Pada hari Selasa (22/10/2024) yang lalu, BEM FISIP Unair melalui Kementerian Politik dan Kajian Strategis memberikan ucapan selamat kepada Presiden Prabowo dan Wapres Gibran berbentuk karangan bunga di Taman Barat FISIP Unair. Karangan bunga itu bertuliskan "Selamat atas dilantiknya Jenderal bengis pelanggar HAM dan Profesor IPK 2,3, sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia yang lahir dari rahim haram konstitusi, Jenderal TNI Prabowo Subianto Djojohadikusumo (Ketua Tim Mawar) - Gibran Rakabuming Raka (Admin Fufufafa. Dari: Mulyono (Bajingan Penghancur Demokrasi)". Karangan bunga satire itu lalu ramai diperbincangkan di media sosial dengan dan menjadi perdebatan kontroversial di kalangan mahasiswa dan masyarakat.
Batas Satire dan Ujaran Kebencian yang Semakin Menipis
Dalam konteks dunia politik, karya satire sering digunakan sebagai alat untuk menyampaikan kritik dengan cara yang kreatif, mengandung humor, atau sindiran tajam. Satire, dalam hal ini, menjadi sarana yang sah untuk menanggapi kebijakan atau keputusan yang dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai tertentu. Namun, saat ini ada pertanyaan besar mengenai apakah batas antara satire dan ujaran kebencian semakin kabur. Kritik yang dulu dianggap sebagai bentuk kebebasan berekspresi kini bisa dengan mudah dianggap sebagai serangan pribadi yang berpotensi menimbulkan kebencian atau perpecahan.
BEM FISIP Unair, sebagai lembaga yang memiliki peran penting dalam menyuarakan aspirasi mahasiswa, seharusnya memiliki pemahaman yang matang mengenai penggunaan kata-kata dan ungkapan yang mereka pilih. Pemilihan diksi yang tepat menjadi penting, karena meskipun maksud awalnya adalah untuk menyampaikan kritik terhadap kebijakan atau sosok politik tertentu, kata-kata yang digunakan bisa menjadi sangat sensitif. Dalam hal ini, apakah tulisan yang tertera dalam papan karangan bunga tersebut masih bisa dikategorikan sebagai kritik yang membangun atau justru telah melampaui batas hingga berubah menjadi penghinaan atau ujaran kebencian yang tidak perlu?
Benarkah Ada Pengaruh dari Oknum Tertentu?
Selain itu, muncul pula spekulasi mengenai kemungkinan adanya pengaruh dari pihak eksternal dalam tindakan yang diambil oleh BEM FISIP Unair. Beberapa informasi yang beredar di media sosial menyebutkan bahwa beberapa pengurus dan fungsionaris BEM FISIP Unair memiliki afiliasi dengan organisasi eksternal kampus, yang dalam beberapa kasus memang memiliki agenda politik atau sosial tertentu. Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah aksi tersebut murni berasal dari aspirasi mahasiswa yang merasa resah dengan kondisi politik yang sedang berkembang, ataukah ada pihak lain yang memiliki kepentingan politik yang turut mempengaruhi langkah tersebut?
Lebih jauh lagi, apakah kritik yang disampaikan oleh BEM FISIP Unair itu merupakan bagian dari solidaritas terhadap gerakan politik tertentu atau sekadar respons terhadap situasi yang mereka anggap tidak memadai? Spekulasi ini tentu saja memperburuk citra aksi tersebut, karena publik akan lebih cenderung mencurigai adanya campur tangan pihak luar dalam menentukan arah kritik yang disampaikan.
Etika dan Nilai Moral dalam Beraspirasi
Dalam dunia demokrasi, mahasiswa memiliki peran yang sangat vital untuk mengawasi jalannya pemerintahan dan menyuarakan ketidakpuasan mereka. Namun, peran ini harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab, dengan memperhatikan etika dan nilai moral yang ada. Kritik yang disampaikan tidak boleh mengarah pada penghinaan atau ujaran kebencian, meskipun itu bertujuan untuk menantang kebijakan yang tidak disukai. Sebagai calon pemimpin masa depan, mahasiswa harus mampu menunjukkan kedewasaan dalam menyampaikan aspirasi mereka, membuka ruang diskusi yang sehat, dan memperlihatkan contoh yang baik dalam mengkritik pemerintah atau kebijakan yang dianggap salah.
Dengan menggunakan cara yang lebih bijaksana dan bertanggung jawab dalam berpendapat, mahasiswa dapat menghindari potensi konflik yang merugikan banyak pihak, termasuk mereka yang menyampaikan kritik. Satire yang baik adalah satire yang dapat mengundang refleksi dan perenungan, bukan yang memicu emosi negatif atau permusuhan. Kritik yang sesungguhnya bertujuan untuk mendorong perubahan positif dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan isu-isu penting, bukan untuk menciptakan perpecahan.
Criticsm ≠Hate Speech
Kasus BEM FISIP Unair ini seharusnya menjadi bahan refleksi bagi kita semua tentang bagaimana seharusnya kritik disampaikan dalam ruang publik. Tindakan tersebut perlu dilihat dari dua sisi: pertama, sebagai hak mahasiswa untuk menyampaikan pendapat, namun juga harus dipertimbangkan apakah kritik tersebut sudah mengarah pada hal yang konstruktif atau justru berisiko menambah polarisasi yang tidak sehat di masyarakat. Kebebasan berpendapat adalah hak dasar dalam negara demokrasi, namun hak tersebut tidak bisa disalahgunakan untuk menyebarkan kebencian atau memicu permusuhan.
Mahasiswa, sebagai agen perubahan, memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa setiap kritik yang disampaikan tetap berada dalam batasan moral dan etika yang tinggi. Kritik yang kuat dan berani harus disertai dengan rasa tanggung jawab sosial, menghormati martabat manusia, serta bertujuan untuk memperbaiki keadaan, bukan untuk merendahkan atau menyakiti pihak lain. Sebagai generasi penerus bangsa, kita harus memastikan bahwa kebebasan berpendapat yang kita nikmati tidak disalahgunakan, tetapi digunakan untuk membangun dan mendorong perubahan menuju masa depan yang lebih baik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI