Mohon tunggu...
Irene Maria Nisiho
Irene Maria Nisiho Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu rumah tangga

Nenek 6 cucu, hobby berkebun, membaca, menulis dan bercerita.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kenangan Masa Kecil, Menjelang Tahun Baru Imlek

4 Februari 2016   18:15 Diperbarui: 8 Februari 2016   15:10 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Dodoro Cina. dokpri"][/caption]Kehidupan masa kecil saya menyimpan banyak catatan. Rumah kami yang berada di tengah China Town kota Makassar, yang memungkinkan terjadinya banyak pengalaman unik, yang sayang untuk dilupakan begitu saja.

Sebelumnya, saya pernah menulis Masa Kecilku di Sekolah, baca https://irenemarianisiho.wordpress.com/2014/08/16/masa-kecilku-di-sekolah-dan-aubade-yang-tak-terlupakan/  Hujan lebat siang hari ini, membawa saya menerawang kembali pada masa kecilku, di kotaku Makassar. Hujan sangat deras dan pada suatu waktu tertentu, tidak akan berhenti sebelum genap empat puluh hari. Hehehe...masa segitu banget, ya!

Iya dulu ada istilah “bosi patang pulo allo” yang artinya hujan empat puluh hari.

Saat itu, biasanya terjadi di sekitar menjelang Tahun Baru Imlek. Hujan akan berlangsung dari pagi hingga malam dan dari malam sampai pagi, begitu terus bergulir hingga empat puluh hari lamanya.

Dari dulu sampai sekarang saya suka sekali mengamati titik air hujan yang jatuh di depan teras rumah. Titik air yang jatuh, selalu saya bayangkan menyerupai mahkota-mahkota kecil. Kalau nggak percaya, coba amati deh!

Waktu Allo Pangngangreang Onde-Onde, saya selalu merasa Tahun Baru Imlek sudah dekat. Perayaan ini selalu jatuh pada tanggal 22 Desember setiap tahunnya. Tidak seperti perayaan-perayaan ritual yang lain, yang selalu mengikuti penanggalan Imlek. Saya nggak tahu kenapa, aneh juga, ya?!

Oh iya, itu adalah hari kita makan ronde. Di Makassar, di kalangan Tionghoa Peranakan menyebut Onde-Onde, lebih khas lagi, Onde-Onde Cina.[caption caption="Onde-onde Cina. Dokpri"]

[/caption]

 

Onde-Onde Jawa, lain lagi. Bikinan Amma’, (panggilan ibu saya) tidak ada duanya, enak banget. Konon onde-onde ini, menjadi kudapan malam tahun baru. Namun di keluarga saya tidak demikian.

[caption caption="Onde-onde Jawa. Dokpri"]

[/caption]

Kami hanya merayakan Tahun Baru Imlek atau dalam bahasa Makassar, lebih lazim disebut Tambaru Cina. Kami tidak merayakan Tahun Baru Masehi 1 Januari, yang kami sebut Tambaru Balanda.

Selesai Pangngangreang Onde-Onde, Amma’ akan mulai sangat sibuk. Sibuk apaan? Sibuk menjahit baju tahun baru buat kami anak-anaknya. Bayangkan, kami delapan bersaudara. Ada lima anak perempuan, ck,ck,ck....repotnya, kebayang, tidak?! Membeli baju jadi? No way, waktu itu belum banyak baju jadi yang dijual.

Baju tahun baru kami bukan satu, tapi banyak. Seandainya Amma kuat, mungkin masing-masing kami dibuatkan lima belas potong pakaian, sesuai perayaan tahun baru yang berlangsung lima belas hari.

Saya dan adik saya, minimal dibuatkan lima baju baru. Di antaranya, dua potong yang betul-betul bagus. Itu untuk keperluan Tahun Baru hari yang pertama dan untuk Cap Go Meh, hari ke-lima belas. Warna baju-baju itu biasanya warna cerah, dominan kemerahan, kecuali yang untuk Cap Go Meh, warnanya biru muda, biru langit. Dalam bahasa Makassar warna itu disebut kondo-kondo.

