Jika air abunya bagus dan pas, penampilan kuecangnya pasti kuning menawan dan menambah kelezatannya buat orang yang suka.
Soalnya tidak semua orang menyukainya, beda dengan bakcang yang hampir semua orang menyukainya.
Makanya sekarang bakcang dijual sepanjang tahun dengan isi yang bervariasi, kebanyakan berisi daging yang halal.Â
Kegiatan pembuatan kuecang buat saya sangat rumit, sekaligus menyenangkan. Sebagai anak anak saya tidak kebagian tugas, cukup mengawasi dan menunggu mateng. Menunggu mateng ini sangat mengasyikkan, karena berarti sayalah yang pertama akan mencicipinya. Hehehe... dasar rakus ya.
Tiga hari menjelang hari H, Ayah saya membeli daun bambu yang lumayan banyak. Masih dalam bentuk asli dari pohon bambu.
Ibu menggunting satu persatu dan mecucinya lalu dicelupkan ke dalam wajan besar yang berisi air panas. Gunanya supaya daun itu layu dan tidak pecah waktu membungkus kuecang.
Untuk membungkus dan mengikat kuecang, tali tali pengikatnya saya lihat posisinya tergantung.
Tahu nggak? Ibu saya memanfaatkan palang pintu (rumah kami masih memakai palang pintu, walau model arsitektur mengarah kolonial) yang ditaruh di atas dua sandaran kursi dan mulailah Ibu membungkus kuecang itu satu persatu sampai selesai.
Dulu Ibu saya mengikat pakai tali yang di Makassar disebut kuala'. Kuala' itu dulu fungsinya seperti tali rafia untuk mengikat apa saja. Bedanya tali rafia itu bahan sintetis sedangkan kuala' bahan alami. Sayang sekarang di Makassar tidak ada lagi yang jual. Ketika saya bertanya, ada penjual yang jahil menggoda saya, katanya pakai saja rafia daripadai kualat kalau tidak diikat.
Coba, nama kuala'Â saja sudah dilupakan.
Sekarang bakcang kebanyakan diikat dengan tali rafia. Untung sebagian ada yang memanfaatkan bannang godang, benang yang tebal yang dipakai tukang bangunan untuk waterpas, menarik garis.