[caption caption="Siap memasuki blue bed (dok pribadi)"][/caption]Pada akhir Desember 2008, suami saya terdiagnosis Kanker Prostat. Dunia rasanya runtuh. Syukur, kami tidak sampai terpuruk di dalam kesedihan. Kami sekeluarga berpacu mencari informasi untuk second opinion. Akhirnya, kami memutuskan mengambil opsi operasi radikal. (Baca: Suami Saya Survived dari Kanker, Berkat Deteksi Dini)
Beberapa minggu atau bulan setelah operasi, tes PSA menunjukkan angka lebih kecil dari 0,05 yang berarti tidak terbaca atau nihil. PSA nihil, berarti dia sudah “sembuh”.
Mengapa sembuh memakai tanda kutip? Sebab "sembuh" buat mereka lebih tepat hanya disebut Survive.
Kami sekeluarga sangat bahagia dengan hasil yang dicapai pasca operasi. Dia boleh menjalani kehidupan normal seperti orang-orang lain yang tidak pernah terkena Kanker. Walau demikian kami tahu, bahwa seorang pasien Kanker tidak pernah dinyatakan sembuh, melainkan survive saja.
Bulan demi bulan pasca operasi telah dilewati dengan baik. Tahun pertama juga lewat, sampai tahun kedua aman-aman saja. Kontrol tetap teratur sesuai anjuran dokter.
Pada akhir tahun kedua, pada pemeriksaan PSA, hasilnya menunjukkan ada peningkatan menjadi 0,05. Sebelumnya, yaitu lebih kecil dari 0,05 yang berarti nihil. Yaaa… berarti Kanker itu kembali. Apa yang harus kami lakukan ?!
Dokter Urolog tidak perlu berpikir lama, beliau langsung menganjurkan lanjutkan dengan Radioterapi atau Radiasi. Katanya, “Paling 8 atau 10 kali, saja.”
Mendengar Radiasi, kami berdua merasa sangat ketakutan. Apalagi suami saya, dia lebih berani menjalani operasi.
Kami kembali berburu informasi, sampai akhirnya kami berkenalan dengan Komunitas CISC, Cancer Information and Support Center. Di sana kami berkenalan dengan sesama pasien kanker yang sudah pernah maupun yang sementara menjalani terapi radiasi.
Seorang karyawan Departemen Radioterapi RSUP Nasional Cipto Mangunkusumo, juga membantu mengenalkan kami kepada Bapak JD yang sebelumnya sudah berpesan, bersedia membagi pengalamannya, jika ada yang membutuhkan.
Akhirnya kami pun memutuskan untuk menjalani terapi Radiasi yang diusulkan dokter. Kami memilih terapi di Departemen Radioterapi RSUP Nasional Cipto Mangunkusumo.
Setelah di MRI dan dirapatkan, diputuskan dia akan diradiasi sebanysk 33 kali. Haaa…?! Sekali lagi kami shock. Bukankah kata Dr Urolog cuma 8-10 kali?
Oleh dokter, Prof. Djakaria, suami saya dipilihkan memakai IMRT, yaitu Intensity Modulated Radiotherapy. Pelayanan Radioterapi yang mutahir pada saat itu. Masih satu-satunya yang ada di Indonesia. Katanya presisinya lebih tepat, sehingga efek samping lebih minimal.[caption caption="Siap menanti saat radiasi akan dimulai (dok pribadi)"]
Suami saya, pasien kelas satu. Dia boleh memakai IMRT tersebut tapi menunggunya tidak di Ruang Red Carpet, melainkan di ruangan umum. Bila tiba giliran, baru dipanggil masuk ke dalam.
Terapi dengan IMRT punya keistimewaan, bila pasien yang memakai Cobalt atau Varian, pada area yang akan diradiasi diberi gambar dengan garis-garis putih seperti kapur. Sedangkan suami saya tidak demikian, melainkan badannya akan dibuatkan cetakan.
Caranya? Dia diminta berbaring diatas wadah yang berisi partikel-partikel kecil, kelihatannya menyerupai bahan stryrofoam. Ketika posisinya sudah pas dan mantap, petugas menekan tombol dan dalam waktu yang singkat, bahan itu mengeras dan cetakan badan suami saya pun jadi. Ini menurut dia. Saya terlalu lemas memikirkan benar tidak keputusan untuk radiasi. Mengingat efek samping yang mungkin terjadi setelah radiasi, karena itu saya tidak sanggup menyaksikan prosedur itu. Cetakan badan itu dinamai Blue Bed.
Melihat kebimbangan saya, asisten Prof. Djakaria, mencoba menenangkan saya dengan memperlihatkan kecanggihan sistem itu dan menerangkan bahwa, “ Efek samping itu belum tentu terjadi, kalau pun sampai terjadi masih butuh waktu 10-15 tahun. Sedangkan kalau kanker tidak diterapi, maka dalam hitungan tahun, mungkin hanya sampai bulan, bisa berakibat fatal.”
Radiasi itu dilakukan setiap hari berturut-turut untuk lima hari. Sabtu dan Minggu libur. Hari ke lima ketemu dokter dan menjalani tes darah. Bila semua baik, hari Senin dilanjutkan sampai Jumat dan seterusnya,
Beruntung selama terapi keadaan dan tes darah selalu baik jadi terapi jalan terus, tidak pernah di setop. Oh iya, kabar baiknya lagi, suami saya boleh mandi dan boleh membasahi area radiasi, tapi dengan catatan tidak boleh menggosoknya. Bekas radiasi pun tidak terlihat apa-apa. Tidak ada gosong seperti yang semula kami takutkan.
Sesudah radiasi yang ke 20, tulang-tulangnya mulai terasa sakit. Dia diberi obat penghilang sakit. Menyetir mobil masih boleh dan sanggup dia lakukan. Tetapi, selama terapi kami selalu diantar oleh putera kami. Mengapa? Karena tempat parkir RSCM selalu penuh dan tentu saja putera kami sayang dan kasihan ayahnya.
Beberapa bulan kemudian setelah paket radiasi yang 33 kali selesai, tes PSA kembali menjadi lebih kecil dari 0,05 artinya nihil. Dia harus kontrol setiap tiga bulan, kemudian setiap enam bulan dan sekarang boleh setiap tahun sekali.
Kisah ini terjadi lima tahun yang lalu.
Saya membagi pengalaman ini, supaya bisa memberi sedikit pencerahan, agar masyarakat tidak ketakutan seperti kami dulu. Berbagi bahwa berobat di Indonesia juga oke. Yang penting jangan ke mana-mana mencari alternatif, fokus berobat medis. Kalau ada yang lain bisa sebagai tambahan dengan sepengetahuan dokter.
Kita pasrah tapi tetap semangat berobat dan tentu saja jangan lupa berdoa. Tidak perlu malu dan menutupi bahwa kita pasien kanker.
Syukur puji Tuhan dan banyak terima kasih kepada para dokter, sahabat-sahabat, rekan-rekan pasien yang dulu baru kami kenal, semua pihak dan sanak saudara yang telah mendampingi dan selalu mendoakan kami.
Terima kasih dan salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H