Menurut penuturan Amma', Cap Go Meh dirayakan sebagai Allo Ang Riba’ Ki Kondoa, yang berarti Hari Burung Bangau Terbang (Pulang ke Kayangan).

Apa hubungannya antara warna kondo-kondo (biru langit) dengan Kondo (Burung Bangau)? Hal ini belum pernah saya tanyakan kepada Amma. Sayang, ya. Baru sekarang itu semua terpikir, setelah Amma berpulang ke Sang Pencipta.

Kakak-kakak, dibuatkan berapa baju? Saya nggak pernah usil, jadi tidak tahu, tuh.

Ketika perayaan tahun baru semakin dekat, kira-kira kurang dua minggu, kesibukan di rumah bertambah. Untung ada Djie (baca Ji) seorang saudara dari keluarga Amma, yang menjadi tulang punggung pembuatan kue. Dalam bahasa Makassar disebut a’dawa-dawa.

Sekarang mulai acara pembuatan kue-kue kering. Yang paling saya ingat dan paling saya sukai adalah Kue Bangke’, adonannya memakai kenari cincang dan kelapa parut yang sudah digongseng, Bentuknya lucu-lucu dan sangat enak. Tentu ini hanya kata saya, ya. Ada model anjing, model daun, kupu-kupu, hati dan lain-lain. Sayang saya cuma memiliki cetakan daun dan hati. Cetakan ibu saya sudah hilang, entah kemana.

Ada Baruasa Mangkasara, Duri-Durian, Kue model 8 (Kanrejawa lettere’ sangang tuju) dan lain-lain. Sayang saya tidak mempunyai foto-fotonya, mungkin nanti bila saya sempat membuatnya. Kegiatan pembuatan kue ini, berlangsung berhari-bari.

Untuk apa kue sebanyak itu? Iya, karena tamu kami memang banyak, dan berlangsung selama lima belas hari. Asyik, kan yaa...

Selesai menjahit pakaian-pakaian kami, menghadang tugas Amma yang lain, yaitu membuat Dodoro’ Cina atau dikenal sebagai Kue Keranjang.

Ikuti kisahnya dengan membaca Dodoro' Cina Si Kue Keranjang.

Saya pernah melihat acara televisi yang menayangkan pembuatan kue keranjang dan dodol Cina. Yang dimaksudkan dodol Cina di televisi, di Makassar kami sebut Dodoro’ Mangkasara’ dan tidak ada kaitannya dengan Tahun Baru Imlek.

Ada lagi satu ritual yang tidak boleh ketinggalan, dilakukan seminggu sebelum Tahun Baru, yaitu mencuci tempat Dato’ Pallua alias  Dewa Dapur. Menurut Amma hari itu para Dewa kembali ke Surga, jadi kesempatan untuk membersihkan tempatnya.

Tempat Dato’ Pallua berupa sebilah papan berukuran kira-kira 30x40 Cm, yang bertuliskan huruf-huruf China. Saya tidak pernah tahu persis, karena terus terang saya tidak pernah mau dekat-dekat. Saya selalu merasa seram.

Dato’ Pallu di rumah saya digantung di pojok dapur dengan meja kecil yang juga digantung di bawahnya. Meja itu untuk meletakkan tempat hio/dupa, tempat lilin dan makanan yang dipersembahkan.

Kalau nggak salah nih, ya! Sebulan sembahyang dua kali. Bulan Baru dan bulan Purnama, tanggal satu dan tanggal lima belas penanggalan Imlek.

Oh iya, ritual sembahyang dalam bahasa Makassar disebut Paka’do’. Ada paka’do’ Bulang Beru dan Bulang Tangnga. Juga pakaddo’ hari-hari peringatan khusus.

Yaaa...hari sudah semakin senja, hujan pun sudah redah, saya harus menghentikan lamunan ini. Padahal masih banyak yang belum tersentuh.

Mungkin besok saya lanjutkan lamunan ini, saat kembali turun hujan, karena hujan selalu memberiku inspirasi…

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun