Mohon tunggu...
Irene Maria Nisiho
Irene Maria Nisiho Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu rumah tangga

Nenek 6 cucu, hobby berkebun, membaca, menulis dan bercerita.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Malari dan Teddy Bear Pesananku

22 Januari 2016   17:20 Diperbarui: 22 Januari 2016   18:19 538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa hari lalu, selintas saya menyaksikan siaran televisi yang menampilkan Dr Hariman Siregar dan juga Rizal Mallarangeng, sepertinya sedang membahas peristiwa MALARI, yang terjadi 15 Januari 1974. Sudah 42 tahun berselang. Bagaimana tepatnya diskusi itu, saya tidak sempat menyimak, karena pikiran saya melompat ke peristiwa lain.

Saya jadi teringat kisah lama yang ketika itu saya alami, sewaktu kami masih berdomisili di Makassar.

Waktu itu tanggal 12 Januari 1974, suami saya mendapat tugas dari kantornya untuk suatu perjalanan dinas ke Jakarta.

Seperti biasa saya titip oleh-oleh. Kali ini saya minta boneka Teddy Bear yang besar untuk anak kami.

Teddy Bear itu sebenarnya sudah kutaksir dari bulan sebelumnya, namun belum sempat saya beli karena waktu itu banyak barang bawaanku.

“Yang warna krem, yang paling besar, belinya di Senen, ya,” begitu bertubi-tubi pesanku kepada suami saya sebelum dia berangkat. Komunikasi jarak jauh kami, waktu itu adalah melalui telepon interlokal.

Tanggal 14 Januari 1974, saya menerima interlokal dari suami saya. Dia mengabarkan sesuai rencana dia akan balik ke Makassar pada tanggal 16 Januari dan Teddy Bear pesananku sudah dibelinya. Namun ada tetapinya. Apa itu?!

Warnanya dia tukar, bukan beli yang berwarna krem tetapi yang berwarna merah. Yaaaaa…!

Katanya lagi, yang warna krem tampangnya serem, lebih manis yang merah, kalau tidak suka besok dia boleh tukar.

“Oke, besok tukar, ya!”

Sebetulnya saya kasihan, dia harus menukarnya ke Proyek Senen, tapi siapa suruh dia menukar pesanan. Teddy Bear itu lumayan besar, lho. Saya membayangkan pasti banyak yang melirik dia, ketika berjalan sambil menenteng atau menggendong si gendut merah itu…

Ini dia, profil papa sayang anak, bukan papa minta saham, lho! Hehehe…!

Keesokan harinya, masih sangat pagi ketika ia diberi tahu oleh Manager President Hotel tempatnya menginap, bahwa karena sesuatu hal mereka mohon maaf terpaksa membatalkan booking kamar yang masih satu hari lagi.

Ya, terpaksa check out dan pindah ke Hotel Gajah Mada. Kok pindahnya jauh banget, ya?! Ya, karena teman-temannya sering nginap di sana. Setelah check in, dia baru sadar kenapa hotel begitu sepi, jalanan juga makin sepi. Mungkin tadi dia kurang perhatian karena sibuk menggendong si Teddy Bear merah.

Kemudian dari jendela kamar hotel, suami saya melihat massa mulai menggerombol dan mulai membakar mobil buatan Jepang yang lewat. Waktu itu, massa masih bubar bila ada polisi dan tentara yang datang

Dia mulai merasa, situasi sudah nggak benar.

Memang sebelumnya sudah terdengar kabar bahwa mahasiswa akan demo, menentang PM Jepang Tanaka Kakuei

Atas petunjuk seorang teman dia memutuskan pindah ke Kebayoran Baru, ke Hotel Tulip.

Bayangkan dia harus pindah dari daerah Kota menuju Kebayoran Baru, dalam suasana kota yang sudah mulai kacau. Tidak ada Taxi yang mau membawanya. Terpaksa dia berjalan kaki, dengan sebuah koper dan menggendong si Teddy Bear.

Akhirnya ada juga Taxi gelap yang bersedia mengantarnya, dengan catatan dia bukan orang Jepang.

Sesampai di Hotel Tulip, dia diamat-amati terus karena namanya mirip nama Jepang. Mungkin dia mau ditolong sopir taxi itu, karena si Teddy Bear. Pak Sopir sempat bertanya boneka itu untuk siapa. Mungkin pak Sopir kasihan memikirkan anak yang menantikan ayah dan bonekanya.

Tidak lama setelah sampai di Hotel Tulip, terdengar berita Hotel Gajah Mada sudah mulai dibakar massa. Nasib Proyek Senen tidak jauh berbeda. Semua habis, ludes terbakar dan dijarah.

Peristiwa ini kemudian dikenal sebagai Peristiwa MALARI, kalau nggak salah artinya, Malapetaka Limabelas Januari.

Nasib Teddy Bear warna krem, sudah tidak ketahuan. Apa telah dijarah atau telah menjadi abu…

Si Teddy Bear merah, walau tidak membeli tiket pesawat udara, dia boleh menempati seat sendiri, saking senangnya para Pramugari Garuda kepadanya. Hihihi...

Tidak sampai setahun kemudian, kami sekeluarga pindah ke Jakarta

Si Teddy Bear merah pun ikutan dan masih disimpan pemiliknya sampai sekarang. Sayang kurang terawat, mungkin karena anak kami itu, terlalu sibuk mengurus putera sulung dan dua anak kembarnya,

Iya sih, 42 tahun bukanlah waktu yang singkat namun saya tetap agak kecewa atas nasib si Teddy Bear merah, mengingat riwayat perjalanan panjangnya dulu untuk sampai ke Makassar.

Walau tadinya saya tidak menginginkannya, namun akhirnya saya pun menyayangi si Teddy Bear merah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun