Mohon tunggu...
Irfandy Dharmawan
Irfandy Dharmawan Mohon Tunggu... Lainnya - Lawyer Tri Vittama Firm

Mengarungi Samudra Hukum, berlabuh di Dermaga Filsafat, dan Berlayar di Lautan Politik. Seorang Sarjana Hukum yang sedang menambahkan cerita di Perpustakaannya

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Runtuhnya Rezim Bashar al-Assad: Babak Baru Konflik Suriah

9 Desember 2024   07:32 Diperbarui: 9 Desember 2024   10:53 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah lebih dari satu dekade konflik, perang saudara di Suriah mencapai titik balik signifikan pada Desember 2024 dengan runtuhnya rezim Bashar al-Assad. Peristiwa ini menandai babak baru dalam sejarah Suriah dan memiliki dampak luas bagi stabilitas regional dan internasional.

Latar Belakang Konflik Suriah

Pada tahun 2011, di tengah gelombang Arab Spring yang mengguncang Timur Tengah, rakyat Suriah mulai menggelar demonstrasi damai. Mereka menuntut reformasi demokrasi, penghapusan korupsi, dan diakhirinya kekuasaan Bashar al-Assad, seorang presiden yang telah memimpin dengan sistem otoriter selama lebih dari satu dekade. Namun, alih-alih mendengar aspirasi rakyat, rezim Assad merespons dengan tangan besi. Pasukan keamanan Suriah menindak brutal para demonstran, menahan ratusan aktivis, dan menggunakan kekerasan untuk membungkam suara perlawanan.

Kekerasan yang dilakukan pemerintah menyulut kemarahan publik. Kelompok oposisi mulai terbentuk, dan bentrokan kecil antara demonstran dan aparat berubah menjadi konflik bersenjata. Pada akhir 2011, perang saudara secara resmi meletus, melibatkan berbagai pihak dengan kepentingan yang beragam:

  • Rezim Assad: Menggunakan segala cara, termasuk kekuatan militer dan bantuan sekutu seperti Rusia dan Iran, untuk mempertahankan kekuasaan.
  • Kelompok Oposisi: Berbagai faksi oposisi muncul, mulai dari kelompok moderat hingga ekstremis, termasuk Hayat Tahrir al-Sham (HTS), yang belakangan menjadi kekuatan utama dalam perlawanan.
  • Intervensi Asing: Konflik Suriah menarik perhatian dunia, dengan Amerika Serikat, Turki, dan negara-negara Teluk mendukung oposisi, sementara Rusia dan Iran mendukung Assad.

Titik Balik: Kekejaman dan Strategi Assad

Dalam upaya mempertahankan kendali, Assad dan sekutunya menggunakan taktik yang sangat kontroversial, termasuk pengepungan terhadap kota-kota yang dikuasai oposisi, serangan udara tanpa pandang bulu, dan penggunaan senjata kimia. PBB mencatat lebih dari 350.000 orang tewas, sementara jutaan lainnya kehilangan tempat tinggal akibat perang ini. Namun, berkat dukungan Rusia, terutama melalui serangan udara intensif, Assad berhasil merebut kembali sebagian besar wilayah Suriah pada tahun 2018.

Awal Kebangkitan Pemberontak pada 2024

Meski rezim Assad tampak kuat, ketidakpuasan rakyat terus membara. Pada awal 2024, kelompok pemberontak, khususnya HTS, memanfaatkan ketegangan di wilayah utara untuk melancarkan serangan besar. Wilayah seperti Idlib dan Aleppo, yang sebelumnya dianggap aman, jatuh ke tangan pemberontak, memicu gelombang baru kekacauan. Dalam waktu singkat, mereka berhasil mendekati Damaskus, membuat posisi Assad semakin terpojok.

Pada Desember 2024, rezim Bashar al-Assad yang telah berkuasa selama lebih dari lima dekade di Suriah mengalami kejatuhan dramatis akibat serangkaian serangan cepat oleh kelompok pemberontak. Berikut adalah kronologi detail peristiwa tersebut:

27 November 2024: Serangan Mendadak di Idlib dan Aleppo

Kelompok Hayat Tahrir al-Sham (HTS), yang sebelumnya dikenal sebagai Front al-Nusra dan memiliki afiliasi dengan al-Qaeda, melancarkan serangan mendadak dari basis mereka di Idlib. Mereka dengan cepat menguasai kota Aleppo, kota terbesar kedua di Suriah, dengan sedikit perlawanan dari pasukan pemerintah. Keberhasilan ini menandai pertama kalinya pasukan oposisi menguasai Aleppo sejak awal perang saudara.

1 Desember 2024: Kemajuan Menuju Hama

Setelah menguasai Aleppo, pasukan pemberontak bergerak ke selatan menuju kota Hama. Meskipun pasukan pemerintah mencoba melancarkan serangan balik dengan dukungan udara dari Rusia, mereka gagal menghentikan laju pemberontak. Pada 4 Desember, pemberontak berhasil menguasai Hama, memaksa pasukan pemerintah mundur lebih jauh ke selatan.

5 Desember 2024: Perebutan Homs

Setelah merebut Hama, pemberontak melanjutkan serangan mereka ke kota Homs, yang memiliki posisi strategis di jalur menuju ibu kota, Damaskus. Pada 5 Desember, Homs jatuh ke tangan pemberontak setelah pertempuran singkat, menandai hilangnya kendali pemerintah atas kota-kota utama di Suriah.

7 Desember 2024: Pengepungan Damaskus

Dengan jatuhnya Homs, jalan menuju Damaskus terbuka lebar bagi pasukan pemberontak. Pada 7 Desember, mereka mulai mengepung ibu kota, menyebabkan kepanikan di kalangan penduduk dan pejabat pemerintah. Laporan menunjukkan bahwa Presiden Bashar al-Assad meninggalkan Damaskus menuju lokasi yang tidak diketahui, yang kemudian dikonfirmasi sebagai Moskow, Rusia.

Pada pagi hari 8 Desember, pasukan pemberontak memasuki Damaskus dengan sedikit perlawanan. Mereka mengambil alih gedung-gedung pemerintah, termasuk istana presiden, dan mengumumkan berakhirnya rezim Assad melalui siaran di televisi nasional. Rakyat Suriah turun ke jalan merayakan kejatuhan rezim yang telah berkuasa selama lebih dari 50 tahun.

Kejatuhan rezim Assad dalam waktu singkat ini menunjukkan lemahnya pertahanan pemerintah dan ketidakpuasan yang meluas di kalangan rakyat Suriah. Dukungan yang berkurang dari sekutu tradisional seperti Rusia dan Iran juga berkontribusi pada runtuhnya rezim tersebut. Peristiwa ini menandai dimulainya babak baru dalam sejarah Suriah, dengan tantangan besar dalam membangun kembali negara dan mencapai stabilitas politik.

Dampak Runtuhnya Rezim Assad

Runtuhnya rezim Bashar al-Assad pada Desember 2024 membawa dampak signifikan, baik di tingkat regional maupun internasional. Berikut adalah beberapa konsekuensi dari peristiwa tersebut:

Dampak Regional

  1. Perubahan Aliansi dan Keseimbangan Kekuatan di Timur Tengah
  • Iran dan Hizbullah: Sebagai pendukung utama Assad, Iran dan kelompok Hizbullah di Lebanon menghadapi tantangan baru. Kehilangan sekutu strategis di Suriah dapat melemahkan posisi Iran dalam konflik regional dan mengurangi pengaruhnya di Timur Tengah. Hizbullah, yang bergantung pada jalur pasokan melalui Suriah, mungkin mengalami kesulitan logistik dan penurunan moral.
  • Israel: Dengan jatuhnya Assad, Israel menghadapi ketidakpastian baru di perbatasan utaranya. Meskipun musuh lama telah tumbang, munculnya kelompok-kelompok baru yang mungkin lebih radikal dapat menimbulkan ancaman keamanan baru bagi Israel.
  1. Krisis Pengungsi dan Stabilitas Negara Tetangga
  • Turki, Lebanon, dan Yordania: Negara-negara ini telah menampung jutaan pengungsi Suriah selama konflik. Dengan perubahan rezim, ada potensi gelombang pengungsi baru, baik yang kembali ke Suriah atau mencari suaka di tempat lain, yang dapat membebani sumber daya dan infrastruktur negara-negara tetangga.

Dampak Internasional

  1. Perubahan Strategi dan Kebijakan Luar Negeri
  • Amerika Serikat dan Sekutu Barat: Runtuhnya rezim Assad memberikan peluang bagi AS dan sekutunya untuk mendorong proses demokratisasi di Suriah. Namun, mereka juga harus berhati-hati terhadap potensi munculnya kelompok ekstremis yang dapat mengisi kekosongan kekuasaan.
  • Rusia: Sebagai pendukung utama Assad, Rusia menghadapi kerugian strategis dan diplomatik. Investasi militer dan politiknya di Suriah kini terancam, dan pengaruhnya di kawasan dapat menurun.
  1. Implikasi terhadap Hukum Internasional dan Hak Asasi Manusia
  • Pengadilan Kejahatan Perang: Dengan berakhirnya rezim Assad, ada dorongan internasional untuk membawa pelaku kejahatan perang ke pengadilan. Ini termasuk investigasi atas penggunaan senjata kimia dan pelanggaran hak asasi manusia selama konflik.
  • Bantuan Kemanusiaan: Perubahan rezim membuka peluang bagi peningkatan akses bantuan kemanusiaan ke wilayah-wilayah yang sebelumnya sulit dijangkau, memungkinkan komunitas internasional untuk lebih efektif dalam menyalurkan bantuan kepada mereka yang membutuhkan.

