Mohon tunggu...
Irene Maria Nisiho
Irene Maria Nisiho Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu rumah tangga

Nenek 6 cucu, hobby berkebun, membaca, menulis dan bercerita.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Walau Kanker Itu Kembali, Dia Tetap Survive Berkat Radioterapi

23 Maret 2016   18:06 Diperbarui: 23 Maret 2016   18:12 1117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah di MRI dan dirapatkan, diputuskan dia akan diradiasi sebanysk 33 kali. Haaa…?! Sekali lagi kami shock. Bukankah kata Dr Urolog cuma 8-10 kali?

Oleh dokter, Prof. Djakaria, suami saya dipilihkan memakai IMRT, yaitu Intensity Modulated Radiotherapy. Pelayanan Radioterapi yang mutahir pada saat itu. Masih satu-satunya yang ada di Indonesia. Katanya presisinya lebih tepat, sehingga efek samping lebih minimal.[caption caption="Siap menanti saat radiasi akan dimulai (dok pribadi)"]

[/caption]Pada saat itu RSUPN Cipto Mangunkusumo menyediakan Red Carpet Services. Pasien Red Carpet mendapat layanan khusus, tidak perlu antri yang lama, tersedia makanan kecil, minuman dan lain-lain. Kira-kira demikian, informasi yang saya dapatkan pada waktu itu.

 Suami saya, pasien kelas satu. Dia boleh memakai IMRT tersebut tapi menunggunya tidak di Ruang Red Carpet, melainkan di ruangan umum. Bila tiba giliran, baru dipanggil masuk ke dalam.

Terapi dengan IMRT punya keistimewaan, bila pasien yang memakai Cobalt atau Varian, pada area yang akan diradiasi diberi gambar dengan garis-garis putih seperti kapur. Sedangkan suami saya tidak demikian, melainkan badannya akan dibuatkan cetakan.

Caranya? Dia diminta berbaring diatas wadah yang berisi partikel-partikel kecil, kelihatannya menyerupai bahan stryrofoam. Ketika posisinya sudah pas dan mantap, petugas menekan tombol dan dalam waktu yang singkat, bahan itu mengeras dan cetakan badan suami saya pun jadi. Ini menurut dia. Saya terlalu lemas memikirkan benar tidak keputusan untuk radiasi. Mengingat efek samping yang mungkin terjadi setelah radiasi, karena itu saya tidak sanggup menyaksikan prosedur itu. Cetakan badan itu dinamai Blue Bed.

Melihat kebimbangan saya, asisten Prof. Djakaria, mencoba menenangkan saya dengan memperlihatkan kecanggihan sistem  itu dan menerangkan bahwa, “ Efek samping itu belum tentu terjadi, kalau pun sampai terjadi masih butuh waktu 10-15 tahun. Sedangkan kalau kanker tidak diterapi, maka dalam hitungan tahun, mungkin hanya sampai bulan, bisa berakibat fatal.”

Radiasi itu dilakukan setiap hari berturut-turut untuk lima hari. Sabtu dan Minggu libur. Hari ke lima ketemu dokter dan menjalani tes darah. Bila semua baik, hari Senin dilanjutkan sampai Jumat dan seterusnya,

Beruntung selama terapi keadaan dan tes darah selalu baik  jadi terapi jalan terus, tidak pernah di setop. Oh iya, kabar baiknya lagi, suami saya boleh mandi dan boleh membasahi area radiasi, tapi dengan catatan tidak boleh menggosoknya. Bekas radiasi pun tidak terlihat apa-apa. Tidak ada gosong seperti yang semula kami takutkan.

Sesudah radiasi yang ke 20, tulang-tulangnya mulai terasa sakit. Dia diberi obat penghilang sakit. Menyetir mobil masih boleh dan sanggup dia lakukan. Tetapi, selama terapi kami selalu diantar oleh putera kami. Mengapa? Karena tempat parkir RSCM selalu penuh dan tentu saja putera kami sayang dan kasihan ayahnya.

Beberapa bulan kemudian setelah paket radiasi yang 33 kali selesai, tes PSA kembali menjadi lebih kecil dari 0,05 artinya nihil. Dia harus kontrol setiap tiga bulan, kemudian setiap enam bulan dan sekarang boleh setiap tahun sekali.

Kisah ini terjadi lima tahun yang lalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun