Ketika perayaan Tri Hari Suci, pada Hari Kamis Putih saya melihat pak Han dan bu Daisy duduk beberapa deret di depan saya. Seperti umat yang lain yang mau kebagian tempat duduk di dalam gereja, mereka pun datang satu setengah jam sebelum misa mulai. Walau usia sudah lanjut, ibadat Tri Hari Suci tidak satu pun yang mereka lewatkan.
Saya pernah bercerita, bahwa saya diminta menjadi salah satu pembicara pada Konvensi Perhimpunan Peranakan Tionghoa Makassar, karena merasa kurang layak, saya menolaknya. Beliau sangat menyesalkan itu dan langsung memberi pengarahan kepada saya.
Ketika saya berniat menulis obituari seorang tokoh paroki, beliau dengan senang hati bersedia membantu melengkapi data-data yang saya butuhkan. Namun ternyata artikel itu tidak pernah terbit. Saya sangat kecewa, juga merasa bersalah kepada beliau, karena saya sudah memburu-burunya meminta data. Ternyata beliau malah yang menghibur saya.
Begitulah pak Han, beliau selalu penuh perhatian dan siap membantu, apa pun itu.
Walau tadi saya mengatakan tidak akan menulis tentang kepiawaian beliau, rasanya yang satu ini, sayang jika saya lewatkan.
Mungkin belum banyak yang tahu bahwa Gereja Katedral Jakarta menjadi sejuk berkat pemasangan AC yang dikerjakan dengan teliti oleh pak Han, dengan tanpa merusak apa pun termasuk penampilan arsitektur di dalam gereja.
Perjumpaan dan nasihat terakhir dari pak Han.
Pada tanggal 24 April 2016, saya berjumpa pak Han bersama ibu Daisy di sebuah toko buah di Kebayoran.
Saya sangat senang, dan sambil memilih-milih buah kami ngobrol.
Beliau sempat mengangkat buah Srikaya Australia dan berkata, “Lihat berapa harganya, mahal sekali.” Lalu kami sama-sama tersenyum, karena harganya memang betul-betul fantastis.
Kemudian saya bercerita tentang pohon duren saya yang berbuah setelah enam belas tahun dan ketika saya sudah terdiagnosis prediabet.