Kelak setelah saya dewasa, saya baru sadar bahwa ibu saya itu bertanam organik. Karena sampahnya itu setelah lapuk akan diambilnya untuk kemudian ditabur di pohon tomat, cabe, nanas dll.
Pada tahun tujuh puluhan ketika saya berkesempatan ke Singapura, di People's Park saya melihat penjual buah mengupas kulit buah nanas begitu tebal sampai langsung bersih dari mata-mata nanas yang berwarna coklat kehitaman.
Sayang banget nanasnya menjadi kecil. Saya nekat mau mengajarinya.
Tahu apa kata mereka? "Aunty no time", sambil tersenyum. Saya pun tersenyum, mungkin sedikit kecut. Oh rupanya mereka mengejar waktu.
 Waktu ponakan saya masih kecil, mungkin kelas 3 SD, dia berwisata ke Kebun Raya Bogor bersama teman-teman sekolahnya. Pulangnya dia membawa oleh-oleh berupa sebuah nanas. Katanya kepada mamanya,"Ma, ini saya petik buat mama, pohonnya ga tinggi, dengan sedikit berjinjit saya bisa menjangkaunya".Hahaha..., padahal nanasnya itu pasti dibelinya di tepi jalan di luar Kebun Raya yang banyak dijajakan.
Teringat teman saya itu, mungkin sebelumnya belum pernah melihat pohon nanas. Melihat pohonnya yang unik dengan buah yang menyembul di tengah, maka bertanyalah dia bibitnya dari mana?
Seperti halnya dengan pohon pisang, masih ada loh yang belum tahu bahwa pohon pisang hanya berbuah sekali.
Sayangnya sekarang saya tidak bisa lagi menanam pohon nanas dalam jumlah banyak, karena penjual buah kebanyakan sudah menggunduli mahkota nanas yang dijualnya.
Makanya pohon nanas ku sekarang cuma ada beberapa pohon saja. Â
Tetapi walau hanya satu pohon, saya tetap akan menanamnya, sebagai kenangan akan ibu saya.