Ketika terbangun di kamar pulih, saya merasa masih tersenyum dan sambil nyanyi, "I Love You Because You Understand Dear..." Perawat  mengomentari senyum saya, "Ibu happy ya...dari tadi senyum-senyum terus." Masih setengah sadar akibat anastesi, rasanya saya bercerita padanya mengenai teori senyum dan napas 6-6.
Keesokan harinya, pasien yang sekamar berkata pada saya, "Kemarin pasien di sebelah bed saya di ruang pulih, senang nyanyi." Karena kami berdua masih dalam pengaruh obat bius, kami tidak saling kenal. Menurut anak saya, kami didorong keluar hampir bareng. Ibu itu duluan, tapi kami satu lift. "Jangan-jangan pasien di sebelah Ibu adalah saya?" tanya saya padanya. "Sepertinya bukan...," jawabnya. Ketika saya bercerita bahwa kemarin saya terbangun sambil bernyanyi dan dikomentari perawat karena tersenyum terus, Ibu tadi langsung berseru, "Wah, benar itu...berarti benar Ibu yang di sebelah saya. Saya dengar Ibu cerita teori senyum..."
Rasanya teori senyum tersebut sangat cespleng untuk saya.
Beberapa hari ke depan saya akan tindakan lagi. Sebelumnya harus minta rekomendasi ke beberapa orang dokter. Ada teman yang menanyakan kesan saya tentang dokter X. Saya jawab, "Baik, sangat ramah, dan berbicara hal-hal yang membuat akrab dan santai." Teman saya tidak percaya, "Ah masa? Apa dokternya nggak ketus? Bicaranya ga singkat saja?" Dia tidak percaya mendengar pengalaman saya, karena dia beberapa kali konsul, dokter X tidak seperti cerita saya.
Apakah teori senyum, yang saya praktekkan yang mengubah sikap dokter itu terhadap saya? Wah, tampaknya saya perlu selalu mengingat praktek senyum 72 jam dari dr. Santo. Terima kasih atas ilmunya, dok!
Mari sahabat-sahabatku, ayo kita tersenyum 72 jam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H