Mohon tunggu...
Irfan Azis
Irfan Azis Mohon Tunggu... Dosen - Pecinta buku

Membaca dan menulis adalah hobi saya.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Tiba di Madinah

7 Juli 2024   16:13 Diperbarui: 7 Juli 2024   16:32 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wisata. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

 
Kami keluar dari lift lalu melewati lobi menuju teras hotel. Lalu kami belok kiri menyusuri teras depan hotel kemudian belok ke kiri lagi mengikuti teras samping hotel. Dari pojokan teras tersebut kemegahan masjid nabawi sudah langsung terpampang di hadapanku.
Lampu lampu yang indah menghiasi berbagai sudut  masjid nabawi dengan menaranya yang menjulang dan payung-payung pelindung di halamannya. Dinding tebal pagar keliling masjid dengan pintu gerbang terbuka memisahkan pelataran masjid dengan pelataran hotel. Aku foto gerbang tersebut  dan aku ingat ingat angka arab yang tertera di diddingnya, dua tiga delapan.


 Lalu lalang jamaah tampak semakin banyak di depanku. Selain dengan jamaah dari indonesia yang mudah aku kenali dari busana, wajah, dan juga tas paspor yang dipakainya, aku juga berpapasan dengan jamaah pria dan wanita yang tampaknya berasal dari India, Pakistan, Uzbekistan,  Iran juga malaysia. Maklumlah  negara negara tersebut adalah negera dengan penduduk muslim yang cukup  banyak. Jamaah dari negara negara lain juga mulai dapat aku lihat di sana sini.

 Sinar cahaya lampu yang terang di setiap sudut halaman masjid membuatku seperti berada di siang hari saja. Siraman air dari kipas-kipas penyemprot air yang aku lihat di tayangan youtube kali ini langsung mengenai kulitku. Lumayan menyejukan dan mengurangi hawa panas Madinah.   Aku juga sudah menyiapkan sebotol air semprot yang aku selipkan di ikat pinggang tas paspor.  

Tampak di depanku, lurus dengan  pintu gerbang 238 adalah pintu ruang utama masjid bernomor 25 yang dikhususkan untuk jamaah wanita. Pak Eka dan bu Tri, sepasang suami istri dari regu 3 yang berangkat bersama dari hotel, tampak berpisah di area ini. Ibu Tri  berjalan lurus menuju pintu 25 sedangkan pa Eka belok kanan menyusuri lantai pelataran masjid. Aku, Dzikri dan pak Ubaed mengekor di belakang pak Eka yang ternyata menuju ke pintu 21. Aku melepas sendal dan menaruhnya di loker yang tersedia di pintu masuk bernomor 21,  pintu terdekat untuk jamaah lelaki dari hotel kami.

"allohummaftahli abwaba rahmatik"
Begitu melewati pintu besar nan megah, terasa sekali perbedaan hawa yang kurasakan. Semakin melangkah ke depan semakin terasa adem saja hawa masjid nabawi. Jelas masjid ini dilengkapi AC yang memadai untuk memberi kenyamanan bagi ribuan atau bahkan jutaan jamaah di dalamnya.

Aku terus melangkah mengikuti teman teman jemaah lainya. Benar kata pak kyai, di Makkah dan Madinah para jemaah bergerak cepat dan tidak santai santaian. Kini aku lihat sendiri bagaimana mereka bergegas, buru-buru menuju masjid seolah takut ketinggalan kereta. Padahal waktu menunjukan jam setengah empat pagi, tetapi halaman masjid sudah ramai sekali.  

Masjid yang sudah dipenuhi jamaah itu pun sangat meriah dengan simponi khas  Di sana sini terdengar suara jemaah ngaji, tadarus, dan aktifitas zikir lainnya. Ada yang sedang shalat ada yang sedang berjalan keluar atau berpindah tempat. Dan ada pula yang baru datang, seperti aku dan kawan kawan.

Tampak di depanku ruangan luas dengan pernak pernik ornamen yang indah. Ada jalur khusus yang dapat dilalui jamaah yang berlalu lalang, dan ada pula area berkarpet untuk shalat yang sudah ditempati para jemaah melaksanakan itikaf dan ibadah lainnya.
Mungkin aku yang kurang piknik, atau memang masjid nabawi yang unik, aku dibuat takjub dan heran melihat pemandangan di luar dan di dalam masjid. Bayangkan, di masjid sebesar itu aku merasa kesulitan mencari space untuk dapat masuk shaf. Padahal waktu subuh masih kurang 30 menitan lebih.  

Kami bertiga terus berjalan ke depan melewati area berkarpet yang telah dipenuhi jemaah shalat subuh. semakin ke depan semakin ramai dan semakin sulit ditemui ruang kosong yang bisa memuat kami bertiga. Akhirnya aku biarkan  pa ubaed dan zikri yang terus berjalan ke depan. Aku sudah tak sabar untuk segera melakukan shalat tahiyatul masjid. jadi begitu aku melihat ada space untukku, aku segera masuk area shalat berkarpet dan melakukan shalat.
Usai shalat sunah aku ambil mushaf di rak terdekat dari posisiku lalu mulai mengawali tadarus AL Quran di tanah haram. aku bertekad untuk   mengkhatamkannya selama di tanah haramain ini.

Tepat saat jarum jam  di atas pintu 21 menunjuk pukul 04: 02  azan masjid nabawi yang banyak di copast muadzin indonesia itu mulai dikumandangkan. Tampak banyak jamaah yang merekam dan melakukan vidio call selama adzan berlangsung.
Shalat sunah fajar atau qabliyah subuh segera aku lakukan usai adzan. Dan aku bersyukur karena aku bisa shalat berjamaah pertama kalinya di masjid nabawi di waktu subuh atau di pergantian malam menjadi siang.


Aku jadi teringat mushola al iqdam di kampung kecilku yang ketika waktu subuh hanya diisi dua jamaah saja. Paling banter empat atau lima jamaah. Bahkan kadang-kadang tidak ada jamaah sama sekali. Hanya kang mufrod saja yang adzan, iqomah dan ngimami tanpa makmum.
"ya allah di tempat mulia ini aku berdoa kepadaMU. Jadikanlah masyarakat monggor gemar berjamaah lima waktu di mushola. Jadikanlah Al Iqdam sebagai tempat yang selalu dirindukan oleh semua warga monggor, baik yang di kampung maupun yang di perantauan.  Ya allah kabulkanlah doa dan harapanku ini. " Itulah doaku untuk Al Iqdam, mushola kecilku di Monggor.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun