Aufklarung Sebagai Titik Awal Optimisme Manusia Mencapai Kebenaran dengan Akal Budi Rasio
Dilatarbelakangi pada keresahan dominasi agama sebagai otoritas tertinggi klaim kebenaran yang terjadi di abad 18, filsuf-filsuf seperti Immanuel Kant, Descartes, Francis Bacon dan lainnya berupaya mengubah paradigma manusia untuk menitikberatkan apa yang terjadi di alam semesta baik itu pengetahuan dan kebenaran pada ilmu pengetahuan yang dapat diterima akal rasio. Empirisme dan rasionalisme yang sedari dulu bertentangan hebat coba didamaikan untuk dicari titik tengahnya sehingga bisa menunjang pencarian kebenaran dan pengetahuan di masa Aufklrung.
Masa Aufklrung ini berlangsung di eropa pada abad 18 di Jerman, Inggris dan Perancis ketiganya sama-sama memiliki upaya membangkitkan ilmu pengetahuan di bawah kungkungan dogma absolut. Di Jerman Aufklarung diwarnai oleh sintesa Immanuel Kant mengenai a priori rasionalisme dengan a posteriori melalui filsafat kritisme (Wolff, 1968). Immanuel Kant menguji rasional manusia dengan memperhatikan batas-batasnya hingga suatu kebenaran dan pengetahuan itu didapat dengan cara yang benar baik itu secara rasio dan empiris.
Dengan filsafatnya itu Immanuel Kant mendobrak dogma yang ada dengan terobosan sintesa nya dalam mencari kebenaran yang mendamaikan antara epistemologi rasio dan empiris. Masa Aufklrung dijabarkan oleh Immanuel Kant dalam tulisannya Was ist Aufklrung? (1784) yang memaknai Aufklrung adalah kesadaran manusia dari kesalahannya yang tidak menggunakan kekuatan akal budi rasio dengan merdeka tanpa ada rasa tekanan dari orang lainnya. Beberapa karya tulisan yang dibuat oleh Kant berisi kritik yang mendorong terciptanya kemajuan ilmu pengetahuan dan keberanian untuk tidak takut berpikir sendiri, adagiumnya yang terkenal Sapere aude! menjadi semangat perubahan masa Aufklrung. Selain Immanuel Kant, pada abad pencerahan Aufklrung ini muncul juga filsuf yang terkenal membangun revolusi pencarian kebenaran dengan kekuatan akal budi rasio di Perancis bernama Rene Descartes.
Rene Descartes dan Optimisme Kekuatan Rasio Manusia dalam Menemukan Kebenaran
Rene Descartes memulai kebangkitan kekuatan akal budi rasio dari pandangannya mengenai manusia sebagai pencipta dunianya sendiri atau yang dikenal sebagai faber mundi, manusia dilihat sebagai pusat pembentukan subjektivitas (Hamersma, 1981, 57). Ketika itu Rene Descartes melihat ketidakpuasannya pada metode empiris sebagai epistemologi ilmu pengetahuan karena observasi berdasarkan kekuatan indra bisa menipu. Ia menginginkan metode lain dalam mencari sebuah kebenaran atau ilmu.
Hingga pada akhirnya ia menemukan sebuah metode dari perenungannya dan kesangsiannya pada segala sesuatu. Descartes melihat bahwa ketika kita ingin mencari kebenaran dari sesuatu maka kita harus sangsi terlebih dahulu pada sesuatu itu. Kesangsiannya terhadap segala sesuatu ini membawa Rene Descartes ke dalam tradisi rasionalisme yaitu tradisi yang mempercayai bahwa satu-satunya metode dalam mencari kebenaran adalah dengan menggunakan akal budi rasio manusia. Metode rasio yang dikonsepkan oleh Rene Descartes inilah yang nantinya akan berkembang sebagai epistemologi ilmu pengetahuan yang nantinya dalam beberapa kesempatan akan bergandengan dengan paradigma positivis. Rasionalisme yang diwariskan oleh tokoh-tokoh Aufklarung seperti Immanuel Kant dan Rene Descartes ini masih tetap dipakai oleh manusia modern dalam mencari kebenaran.
