Mohon tunggu...
Irfan Fadila
Irfan Fadila Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mencoba menjadi pewaris peradaban

Mahasiswa Ilmu Politik yang gaterlalu politik. Menyukai sepak bola, musik rock, dan pantai

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perbedaan Pola Komunikasi Politik Berdasarkan Segmentasi Konstituen

23 Desember 2022   23:38 Diperbarui: 24 Desember 2022   00:33 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Bila kita kaitkan pada konteks parlemen di Indonesia untuk melihat model hubungan antara wakil dan terwakil rasanya cukup sulit bila digeneralisir secara keseluruhan. Terkadang kita menemui dewan yang menggunakan pola delegate tetapi pada satu titik kita dapat menemukan langkah yang diambil oleh wakil ini lebih cenderung mengadopsi pola partisan yang memprioritaskan pragmatisme partai serta kepentingan oligarki.  Pola delegate bisa kita lihat ketika memasuki masa reses, interaksi antara wakil dan konstituen begitu intim bahkan terasa tak ada jarak. 

Melansir website DPR.go,id masa reses adalah “Masa dimana para Anggota legislatif bekerja di luar gedung DPR dan DPRD, menjumpai langsung konstituennya di daerah pemilihannya (Dapil) masing-masing.” (DPR, 2022) pada kegiatan ini anggota dewan memiliki kewajiban untuk bertemu dan mendengarkan aspirasi yang diajukan konstituen. 

Akan tetapi, tak sedikit perumusan kebijakan yang menjadi output malah berlainan dengan apa yang menjadi keinginan rakyat. Disahkannya UU Ciptaker menjadi salah satu output yang berujung menjadi kekecewaan konstituen kalangan buruh, KSPI sebagai serikat yang menaungi kalangan buruh merasa dirugikan dari adanya kebijakan penghapusan UMK dalam UU Ciptaker. Maka dari itu rasanya cukup sulit untuk menerka-nerka secara singkat pola apa yang digunakan para wakil dalam interaksi hubungannya dengan konstituen. 

Ada alternatif lain untuk melihat bagaimana hubungan wakil dan terwakil ini dalam implementasi demokrasi representatif salah satunya yaitu dengan melihat bagaimana komunikasi politik antara wakil dan terwakil ini. Apakah pola komunikasi politik yang digunakan si wakil mampu menjangkau berbagai segmen di daerah konstituennya ataukah si wakil memiliki cara yang berbeda dalam komunikasinya berdasarkan segmentasi yang ada. 

Merujuk pada Almond dan Powell komunikasi politik adalah komunikasi yang menjadi sarana fungsi politik untuk kepentingan sosialisasi, artikulasi, agregasi, dan rekrutmen dalam sistem politik sebagai kondisi awal berjalannya aspek politik lainnya (Almond & Powell, 1978).  Peran komunikasi politik ini pula menjadi salah satu aspek dari partai politik untuk penggabungan kepentingan yang nantinya diperjuangkan sebagai output dalam perumusan kepentingan (Budiardjo, 2003). Dari kedua pandangan tersebut bisa kita tarik bahwa komunikasi politik ini merupakan sarana baik itu sosialisasi dan menjaring aspirasi politik yang nantinya akan menjadi prakondisi berjalannya fungsi politik lain. 

Pada tulisan kali ini saya mencoba menganalisis pola komunikasi salah satu anggota DPRD dapil 3 Kabupaten Bandung Barat terhadap segmentasi anak muda dan orang tua. Untuk menjaga anonimitas anggota dewan yang saya amati, saya menyamarkan identitas beliau dengan nama samaran Boy. Analisis komunikasi politik ini menggunakan konsep komunikasi Harold D Lasswell (1948) "Who?", "Says What?", "In What Channel?", "To Whom?", and "With What Effect?" (Lasswell, 1948) dengan tujuan mengetahui pola pesan politik apa yang disampaikan dan pada siapa serta media apa yang digunakan oleh Boy dalam interaksi hubungan terhadap konstituennya di dapil 3 Kabupaten Bandung Barat.

 Metode pengambilan data yang digunakan menggunakan studi literatur dan tinjauan postingan sosial media dari anggota dewan tersebut untuk mempermudah ruang serta fleksibilitas waktu dalam pencarian data, pada tulisan selanjutnya penulis akan mencoba mencari data primer dengan wawancara langsung pada anggota dewan terkait untuk data yang lebih empirik dan pembahasan yang komprehensif. 

Kembali pada konsep yang dijabarkan Harold D Lasswell, pola komunikasi politik yang diimplementasikan Boy ini memperhatikan konteks "Says What?", "In What Channel?", "To Whom?" baik dalam unggahan sosial media maupun media lainnya. Salah satu contohnya adalah branding yang dibangun Boy melalui instagramnya lebih efektif menyasar pada kalangan konstituen muda, unsur-unsur entertain yang sedang tren tidak luput dijadikan media penyampai pesan politik program kerjanya. 

Pola tersebut dapat dibilang sebagai cara yang tepat dalam mensosialisasikan program kerjanya sebagai komisi 1 DPR yang menaungi aspek kekayaan daerah untuk menjadikan media sosial sebagai medium promosi daerahnya. Lalu bila kita cermati pola komunikasi politik melalui media sosial Instagram yang dipakai boy ini tidak lepas dari kecenderungan anggota dewan milenial yang ingin memiliki kesan yang luwes dan asik sehingga lebih mudah mendapatkan perhatian dari konstituen sebayanya. 

Dalam pesan yang disampaikan kebanyakan untuk mempromosikan tempat wisata yang ada di daerah yang menjadi dapil dari Boy, hal ini tentunya akan efektif bila disampaikan pada anak muda yang memiliki waktu luang untuk berekreasi di tempat yang dipromosikan Boy dan pemilihan Instagram sebagai media penyampaian pesan tersebut sudah sangat tepat mengingat pengguna media sosial Instagram di kalangan anak muda sangatlah tinggi. Selain mempromosikan program kerjanya di komisi 1 yang menaungi kekayaan daerah lewat unggahan media sosial Instagram, Boy juga rutin menyampaikan pesan politiknya mengenai sosialisasi politik melalui podcast. 

Dalam beberapa kali kesempatan Boy diundang menjadi narasumber siaran podcast untuk membicarakan ekonomi kreatif, dunia politik di parlemen, dan komunikasi politik, hal ini menunjukan bahwa dirinya memiliki kapabilitas yang cakap di bidang politik dan ekonomi. Media podcast ini memang cocok untuk menjadi alat komunikator penyampaian pesan sosialisasi politik untuk generasi milenial usia antara 17-35 penggunaan podcast sebagai gebrakan komunikasi politik ini setidaknya mampu menjangkau segmentasi orang awam dan orang yang memiliki ketertarikan pada pesan yang disampaikan oleh Boy. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun