Sahabat sahabat saya yang bertandang ke rumah kami, pasti tertarik dan mengagumi tanaman saya khususnya yang satu ini, yaitu pohon nanas. Kebetulan saat itu sedang berbuah. Mereka surprised banget, karena tidak lazim orang menanam pohon nanas di halaman rumahnya.
Mereka pada heran kok sempat-sempatnya saya menanam nanas.
Ada yang bertanya dapat bibitnya dari mana? Saya merasa sangat aneh dengan pertanyaan ini. Tetapi setelah saya pikir, tidak terlalu aneh juga.
Saya mengetahui cara mendapatkan bibit dan menanamnya sekalian dari ibu saya.
Waktu saya kecil dulu, ada teman relasi ayah yang sering membawakan kami buah nanas dalam jumlah yang sangat banyak. Satu karung!Â
Waktu itulah saya mulai berkenalan dengan buah nanas yang sangat manis. Bentuknya lebih kecil dari buah nanas yang biasa dibeli ibu kami di pasar. Kata ibu saya itu nanas Bogor.
Dalam bahasa Makassar, nanas disebut pandang. Jadi nanas Bogor dalam bahasa Makassar disebut Pandang Bogoro'.
Saat itulah saya mengamati ibu saya mengupas nanas. Rasanya asyik, seperti orang mengukir. Saya belum boleh membantu mengupasnya karena saya masih kecil dan kulit nanas itu tajam.
 Oh iya, sebelum mulai mengupas, ibu saya lebih dulu memotong mahkota buah nanas yang berupa daun-daun yang berduri. Saya membayangkannya seperti mahkota Raja yang ada dalam buku cerita.
Nanas yang telah selesai dikupas dan dibersihkan mata nanasnya/ dalam bahasa Makassar kami menyebutnya ka'muru artinya hidung, lalu ditaburi sedikit garam sebelum dibilas dengan air matang. Kata ibu supaya tidak gatal di lidah waktu kita memakannya.
Kemudian ibu membawa mahkota-mahkota itu ke kebun kami dan menanamnya satu persatu di dalam lubang kecil yang sudah disiapkan. Sedangkan kulit nanas dimasukkan ke dalam lubang di sudut halaman tempat ibu membuang sampah sampah dapurnya.
Kelak setelah saya dewasa, saya baru sadar bahwa ibu saya itu bertanam organik. Karena sampahnya itu setelah lapuk akan diambilnya untuk kemudian ditabur di pohon tomat, cabe, nanas dll.
Pada tahun tujuh puluhan ketika saya berkesempatan ke Singapura, di People's Park saya melihat penjual buah mengupas kulit buah nanas begitu tebal sampai langsung bersih dari mata-mata nanas yang berwarna coklat kehitaman.
Sayang banget nanasnya menjadi kecil. Saya nekat mau mengajarinya.
Tahu apa kata mereka? "Aunty no time", sambil tersenyum. Saya pun tersenyum, mungkin sedikit kecut. Oh rupanya mereka mengejar waktu.
 Waktu ponakan saya masih kecil, mungkin kelas 3 SD, dia berwisata ke Kebun Raya Bogor bersama teman-teman sekolahnya. Pulangnya dia membawa oleh-oleh berupa sebuah nanas. Katanya kepada mamanya,"Ma, ini saya petik buat mama, pohonnya ga tinggi, dengan sedikit berjinjit saya bisa menjangkaunya".Hahaha..., padahal nanasnya itu pasti dibelinya di tepi jalan di luar Kebun Raya yang banyak dijajakan.
Teringat teman saya itu, mungkin sebelumnya belum pernah melihat pohon nanas. Melihat pohonnya yang unik dengan buah yang menyembul di tengah, maka bertanyalah dia bibitnya dari mana?
Seperti halnya dengan pohon pisang, masih ada loh yang belum tahu bahwa pohon pisang hanya berbuah sekali.
Sayangnya sekarang saya tidak bisa lagi menanam pohon nanas dalam jumlah banyak, karena penjual buah kebanyakan sudah menggunduli mahkota nanas yang dijualnya.
Makanya pohon nanas ku sekarang cuma ada beberapa pohon saja. Â
Tetapi walau hanya satu pohon, saya tetap akan menanamnya, sebagai kenangan akan ibu saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H