan mempercayai sebuah kekuatan berada pada benda-benda atau roh yang ada di luar eksistensi manusia. Pada masa ini pula karena manusia percaya bahwa kekuatan ini ada pada unsur-unsur yang berkaitan dengan tokoh agamis serta benda yang dianggap memiliki kekuasaan memberi pengaruh pada kehidupan sosialnya untuk saling menundukan kekuatan antar kelompok (Chabibi, 2019). Pada masa ini kehidupan manusia dipenuhi dengan upaya penaklukan karena kepercayaannya mengenai kekuatan yang berada dalam unsur-unsur tadi.
Fase teologis ini adalah masa-masa manusia berada dalam kuasa dogma teologis sehingga segala sesuatu yang terjadi pada era tersebut akan dimaknai sebagai sesuatu yang telah diatur oleh kekuatan adikodrati dewa-dewa, roh ataupun Tuhan. Pada perkembangannya fase teologis ini dimulai dengan fetisisme terhadap roh atau kekuatan benda lalu menjadi politeisme hingga akhirnya mencapai titik monotheisme. Manusia pada saat fase ini belum mencapai suatu metode dalam menjelaskan fenomena alam berdasarkan metode yang terstruktur. Pemahaman akal budi rasio dan indra dalam menggali suatu fenomena alam belum tersistematikan maka dari itu upaya yang dilakukan adalah merasionalkan fenomena yang terjadi dengan menghubungkannya pada kekuatan di luar manusia. Sebelum akhirnya manusia akan mulai memasuki pada fase transisi dari intelektual teologis ke positivis melalui tahapan metafisika yang terjadi pada peradaban abad pertengahan yang ditandai dengan lahirnya semangat Renaissance.
Fase Metafisik
Fase metafisik hampir sama seperti fase teologis hanya saja manusia di era ini mulai memikirkan sesuatu yang abstrak dan filosofis dengan ditandai berkembangnya filsafat. Ada upaya merasionalkan kekuataan ghaib atau adikodrati dengan kekuataan abstrak yaitu salah satunya kekuatan pemikiran rasional atau akal budi (Chabibi, 2019). Pada fase ini intelektual manusia juga mulai mengembangkan pseudo sains yakni merasionalkan mitos pada kejadian fenomena alam (Iskandar, 2020). Fase ini juga memberikan corak baru pada kehidupan sosial masyarakatnya berbeda dengan fase teologis yang hanya berfokus pada sesuatu yang militeristik dan penaklukan, metafisika ini mulai menjadi jembatan awal manusia untuk fokus pada produksi.
Fase metafisik hampir sama dengan fase teologis tetapi di fase ini manusia mulai memiliki kesadaran kekuatan rasionya dalam memikirkan sesuatu yang abstrak. Nantinya fase ini menjadi titik dari optimisme manusia untuk mampu menjelaskan segala fenomena alam dengan kekuatan rasionya. Fase metafisik menjadi modal awal bertranformasinya intelektual manusia yang nantinya akan merujuk pada manusia yang positiv yaitu menitikberatkan pencarian kebenaran dan ilmu pengetahuan pada sesuatu yang tersistematis di fase selanjutnya.
Fase Positivis
Pada tahap terakhir intelektual manusia mulai menunjukan kedewasaan intelektualnya dengan menitikberatkan pengetahuan dan klaim kebenaran berdasarkan ilmu pengetahuan dan rasionalisme logis. Pergeseran yang terjadi dari fase teologis, metafisik, ke positiv merupakan loncatan besar dari intelektual manusia pada sains. Upaya-upaya mencari kebenaran dilihat dari data-data empiris dan logika rasional sebagai epistemologis pencarian pengetahuan dan kebenaran. Di fase ini pula manusia menemukan suatu formulasi dalam mencari ilmu pengetahuan dengan tersistematik pada sebuah metodologi salah satunya yaitu pendekatan positivisme Tahap positivis intelektual manusia tidak lagi berorientasi pada ide-ide absolut takdir alam semesta dalam berbagai fenomena seperti yang terjadi pada fase teologis dan metafisik tetapi lebih berorientasi mencari kebenaran berdasarkan hukum-hukum yang menjadi penyebab segala fenomena alam semesta. Observasi-observasi ilmiah menjadi syarat untuk mengklaim sebuah kebenaran. Setidaknya inilah kondisi yang terjadi pada masa kontemporer sekarang yang menitikberatkan segala sesuatu pada ilmu pengetahuan logika rasional untuk membangun peradaban manusia.
Berdasarkan apa yang telah August Comte gagas dalam teori hukum tiga tahap intelektual manusia, pada tahap positivis ini manusia mulai percaya terhadap kekuatan akal budi rasionya untuk mencari kebenaran. Era optimisme manusia dapat mencari kebenaran dengan kekuatan rasionya dapat kita lihat pada era pencerahan Aufklarung yang menjadi era manusia berusaha lepas dari kungkungan dogma dalam sebuah kebenaran.
Aufklarung Sebagai Titik Awal Optimisme Manusia Mencapai Kebenaran dengan Akal Budi Rasio
Dilatarbelakangi pada keresahan dominasi agama sebagai otoritas tertinggi klaim kebenaran yang terjadi di abad 18, filsuf-filsuf seperti Immanuel Kant, Descartes, Francis Bacon dan lainnya berupaya mengubah paradigma manusia untuk menitikberatkan apa yang terjadi di alam semesta baik itu pengetahuan dan kebenaran pada ilmu pengetahuan yang dapat diterima akal rasio. Empirisme dan rasionalisme yang sedari dulu bertentangan hebat coba didamaikan untuk dicari titik tengahnya sehingga bisa menunjang pencarian kebenaran dan pengetahuan di masa Aufklrung.
Masa Aufklrung ini berlangsung di eropa pada abad 18 di Jerman, Inggris dan Perancis ketiganya sama-sama memiliki upaya membangkitkan ilmu pengetahuan di bawah kungkungan dogma absolut. Di Jerman Aufklarung diwarnai oleh sintesa Immanuel Kant mengenai a priori rasionalisme dengan a posteriori melalui filsafat kritisme (Wolff, 1968). Immanuel Kant menguji rasional manusia dengan memperhatikan batas-batasnya hingga suatu kebenaran dan pengetahuan itu didapat dengan cara yang benar baik itu secara rasio dan empiris.
Dengan filsafatnya itu Immanuel Kant mendobrak dogma yang ada dengan terobosan sintesa nya dalam mencari kebenaran yang mendamaikan antara epistemologi rasio dan empiris. Masa Aufklrung dijabarkan oleh Immanuel Kant dalam tulisannya Was ist Aufklrung? (1784) yang memaknai Aufklrung adalah kesadaran manusia dari kesalahannya yang tidak menggunakan kekuatan akal budi rasio dengan merdeka tanpa ada rasa tekanan dari orang lainnya. Beberapa karya tulisan yang dibuat oleh Kant berisi kritik yang mendorong terciptanya kemajuan ilmu pengetahuan dan keberanian untuk tidak takut berpikir sendiri, adagiumnya yang terkenal Sapere aude! menjadi semangat perubahan masa Aufklrung. Selain Immanuel Kant, pada abad pencerahan Aufklrung ini muncul juga filsuf yang terkenal membangun revolusi pencarian kebenaran dengan kekuatan akal budi rasio di Perancis bernama Rene Descartes.
Rene Descartes dan Optimisme Kekuatan Rasio Manusia dalam Menemukan Kebenaran
Rene Descartes memulai kebangkitan kekuatan akal budi rasio dari pandangannya mengenai manusia sebagai pencipta dunianya sendiri atau yang dikenal sebagai faber mundi, manusia dilihat sebagai pusat pembentukan subjektivitas (Hamersma, 1981, 57). Ketika itu Rene Descartes melihat ketidakpuasannya pada metode empiris sebagai epistemologi ilmu pengetahuan karena observasi berdasarkan kekuatan indra bisa menipu. Ia menginginkan metode lain dalam mencari sebuah kebenaran atau ilmu.
Hingga pada akhirnya ia menemukan sebuah metode dari perenungannya dan kesangsiannya pada segala sesuatu. Descartes melihat bahwa ketika kita ingin mencari kebenaran dari sesuatu maka kita harus sangsi terlebih dahulu pada sesuatu itu. Kesangsiannya terhadap segala sesuatu ini membawa Rene Descartes ke dalam tradisi rasionalisme yaitu tradisi yang mempercayai bahwa satu-satunya metode dalam mencari kebenaran adalah dengan menggunakan akal budi rasio manusia. Metode rasio yang dikonsepkan oleh Rene Descartes inilah yang nantinya akan berkembang sebagai epistemologi ilmu pengetahuan yang nantinya dalam beberapa kesempatan akan bergandengan dengan paradigma positivis. Rasionalisme yang diwariskan oleh tokoh-tokoh Aufklarung seperti Immanuel Kant dan Rene Descartes ini masih tetap dipakai oleh manusia modern dalam mencari kebenaran.
Teori Kritik Frankfurt dan Kaitannya dengan Dilema Rasio Manusia Modern
Teori ini dikembangkan dari tradisi sekolah Frankfurt yang mencoba kritik dekonstruksi teori yang telah ada dengan tujuan merekonstruksi kembali menjadi teori baru yang dihasilkan dari cara-cara kritis. Tradisi ini melahirkan tokoh-tokoh seperti Max Hokheinhemer, Theodor Adorno, Herbert Marcuse, Jurgen Habermas, dan lain-lain yang mewarnai mazhab kritis ini. Salah satu hal yang menarik untuk diulas dalam tradisi ini adalah kritik dari Max Horkheimer dan Theodor Adorno terhadap penggunaan rasio instrumental oleh manusia modern. Max Horkheimer dan Theodor Adorno (dalam Kurniawati et all, 2021) menerbitkan karyanya ke dalam buku Dialectic of Enlightenment sebagai kritiknya terhadap manusia modern serta ironi rasionalitas yang dulu dipercaya sebagai metode mencari kebenaran ternyata malah menimbulkan bentuk bentuk penindasan. Keduanya juga membahas kegagalan tradisi rasionalisme untuk lepas dari mitos dan ironisnya mereka membuat mitos baru dari adanya rasionalisme. Sejak zaman filsafat Yunani Kuno hingga mencapai titik manusia modern seperti sekarang rasionalisme tidak mampu untuk melepaskan diri dari mitos (Horkheimer & Adorno, 2002) Â Usaha rasional yang dibangun sejak masa Aufklarung adalah mitos yang irasional sebab pada pengamatan Horkheimer dan Adorno manusia rasional tidak bisa mengenali dirinya secara otonom.
Manusia sebagai subjek tertinggi dan diklaim oleh Rene Descartes sebagai faber mundi yang menciptakan dunianya sendiri melalui rasio akal budi manusia yang menguasai alam ternyata terbalik. Selama ini rasio manusia modern yang diklaim sebagai penghancur mitos dan menjadikan manusia memiliki otonom dalam berpikir ternyata tunduk pada kuasa alam sehingga manusia hanyalah objek dari alam itu sendiri (Bertens,2014). Rasionalisme yang melahirkan teori tradisionalis berupaya mempertahankan keadaan yang ada hingga membuat mitos baru bahwa ilmu pengetahuan adalah satu-satunya cara untuk mengembangkan peradaban yang mana ini mengabaikan sisi historis dan bersifat ahistoris. Adanya pemisahan antara yang praksis dengan teori bebas nilai yang didawamkan teori tradisionalis juga melestarikan masyarakat yang irrasional. Manusia modern terkungkung dalam sistem ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan ciptaan dari manusia sendiri. Manusia modern tidak benar-benar bebas dalam menggunakan rasionya karena ada distorsi dari rasio instrumental sehingga manusia kehilangan daya nalar kritisnya. Usaha emansipatoris nyatanya belum terwujud sepenuhnya akibat rasio yang hanya dijadikan instrumen dalam mempertahankan kondisi yang ada. Maka dari itu Max Horkheimer dan Theodor Adorno ingin mendekonstruksi kembali teori yang telah ada agar berguna secara praksis dan membangun usaha usaha emansipatoris.
Melalui paradigma teori kritis dalam memandang manusia modern setidaknya meninggalkan suatu pertanyaan penting yang membuat kita berpikir kembali apakah upaya pencarian kebenaran absolut melalui kekuatan akal budi rasio sebagaimana yang dibayangkan Rene Descartes dapat terwujud di era manusia modern yang secara tidak sadar terkekang oleh objek buatannya sendiri yaitu ilmu pengetahuan dan teknologi? Bagaimana kita dapat menemukan kebenaran bila rasio kita telah dikonstruksi sebagai instrumen mempertahankan sistem yang ada? Apa kita telah benar-benar mendapatkan pencerahan setelah lepas dari mitos dan malah membentuk mitos baru?
Bersambung...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H