Mohon tunggu...
Irenius Lagung
Irenius Lagung Mohon Tunggu... -

Sedang berusaha menemukan merek dan rumah kepenulisan. Coretan2ku belum sempurna, tetapi kompasiana akan lebih asyik membantu peziarah baru menemukan istana sesungguhnya, ya rumah kepenulisan dan merek-nya. Kata orang, Every Writer has an Address. Semoga aku terus MENJADI!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tarian Vera: Lamentasi Ala Suku Rongga

24 September 2010   16:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:59 456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tarian Vera, salah satu kekhasan budaya Rongga, Manggarai Timur. Tarian ini, konon, bermula dari ratapan pasangan suami isteri yang kehilangan anak semata wayangnya karena dicuri sejenis manusia hutan atau dalam bahasa Rongga disebut Embu Ngiu (sosok penghuni hutan berukuran tubuh pendek dan memiliki payudara yang sangat panjang).

Ceritanya bermula saat pasangan suami isteri ini sedang berada di kali mencari ikan dan udang. Nah, di saat kondisi rumah sepi, diam-diam si Embu Nggiu mencuri anak pasangan ini dengan cara menukarkan bayinya dengan bayi manusia.

Saat pasangan suami-isteri asyik mencari ikan dan udang, anjing peliharaan mereka terus melolong. Karena curiga mereka pun kembali ke rumah. Namun, saat tiba di rumah, mereka tak menemukan anak kesayangan mereka di pembaringan. Yang ada di pembaringan adalah anak Embu Ngiu. Mereka terkejut dan memutuskan untuk mencari si anak kesayangan yang hilang dibawa-pergi si Embu Ngiu.

Setelah sekian lama mencari, pasangan ini memutuskan untuk berisitirahat di rumah dan meletakkan anak Embu Ngiu di atas tenda luar ruamh. Sementara anjing peliharaan mereka terus mencari keluar masuk hutan. Tanpa diduga, pada tengah malam, saat anjing peliharaan sedang mencari anak tuannya, diam-diam si Embu Ngiu datang membawa pulang si anak manusia lalu menukar kembali dengan anaknya.

Malang bagi pasangan suami isteri ini, keesokan hari, setelah bangun pagi, mereka menemukan anak semata wayang mereka  sudah tak bernyawa, dibaringkan di atas tenda yang sama, tempat anak Embu Ngiu ditempatkan. Sontak saja mereka meratapi nasib anaknya itu. Berhari-hari mereka meratapi kepergian anak semata wayang mereka.

Ratapan pasangan ini membuat anjing peliharaan mereka kasihan. Si anjing pun turut meratap dalam bentuk lolongan yang terdengar sayup dari kejauhan. Duka dan tangisan yang berkepanjangan ini kemudian  menjelma menjadi cerita cikal bakal tarian Vera atau Pera, yang berarti menujukkan atau pertunjukan.

Tarian ini biasanya dibawakan untuk memperingati arwah orang yang sudah meninggal. Namun, tidak semua orang meninggal yang dipestakan diperingati dengan tarian ini. Vera hanya berlaku bagi orang terhormat atau tetua adat yang berasal dari suku tertentu dan rumah adat tertentu atau Sao Vera.

Lazimnya Vera berlangsung selama satu bulan atau tujuh malam berturut-turut sebelum acara puncak pesta digelar.  Tarian ini berjalan diawali dengan upacara dalam rumah adat sebagai ritus pembukanya. Pada puncak pesta, tarian ini dibawakan sore hari sebelum ritus penyembelihan kerbau (Wela Kamba).

Pesertanya adalah kaum lelaki dan perempuan dalam suku yang menggelar hajatan. Setelah sembilan kali berputar mengelilingi kerbau, barulah tarian ini diakhiri dengan acara buang tikar (Poke Te'e). Selanjutnya pihak ana fai ( Kerabat perempuan dari suku ybs) melakukan ritual pemotongan babi (Wela Wawi) yang kemudian berlanjut dengan ritual  pemotongan kerbau (Wela Kamba) oleh pihak Ana Haki kerabat lelaki dari keluarga pemilk hajatan.

Penyembelihan kerbau hanya dilakukan sekali ayunan parang atau tombak. Biasanya dengan satu ayunan saja kerbau maupun babi yang disembelih akan mati. Hal ini terjadi jika yang melakukannya adalah pihak yang memiliki ikatan darah langsung (Ana Haki dan Ana Fai) dari keluarga yang menggelar hajatan. Bila yang menyembelihkan bukan orang yang tepat berdaraskan pertalia darah, maka babi dan kerbau yang disembelih sulit disembelih dan dan biasanya akan dikuti bencana bagi si pelaku hingga meninggal dunia.

Ada dua jenis Vera, Vera Hai Melo dan Vera Sarujawa. Dari keduanya yang paling populer adalah Vera Sarujawa. Vera ini dibawakan pada saat peringatan atau pesta kematian tetua adat atau pemimpin suku.

Jalannya Tarian Vera

Peserta perempuan berdiri berjejer sambil menyilang tangannya kiri dan kanan memegang tangan peserta lain. Sesekali mereka berlati ke arah kanan mengelilingi lokasi. Sementara kaum lelaki berada di belakang peserta perempuan. Di depan ada seorang lelaki yang memimpin jalannya tarian, yang dikenal dengan sebutan Noa Lako.

Tarian ini diawali dengan nyanyian berupa syair yang menceritakan silsilah nenek moyang dan asal usulnya. Setiap suku memiliki syair pembuka yang berbeda-beda sesuai dengan tata urutan nama nenek Moyangnya masing-masing. Suku Motu, misalnya, memiliki syair pembukaan sbb:

Weka Ture Ndhili Mai Tu Monggo Sari Kondo Weka Welu Jawa Ture Saka tolo longgo ngembu Tei Motu Tanah Medzdhe

Weka dan Ture dari seberang sana Datang dan menetap di Sari Kondo Weka meninggalkan Ture di Jawa Ture menunggangi punggung Lumba-lumba Menemukan tanah nan luas bagi suku Motu (terjemahan bebas)

Selanjutnya nama-nama nenek moyang generasi berikutnya hingga orang yang meninggal dan dipestakan disebut satu per satu dalam sebuah nyanyian putik secara silih berganti oleh perempuan dan laki-laki.

Hingga saat ini belum ada upaya untuk mementaskan Vera secara luas di luar acara peringatan kematian atau pesta kematian. Akibatnya banyak generasi muda yang tak menguasai tarian ini serta nyanyian puitiknya.

Upaya untuk melestarikan tarian ini sempat dilakukan Pastor Paroki Kisol, Eduardus Jebarus (1994) dengan memasukkannya ke dalam ritus liturgi Juma't Agung. Silsilah Yesus disebutkan satu per satu lalu diikuti dengan ' tangi jo"  atau ratapan. Upaya inkulturatif itu membuat semua pemeluk Katolik Rongga merinding saat merayakan Ibadah Jalan Salib Jumat Agung.

Sayang, setelah Pastor Edu pindah, tak satu pun pastor pengganti yang berusaha menghidupi Vera dalam ritus Jumat Agung. Padahal tarian keramat ini bisa menjadi medium pewartaan iman Katolik yang tepat bagi orang Rongga!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun