Penjual buah-buahan untuk keperluan pakaddo’ juga pada berdatangan. Sebenarnya beberapa waktu sebelumnya mereka sudah menanyakan ke ibu saya kapan tepatnya Tambarua, agar mereka bisa menyiapkan dagangannya tepat waktu.
Yang pasti dibutuhkan tebu yang lurus dan daunnya mulus. Buah nanas, terutama yang banyak anaknya, belum mateng tidak menjadi soal.
Jeruk Bali, harus yang ada daunnya. Pisang raja, yang ini selalu dipilih yang sudah mulai kuning artinya yang hampir matang. Tebu maupun buah-buahan dibeli berpasangan, artinya harus dua.
Buah-buahan ini harus ada, bila bentuknya kurang oke, Baba’ akan mencarinya ke Pasara’ Cinaiya, belakangan pasarnya diperluas dan menjadi Pasar Sentral.
Yang paling saya nantikan, adalah saat setelah makan siang.
Mau tahu mengapa? Karena saat itu kami akan mencuci seluruh lantai rumah. Bukan dipel, ya! Melainkan benar-benar dicuci dengan sabun dan air. Maka, kami anak-anak akan bermain air sepuasnya, sambil membantu menyabun dan menyikat lantai, sampai seluruh lantai rumah kami betul-betul bersih.
Pasangan tebu yang sudah dicuci dan diberi sepotong kertas merah yang melingkari batang tebu tersebut, diletakkan di samping pintu utama. Karena rumah kami mempunyai  pintu utama yang kembar, jadi dibutuhkan dua pasang batang tebu.
Nanas, jeruk dan pisang raja yang sudah diberi potongan kertas merah, diletakkan di meja Dato’ Pallua (Dewa Dapur).
Ketika sore menjelang, seperti sore-sore sebelumnya sayup-sayup terdengar bunyi gangrang Barong (genderang Barongsae). Di Makassar, kami hanya menyebut Barong. Mereka pasti sedang latihan terakhir, karena keesokan harinya mereka akan mulai mentas.
Saya mulai berangan-angan, membayangkan Barong yang gesit, pemain silatnya dan lain-lain kemeriahan, yang akan terjadi keesokan hari. Gangrang Barong selalu membuat saya bersemangat.
Hari yang melelahkan tapi menyenangkan ini akan segera berakhir. Namun sebelum jam tidur, masih ada satu kegiatan untuk kami, yang tidak kalah asyiknya. Kami bersaudara diminta, membantu Baba’ membungkus Ang Pao.