Teori Kritik Frankfurt dan Kaitannya dengan Dilema Rasio Manusia Modern
Teori ini dikembangkan dari tradisi sekolah Frankfurt yang mencoba kritik dekonstruksi teori yang telah ada dengan tujuan merekonstruksi kembali menjadi teori baru yang dihasilkan dari cara-cara kritis. Tradisi ini melahirkan tokoh-tokoh seperti Max Hokheinhemer, Theodor Adorno, Herbert Marcuse, Jurgen Habermas, dan lain-lain yang mewarnai mazhab kritis ini. Salah satu hal yang menarik untuk diulas dalam tradisi ini adalah kritik dari Max Horkheimer dan Theodor Adorno terhadap penggunaan rasio instrumental oleh manusia modern. Max Horkheimer dan Theodor Adorno (dalam Kurniawati et all, 2021) menerbitkan karyanya ke dalam buku Dialectic of Enlightenment sebagai kritiknya terhadap manusia modern serta ironi rasionalitas yang dulu dipercaya sebagai metode mencari kebenaran ternyata malah menimbulkan bentuk bentuk penindasan. Keduanya juga membahas kegagalan tradisi rasionalisme untuk lepas dari mitos dan ironisnya mereka membuat mitos baru dari adanya rasionalisme. Sejak zaman filsafat Yunani Kuno hingga mencapai titik manusia modern seperti sekarang rasionalisme tidak mampu untuk melepaskan diri dari mitos (Horkheimer & Adorno, 2002) Â Usaha rasional yang dibangun sejak masa Aufklarung adalah mitos yang irasional sebab pada pengamatan Horkheimer dan Adorno manusia rasional tidak bisa mengenali dirinya secara otonom.
Manusia sebagai subjek tertinggi dan diklaim oleh Rene Descartes sebagai faber mundi yang menciptakan dunianya sendiri melalui rasio akal budi manusia yang menguasai alam ternyata terbalik. Selama ini rasio manusia modern yang diklaim sebagai penghancur mitos dan menjadikan manusia memiliki otonom dalam berpikir ternyata tunduk pada kuasa alam sehingga manusia hanyalah objek dari alam itu sendiri (Bertens,2014). Rasionalisme yang melahirkan teori tradisionalis berupaya mempertahankan keadaan yang ada hingga membuat mitos baru bahwa ilmu pengetahuan adalah satu-satunya cara untuk mengembangkan peradaban yang mana ini mengabaikan sisi historis dan bersifat ahistoris. Adanya pemisahan antara yang praksis dengan teori bebas nilai yang didawamkan teori tradisionalis juga melestarikan masyarakat yang irrasional. Manusia modern terkungkung dalam sistem ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan ciptaan dari manusia sendiri. Manusia modern tidak benar-benar bebas dalam menggunakan rasionya karena ada distorsi dari rasio instrumental sehingga manusia kehilangan daya nalar kritisnya. Usaha emansipatoris nyatanya belum terwujud sepenuhnya akibat rasio yang hanya dijadikan instrumen dalam mempertahankan kondisi yang ada. Maka dari itu Max Horkheimer dan Theodor Adorno ingin mendekonstruksi kembali teori yang telah ada agar berguna secara praksis dan membangun usaha usaha emansipatoris.
Melalui paradigma teori kritis dalam memandang manusia modern setidaknya meninggalkan suatu pertanyaan penting yang membuat kita berpikir kembali apakah upaya pencarian kebenaran absolut melalui kekuatan akal budi rasio sebagaimana yang dibayangkan Rene Descartes dapat terwujud di era manusia modern yang secara tidak sadar terkekang oleh objek buatannya sendiri yaitu ilmu pengetahuan dan teknologi? Bagaimana kita dapat menemukan kebenaran bila rasio kita telah dikonstruksi sebagai instrumen mempertahankan sistem yang ada? Apa kita telah benar-benar mendapatkan pencerahan setelah lepas dari mitos dan malah membentuk mitos baru?