Mohon tunggu...
Irenius Lagung
Irenius Lagung Mohon Tunggu... -

Sedang berusaha menemukan merek dan rumah kepenulisan. Coretan2ku belum sempurna, tetapi kompasiana akan lebih asyik membantu peziarah baru menemukan istana sesungguhnya, ya rumah kepenulisan dan merek-nya. Kata orang, Every Writer has an Address. Semoga aku terus MENJADI!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tarian Vera: Lamentasi Ala Suku Rongga

24 September 2010   16:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:59 456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peserta perempuan berdiri berjejer sambil menyilang tangannya kiri dan kanan memegang tangan peserta lain. Sesekali mereka berlati ke arah kanan mengelilingi lokasi. Sementara kaum lelaki berada di belakang peserta perempuan. Di depan ada seorang lelaki yang memimpin jalannya tarian, yang dikenal dengan sebutan Noa Lako.

Tarian ini diawali dengan nyanyian berupa syair yang menceritakan silsilah nenek moyang dan asal usulnya. Setiap suku memiliki syair pembuka yang berbeda-beda sesuai dengan tata urutan nama nenek Moyangnya masing-masing. Suku Motu, misalnya, memiliki syair pembukaan sbb:

Weka Ture Ndhili Mai Tu Monggo Sari Kondo Weka Welu Jawa Ture Saka tolo longgo ngembu Tei Motu Tanah Medzdhe

Weka dan Ture dari seberang sana Datang dan menetap di Sari Kondo Weka meninggalkan Ture di Jawa Ture menunggangi punggung Lumba-lumba Menemukan tanah nan luas bagi suku Motu (terjemahan bebas)

Selanjutnya nama-nama nenek moyang generasi berikutnya hingga orang yang meninggal dan dipestakan disebut satu per satu dalam sebuah nyanyian putik secara silih berganti oleh perempuan dan laki-laki.

Hingga saat ini belum ada upaya untuk mementaskan Vera secara luas di luar acara peringatan kematian atau pesta kematian. Akibatnya banyak generasi muda yang tak menguasai tarian ini serta nyanyian puitiknya.

Upaya untuk melestarikan tarian ini sempat dilakukan Pastor Paroki Kisol, Eduardus Jebarus (1994) dengan memasukkannya ke dalam ritus liturgi Juma't Agung. Silsilah Yesus disebutkan satu per satu lalu diikuti dengan ' tangi jo"  atau ratapan. Upaya inkulturatif itu membuat semua pemeluk Katolik Rongga merinding saat merayakan Ibadah Jalan Salib Jumat Agung.

Sayang, setelah Pastor Edu pindah, tak satu pun pastor pengganti yang berusaha menghidupi Vera dalam ritus Jumat Agung. Padahal tarian keramat ini bisa menjadi medium pewartaan iman Katolik yang tepat bagi orang Rongga!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun