Mohon tunggu...
Irra Fachriyanthi
Irra Fachriyanthi Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

Ibu 2 putra dan 1 putri yang tinggal di Doha Qatar bersama suami tercinta. Mantan jurnalis majalah remaja yang masih ingin terus menulis!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Asmara di Tengah Bencana Akankah Berhasil?

17 September 2016   23:39 Diperbarui: 18 September 2016   00:54 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menurut DR Sutopo, meskipun peta rawan bencana gempa sudah disusun para ahli dan dibagikan kepada seluruh Kementerian/Lembaga dan Pemda, namun belum ditaati penuh sebagai dasar penyusunan kebijakan pembangunan. 

Peranan Media dalam Bencana

Ketika masyarakat belum tanggap bencana, maka media memegang peranan penting, terutama dalam hal mengedukasi masyarakat.  Karena media itu mempunyai kekuatan mempengaruhi politik, mengubah perilaku, dan menyelamatkan nyawa manusia (UNISDR, 2011).

Dalam hal mengubah perilaku ini, BNPB lalu memaksimalkan  peranan media dalam berbagai bentuk:

  1. Media online; situs dan media sosial (Facebook, Twitter) BNPB.
  2. Media cetak; poster, leaflet, flyer, brosur, buku, tabloid, majalah, koran.
  3. Media penyiaran; radio dan televisi
  4. Media tatap muka; forum komunikasi, pertemuan, jumpa pers, media gathering, seminar, workshop, diskusi.
  5. Media luar ruang; baliho, banner, spanduk, umbul-umbul, videotron, TV plasma, pameran.
  6. Pertunjukan seni tradisional rakyat (wayang, reog Sunda, dll)

Tumbuh Bersama Brama Kumbara, Arya Kamandanu dan Sembara

Kembali pada upaya BNPB mengedukasi masyarakat soal bencana melalui sandiwara radio, saya jadi teringat kenangan indah masa kecil. Masih lekat dalam ingatan, tiap sore sebelum adzan Maghrib berkumandang, pasti saya sedang memeluk radio kesayangan uwak (nebeng dengerin) di teras rumahnya mendengarkan petualangan seru Brama Kumbara dan Mantili. Mama saya sudah teriak-teriak menyuruh mandi dan bersiap ke mushala, saya masih anteng membayangkan sosok gagah Kakang Brama. Malam harinya saya akan mendengarkan pertarungan seru Sembara dan Mak Lampir. Kali ini saya mendengarkan di radio milik tetangga yang dinyalakan dengan volume tinggi. Maka jeritan dan tawa seram Mak Lampir pun menggema jadi mimpi buruk warga satu RT :) Lain jam saya akan nongkrong di rumah kakek-nenek sambil gregetan dengan kisah cinta Arya Kamandanu dan Meisin. 

Begitulah, masa kecil dan remaja saya ditemani para tokoh sandiwara radio. Mulai dari roman sejarah sampai drama modern seperti "Ibuku Sayang Ibuku Malang", hingga sandiwara lokal berbahasa Sunda seperti "Nini Kewuk" dan "Trinil". Maka jeritan, "Triniiil... kembalikan kepalaku!" jadi line paling hits zaman itu, hahaha... Saya pun sempat jadi fans beratnya Novia Kolopaking. 

Kenapa Harus Sandiwara Radio?

Sebagai media hiburan, informasi dan edukasi, radio memiliki beberapa keunggulan dibanding koran dan televisi. Dalam menyampaikan informasi kepada publik, radio lebih cepat dan langsung karena proses siarannya lebih sederhana (tidak rumit) seperti siaran TV atau media cetak. 

Radio pun terasa lebih akrab dan dekat/ hangat karena suara penyiar dapat langsung menyentuh aspek pribadi (interpersonal communication). Juga lebih fleksibel, kita bisa mendengarkan siaran radio sambil mengerjakan hal lain seperti mengemudi, memasak, belajar, membaca dan lainnya. 

Siaran radio pun bisa menembus batas geografi, demografis, suku, agama, golongan atau kelas sosial. Dan yang paling penting, perangkat radio lebih murah dibanding televisi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun