Ole-ole dari Tanah Rongga
*Tulisan ini merupakan Koreksi untuk artikel terdahulu dengan judul yang sama
Tarian Vera, merupakan salah satu kekahasan budaya Rongga, sebuah suku kecil yang berada di pesisir pantai selatan Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur. Tarian ini menjadi begitu unik di antara sejumlah tarian lainnya yang berasal dari suku-suku di daratan Flores. Disamping gerakannnya yang unik, tarian ini berisi sejumlah nyayian puitik bernada magis, sebagai bentuk refleksi hubungan antara manusia dan arwah leluhur atau yang sudah meninggal dunia. Namun keberadaannya kini mulai terdesak oleh berbagai pengaruh modernisasi sehingga banyak kalangan muda Rongga tidak lagi menguasi tarian ini dan mampu meng-create lyric-lyric yang berasal dari persentuhan pengalaman realnya ke dalam nyanyian Vera. Padahal di masa lalu tarian ini menjadi salah satu tarian favorit orang Rongga mengalahkan caci dan ndhundu ndhake, tarian dari khas budaya Manggarai.
Salah satu faktor yang menyebabkan kesenian Vera meredup adalah pengaruh kebudayaan danding dan caci yang mulai memasuki wilayah Rongga sejak penaklukkan Komba oleh kerajaan Todo, Manggari. Kehadiran pemerintahan kedaluan dan unsur-unsur pemerintahan pasca kedaluan semakin menenggelamkan warisan berharga itu dalam penghayatan masyarakat pendukung kebudayaan Rongga. Sementara tarian Vera hanya digelar secara aksidental, yakni pada saat Rongga pesta kematian (wela kamba) atau acara penguburan tetua adat dari kalangan suku terhormat yang memiliki gendang dan warisan pusaka nenek moyang.
Sementara syair-syair puitik yang terdapat didalamnya, berdaya mengungkap jejak sejarah setiap klan yang berada di wilayah Rongga serta mengandung unsur-unsur filosofis dan kritik sosial yang memberi arahan hidup bagi masayarakatnya. Bahkan dalam konteks religius, kekatolikan, terutama berkaitan dengan ritus peringatan sengsara dan wafat Krisitus, lagu-lagu vera bisa dimodifikasi dengan kisah sengsara dan wafat Yesus Kristus. Siapa yang menyangka, refleksi atas kehidupan yang terekspresi dalam berbagai nyanyian puitik Vera bisa menghantar mayoritas penduduk Rongga yang beragama Katolik larut dalam pengalaman meditatif permenungan tentang sengsara dan kebangkitan Tuhannya??
Tarian Vera terinspirasi dari pengalaman yang dipungut dari kehidupan masyarakat Rongga, pasangan Sawu dan Walu yang mengelami peri atas kehidupan. Kemiskinan, kemelarataran dan penderitaan begitu akrab dengan pasangan ini.Karena merasa terasing dari kehidupankeluarga dan rekan-rekan sekampung mereka terpaksa menyingkir dari kehidupan konvensional masyarakat Rongga dan memilih menetap di kawasan hutan rimba. Sehari-hari mereka menggantungkan hidupnya pada buah-buahan dan sejumlah jenis umbi-umbian yang berada di hutan. Pengalaman keterasingan dan komitment untuk mengubah hidup dimulai ketika mereka menjalin kembali interaksi dengan warga Rongga lainnya sebagai pedagang yang menjual hasi-hasil hutan kepada masayarat. Kehidupan mereka pun mulai berubah bahkan mencapai puncak kejayaannya. Perkawinan mereka pun dianugerahi seorang anak lelaki bernama Jawu.
Perjuangan untuk bangkit dan menata kembali kehidupan sebagai keluarga kecil di belantara, ternyata masih syarat dengan ujian bertubi. Puncaknya ketika bayi mereka yang baru berumur lima bulan hilang diculik embu ngiu (sejenis makhluk hutan berukuran tubuh pendek dan berpayudara panjang). Hal itu dialami ketika pasangan ini asyik menyiram pesa (tuba) aliran air sungai demi menjaring ikan, udang dan kepiting yang memenuhi sungai di kawasan tanah Rongga kala itu.
Keasyikan mengais rejeki, membuat mereka lupa pulang ke rumah. Sementara anjing peliharaan mereka Noa Talo yang ikut bersama mereka memberi isyarat akan terjadinya sesuatu. Firasat sempat muncul kala Noa Talo melolong tak henti. Namun isyarat itu terlambat ditangkap pasangan Sawu dan Walu. Mereka malah asyik memungut ikan, udang, kepiting, serta belut yang hanyut akibat racun tuba.
Saat mereka tiba di rumah, mereka menemukan sejumlah buah terung bertebaran di mana-mana. Jenis buah tanaman ini merupakan makanan sehari-hari embu ngiu. Kecurigaan mereka mulai terjawab ketika Jawu, putera semata wayang mereka raib dari pembaringannya. Sementara di tempat Jawu dibaringkan tergolek sesosok bayi berbulu lebat dan hitam legam, yang dicurigai sebagai Embu Ngiu. Inilah episode tragis yang menandai prosesi duka berkepanjangan dalam kehidupan pasangan ini. Sang anjing kesayangan, yang dikenal sebagai binatang yang paling ditakuti Embu Ngiu juga turut berduka. Bersama tuannya mereka menyusuri hutan belantara mencari Jawu. Namun, apa daya usaha mereka sia-sia belaka.
Sekitar lima tahun terbenam dalam prosesi duka yang nyaris tak bertepi, pada suatu malam pasangan suami-isteri ini bermimpi mendapatkan anak semata wayang mereka. Anehnya mimpi keduanya terjadi pada waktu bersamaan. Dalam mimpi tersebut mereka dituntun Embu Ngiu dalam bentuk gerakan yang menyerupai tarian Vera seakarang menemukan anak mereka. Jelang subuh keduanya terjaga dan menceritakan mimpinya masing-masing. Secara kebetulan mimpi tersebut isinya sama.
Sementara Noa Talo, sang anjing kesayangan, melolong tanpa henti di luar rumah. Pasangan ini menyiapkan peralatan tajam untuk menghadapi kemungkinan serangan musuh. Ternyata saat berada di luar rumah, sang anjing sedang berada di samping sosok mayat, yang tidak lain adalah Jawu, anak mereka yang hilang. Tangis pun pecah dan menandai duka dalam keluarga ini. Kata-kata dalam bentuk tangisan itulah yang melahirkan syair Vera, yakni sebuah lamentasi atas kepergian Jawu anak mereka. Sementara gerakan yang menyerupai tarian yang diperoleh melalui mimpi yang diterima Sawu dan Walu itulah yang menjadi gerakan tarian Vera sekarang.