Babak Baru Konflik Suriah

Setelah runtuhnya rezim Bashar al-Assad pada Desember 2024, Suriah memasuki fase baru yang kompleks dan penuh tantangan. Berikut adalah potensi konflik baru serta harapan dan tantangan dalam mencapai perdamaian di negara tersebut:

Potensi Konflik Baru

  1. Persaingan Antar Kelompok Pemberontak
  • Dengan tumbangnya Assad, berbagai faksi pemberontak yang sebelumnya bersatu melawan rezim kini menghadapi tantangan dalam membentuk pemerintahan yang kohesif. Perbedaan ideologi, tujuan politik, dan basis dukungan dapat memicu perselisihan internal. Misalnya, kelompok Hayat Tahrir al-Sham (HTS), yang memainkan peran kunci dalam merebut Aleppo dan Damaskus, memiliki agenda Islamis yang mungkin tidak sejalan dengan faksi oposisi lain yang lebih sekuler. Ketegangan semacam ini berpotensi memicu konflik baru di antara mereka.
  1. Kebangkitan Kelompok Ekstremis
  • Kekosongan kekuasaan pasca-Assad dapat dimanfaatkan oleh kelompok ekstremis seperti ISIS untuk kembali menguat. Mereka mungkin melihat situasi ini sebagai peluang untuk merebut wilayah dan pengaruh, terutama di daerah-daerah yang kurang terkontrol oleh otoritas baru. Hal ini menimbulkan ancaman serius bagi stabilitas dan keamanan Suriah serta kawasan sekitarnya.

Harapan dan Tantangan untuk Perdamaian

  1. Proses Transisi Politik
  • Pembentukan pemerintahan transisi yang inklusif menjadi prioritas utama. Namun, mencapai konsensus di antara berbagai faksi oposisi dan kelompok etnis-religius di Suriah merupakan tantangan besar. Kegagalan dalam membangun struktur politik yang representatif dapat memperpanjang ketidakstabilan dan konflik internal.
  1. Peran Komunitas Internasional
  • Dukungan dari komunitas internasional, termasuk PBB, sangat penting dalam memfasilitasi dialog antar faksi dan menyediakan bantuan kemanusiaan. Namun, perbedaan kepentingan di antara negara-negara besar dapat menghambat upaya mediasi dan rekonstruksi. Misalnya, Rusia dan Iran, yang sebelumnya mendukung Assad, mungkin memiliki agenda berbeda dengan negara-negara Barat dalam proses transisi Suriah.
  1. Rekonstruksi dan Pemulihan Ekonomi
  • Perang yang berkepanjangan telah menghancurkan infrastruktur dan ekonomi Suriah. Rekonstruksi memerlukan dana besar dan kerjasama internasional. Namun, sanksi ekonomi yang masih berlaku dan ketidakpastian politik dapat menghambat investasi dan bantuan asing. Selain itu, memastikan distribusi bantuan yang adil ke seluruh wilayah Suriah menjadi tantangan tersendiri.
  1. Isu Pengungsi dan Pemulangan
  • Jutaan warga Suriah yang mengungsi ke luar negeri menghadapi ketidakpastian mengenai kepulangan mereka. Menciptakan kondisi yang aman dan layak bagi mereka untuk kembali merupakan tantangan besar, termasuk penyediaan perumahan, layanan kesehatan, dan pendidikan. Selain itu, proses reintegrasi sosial dan ekonomi para pengungsi memerlukan perhatian khusus untuk mencegah potensi konflik baru.

Babak baru pasca-kejatuhan Bashar al-Assad membuka peluang bagi perdamaian dan rekonstruksi Suriah. Namun, tantangan yang kompleks, mulai dari potensi konflik antar faksi hingga kebutuhan rekonstruksi ekonomi, memerlukan pendekatan terpadu dan dukungan berkelanjutan dari komunitas internasional. Hanya dengan demikian, Suriah dapat berharap untuk mencapai stabilitas dan kemakmuran di masa depan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun