Sayangnya buah anggur hijau saya itu rasanya asam. Yah, apa boleh
Kemudian tidak lama setelah pohon anggurku berbuah, kami sekeluarga pindah ke Jakarta.Â
Beberapa tahun kemudian setelah kepindahan kami ke Jakarta, saya berkesempatan pulang ke Makassar.  Dengan harapan ingin jumpa pohon anggurku, maka pada kesempatan pertama saya berusaha melewati Jalan G. Latimojong tempat rumahku dulu. Sayang saya mendapati bekas rumah saya itu, sudah berubah wujud menjadi model Ruko. Saya sedih… kebunku yang asri sama sekali sudah tidak berbekas.
Kok saya jadi melamun, ya.
Segala usaha untuk membuahkan pohon anggurku, sepertinya sia-sia, maka akhirnya saya biarkan saja. Terserah pohon anggurku, maunya apa. Sampai suatu hari, saya mendapati pohon anggurku berbuah dua dompol. Buahnya sudah sebesar merica atau lada. Berarti ketika sedang berbunga, saya mengabaikannya. Saya sungguh menyesal. Kok saya bisa begitu, ya.
Nah, saya mulai lagi rajin merawatnya, terutama merawat buahnya. Kira-kira sepuluh hari kemudian setelah buahnya sedikit membesar, saya mulai menggunting membuangi sebagian buahnya. Ya, saya menjarangkan buah, agar nanti buah yang tinggal bisa berukuran lebih besar. Buah anggurku mulanya berwarna hijau, namun semakin besar buahnya, warnanya berubah menjadi ungu dan ketika buahnya sudah besar sempurna, anggurku ternyata berwarna hitam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H