Beberapa tahun lalu, saya sempat membeli bibit tanaman anggur pada Pameran Flora Fauna di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Bibit itu saya tanam langsung di tanah, di depan teras rumah kami. Tanamannya tumbuh subur dan merambat ke atas pergola yang sudah saya siapkan sebelumnya.
Saya pun telah membeli buku Membuahkan Anggur di Dalam Pot dan Pekarangan. Penulisnya Bernard T. Wahyu Wiryanta Ketika percabangannya saya rasa sudah sempurna dan cukup besar untuk berbuah, saya siap untuk mulai melakukan pemangkasan, sesuai petunjuk dari buku. Untuk membuahkan tanaman anggur, katanya tanamannya harus dibuat stres. Artinya dibuat stres dengan tidak diberi air siraman.
Dua atau tiga minggu menjelang pemangkasan tanaman anggur jangan disiram, biarkan kering tapi tentu saja jangan sampai mati kekeringan, lho. Tiga hari menjelang pemangkasan baru kembali dilakukan penyiraman.Â
Oh, iya penyiraman pohon anggur sebaiknya dilakukan dua kali sehari, bila medianya porous dan cukup sekali bila medianya tanahnya liat. Kemudian mulailah pemangkasan berat. Artinya apa? Pohon anggur di pangkas semua ranting, disisakan cabang tersier dan daun-daunnya sampai tidak bersisa.
Saya sih sudah berusaha mengatur percabangannya sesuai petunjuk buku yaitu cabang primer saya pangkas, lalu akan ada cabang sekunder, lalu tersier dan di sinilah akan keluar bunga yang akan menjadi buah.
Pemangkasan yang pertama, saya belum berhasil. Kemudian pemangkasan ke-dua, ke-tiga dan seterusnya tidak ada yang berhasil membuahkan pohon anggurku.. Akhirnya cuma daunnya yang semakin subur dan rimbun.
Karena sudah tidak sabar, pohon anggur itu saya setek beberapa potong cabangnya untuk mendapatkan bibit baru. Bibit baru ini saya tanam di pot besar dan meletakkannya di lantai dua di samping tempat jemuran, Di sana sinar mataharinya penuh, jadi kemungkinan sukses berbuah lebih besar.
Jadi saya hanya memanfaatksn pupuk kotoran kambing. Â Inikah yang salah? Entahlah.
Saya jadi teringat pengalaman saya sewaktu masih berdomisili di Makassar, waktu itu pun saya pernah menanam anggur di pekarangan depan teras rumah. Pengalaman saya kurang lebih sama. Bedanya dulu di Makassar, kami mempunyai seorang sahabat, om Taneh begitu kami memanggilnya, yang bersedia menolong membantu memangkas pohon anggur saya.
Hasilnya? Luar biasa. Pergola di depan teras rumah kami penuh buah anggur yang menggantung.Padahal om Taneh kelihatannya main pangkas saja, nggak pakai hitung hitungan. Semua ranting kecil serta daun-daunnya dibabat habis.
Sayangnya buah anggur hijau saya itu rasanya asam. Yah, apa boleh
Kemudian tidak lama setelah pohon anggurku berbuah, kami sekeluarga pindah ke Jakarta.Â
Beberapa tahun kemudian setelah kepindahan kami ke Jakarta, saya berkesempatan pulang ke Makassar.  Dengan harapan ingin jumpa pohon anggurku, maka pada kesempatan pertama saya berusaha melewati Jalan G. Latimojong tempat rumahku dulu. Sayang saya mendapati bekas rumah saya itu, sudah berubah wujud menjadi model Ruko. Saya sedih… kebunku yang asri sama sekali sudah tidak berbekas.
Kok saya jadi melamun, ya.
Segala usaha untuk membuahkan pohon anggurku, sepertinya sia-sia, maka akhirnya saya biarkan saja. Terserah pohon anggurku, maunya apa. Sampai suatu hari, saya mendapati pohon anggurku berbuah dua dompol. Buahnya sudah sebesar merica atau lada. Berarti ketika sedang berbunga, saya mengabaikannya. Saya sungguh menyesal. Kok saya bisa begitu, ya.
Nah, saya mulai lagi rajin merawatnya, terutama merawat buahnya. Kira-kira sepuluh hari kemudian setelah buahnya sedikit membesar, saya mulai menggunting membuangi sebagian buahnya. Ya, saya menjarangkan buah, agar nanti buah yang tinggal bisa berukuran lebih besar. Buah anggurku mulanya berwarna hijau, namun semakin besar buahnya, warnanya berubah menjadi ungu dan ketika buahnya sudah besar sempurna, anggurku ternyata berwarna hitam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H